Jadi Saksi Ahli, Kiai Niam Jelaskan Posisi 2 Fatwa MUI Terkait Panji Gumilang

414

Muslim Obsession — Ketua MUI Bidang Fatwa, Kiai Asrorun Ni’am Sholeh menjadi salah satu saksi ahli dalam sidang kasus penistaan agama dengan terdakwa Panji Gumilang.

Dalam persidangan yang berlangsung di PN Indramayu, Rabu (17/1/2024) tersebut, Kiai Ni’am menjelaskan dua fatwa yang berkaitan dengan kasus Panji Gumilang, yakni Fatwa Nomor 38 Tahun 2023 dan Fatwa Nomor 47 Tahun 2023.

“Saat memberikan kesaksian ahli tadi, saya memberikan penjelasan ihwal Fatwa Nomor 38 Tahun 2023 tentang hukum perempuan menjadi khatib Jumat bagi jamaah yang ada laki-lakinya. Kedua, Fatwa Nomor 47 Tahun 2023 2023 tentang ajaran keagamaan Panji Gumilang,” ujar Kiai Ni’am, dilansir mui.or.id., Rabu (17/1/2024).

“Saya memberikan penjelasan mengenai latar belakang pembahasan dan penetapan fatwa, dalil-dalil yang digunakan, proses tabayun, proses klarifikasi, proses otentifikasi, hingga penetapan fatwa keagamaannya,” kata guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Disampaikan Kiai Ni’am, selama sidang berlangsung, pihak hakim, jaksa selaku penuntut umum dan juga dari pihak terdakwa serta penasihat hukum terdakwa menanyakan beberapa hal yang terkait dengan pokok masalah sesuai dengan keahlian para ahli.

Lebih lanjut, Kiai Ni’am menyampaikan, bahwa dalam persidangan tersebut dirinya menjelaskan terkait kemengikatan fatwa yang masih awam dipahami oleh masyarakat.

“Yang pertama mengenai kemengikatan fatwa, fatwa itu kan tidak mengikat, tadi saya jelaskan bahwa fatwa memiliki kemengikatan secara syar’i. Dengan demikian, sekalipun tidak ada instrumen hukum pemaksa, tetapi secara syar’i dia mengikat,” tuturnya.

Lebih lanjut, Kiai Ni’am menjelaskan bahwa di dalam kajian fatwa ada dua istilah kemengikatan. Pertama mengikat secara syar’i atau ilzam syar’i. Kedua mengikat secara kanuni atau ilzam qanuni.

“Bisa jadi, fatwa tidak mengikat secara qanuni tetapi mengikat secara syar’i. Ada kalanya fatwa mengikat secara syar’i dan juga mengikat secara qanuni,” kata dia.

“Seperti hal nya beberapa fatwa yang ditetapkan dalam masalah halal, da mengikat secara syar’i dan juga mengikat secara qanun. Kemudian fatwa terkait ekonomi dan keuangan syariah. Seluruh fatwa DSN, dia mengikat secara syari secara aturan juga mengikat. Demikian juga fatwa yang terkait dengan ajaran Panji Gumilang ini,” kata dia menambahkan.

Dalam kesempatan tersebut, Kiai Ni’am mengatakan bahwa ke dua fatwa yang dirilis Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi salah satu acuan bagi pihak Bareskrim Polri untuk menetapkan hukum terkait keagamaan yang menjerat Panji Gumilang.

“Fatwa ini diminta aparat penegak hukum, dalam hal ini adalah Bareskrim Mabes polri. Maka, dalam upaya penyidikan, fatwa ini menjadi salah satu rujukan dan juga panduan di dalam menetapkan aspek keagamaan, apakah dia masuk dalam kategori menodai agama Islam atau tidaknya,” kata dia.

Persidangan yang berlangsung sejak pukul 09.00 hingga pukul 16.00 WIB dijadwalkan untuk mendengarkan pandangan ahli, yang mana, dalam persidangan tersebut mendatangkan tiga ahli dari MUI, yakni dan Wakil Ketua Komisi Fatwa Prof Amin Suma sebagai ahli tafsir, Ketua MUI Bidang Fatwa Prof KH Asrorun Ni’am sebagai ahli fatwa, serta Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH M Cholil Nafis sebagai ahli fikih.

Sebelumnya dalam sidang perdana terhadap pimpinan Al Zaytun itu, jaksa penuntut umum mengajukan dakwaan primer berkaitan dengan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang (UU) RI Nomor 1 Tahun 1946, mengenai menyiarkan berita bohong hingga sengaja menerbitkan keonaran di tengah masyarakat.

Untuk subsidernya berkaitan dengan Pasal 14 ayat (2) sama juga tentang berita bohong. Lebih subsider lagi Pasal 15 UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar berlebihan dan tidak lengkap.

Selain itu, Tim JPU juga mendakwa Panji Gumilang dengan UU ITE yakni Pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

“Di mana UU itu intinya adalah untuk menimbulkan rasa kebencian, permusuhan, individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama ras antargolongan atau SARA.

Untuk dakwaan lainnya, yakni Pasal 156 Huruf (a) KUHP mengenai kesengajaan di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here