71 Tahun Mosi Integral: Mengenang Perjuangan M. Natsir

1080

Oleh: Hadi Nur Ramadhan(Founder Pusat Dokumentasi Islam Indonesia Tamaddun)

Mosi integral Natsir merupakan satu prestasi gemilang dalam pentas sejarah yang sangat monumental dalam parlemen Indonesia. Ulama Negarawan yang bergelar Datuk Sinaro Panjang (1908-1993) ini mampu menyatukan kembali Indonesia yang terpecah belah dalam pemerintahan negara-negara bagian atau federal buatan Van Mook menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kita kenal sekarang ini.

Di balik itu, mosi ini tidak lahir begitu saja. Terjadinya perdebatan di Parlemen Sementara Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah merupakan titik kulminasi aspirasi masyarakat Indonesia yang kecewa terhadap hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag, Belanda, pada 23 Agustus-2 November 1949.

Pihak yang termasuk menolak hasil KMB adalah M. Natsir yang waktu itu sebagai Menteri Penerangan (Menpen) dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim. Lobi Natsir ke pimpinan fraksi di Parlemen Sementara RIS dan pendekatannya ke daerah-daerah selanjutnya ia formulasikan dalam dua kata, yaitu ”Mosi Integral”.

Sahabat Natsir, Mr. Mohamad Roem sesama aktivis pergerakan dari Partai Masjumi mengatakan:

“… betapa dalam ikhtiar melicinkan Mosi Integral itu, Pak Natsir berbicara dengan Pemipin Fraksi dari yang paling Kiri yakni Ir. Sakirman dari PKI, dan dengan yang paling Kanan yakni Sahetapy Engel dari BFO. Dan pada waktu menyampaikan usul mosi integral di parlemen maka beliau menahan diri untuk tidak berbicara soal federalisme atau unitarisme. Karena pokok persoalan bukan disitu….”, (Mohamad Roem, Peralihan ke Negara Kesatuan, Jakarta: Media Dakwah, 1993, hal 47).

Sebagai Ketua Fraksi Masjumi. fraksi terbesar di parlemen, M. Natsir berlekas mengajukan Mosi Integral yang disampaikan ke Parlemen pada 3 April 1950. Mosi diterima baik oleh pemerintah dan PM Mohammad Hatta menegaskan akan menggunakan Mosi Integral sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan.

BACA JUGA: M. Natsir di Antara Moral dan Politik

Bahkan Bung Hatta menyebut Mosi Integral Natsir sebagai Proklamasi yang kedua setelah Proklamasi yang pertama pada 17 Agustus 1945.

Kini Mosi Integral NKRI yang digagas oleh M. Natsir pada 3 April 1950 sudah berusia 71 tahun. Tugas kita sekarang sebagaimana ungkapan Prof. Dr. Laode M. Kamaluddin adalah bukan saja menghargai Natsir sesuai dengan jasa besarnya terhadap negara-bangsa Indonesia, tetapi juga menjaga tetap tegak dan utuhnya NKRI seraya menghempang segenap potensi disintegrasi bangsa.

Dari sosok lelaki tiada tanding yang lahir di Alahan Panjang Sumatera Barat ini kita belajar tentang sebuah nilai kesederhanaan, keteguhan memegang prinsip dan kesediaan untuk melakukan kompromi ditengah kemajemukan bangsa. Itulah warisan manikam keteladanan M. Natsir yang masih sangat relevan dan pantas diapresiasi di tengah ‘carut-marut’nya kondisi bangsa akibat gejala pragmatisme politik. Bangsa yang besar adalah yang menghargai jasa-jasa pemimpinnya.

Berikut ini isi pidato M. Natsir tentang Mosi Integral tahun 1950 yang terdokumentasikan oleh DP. Sati Alimin dalam buku Capita Selecta II Jakarta: Abadi, 1957.

“Saudara Ketua, Dalam menentukan sikap fraksi saya terhadap mosi ini, fraksi adalah terlepas dari soal “apakah kami dapat menerima oper semua keterangan-keterangan yang tercantum dalam mosi atau tidak!”. Juga menjauhkan diri dari pada pembicaraan unitarisme dan federalisme dalam hubungan mosi ini, sebab pusat persoalannya tidak ada hubungannya dengan hal – hal itu, akan tetapi jauh di lapangan lain.

BACA JUGA: Bung Karno di Mata Natsir

Pembicara-pembicara yang mendahului saya, sudah dengan panjang lebar mengemukakan hal ini.

Orang yang setuju dengan mosi ini tidak usah berarti, bahwa orang itu unitaris, orang federalispun mungkin juga dapat menyetujuinya. sebab soal ini sebagai mana saya katakan, bukan soal teori struktur negara unitarisme atau federalisme, akan tetapi soal menyelesaikan hasil dari perjuangan kita masa lampau yang tetap masih menjadi duri dalam daging.

Tiap-tiap orang yang meneliti jalan persengketaan Indonesia -Belanda, tentu akan mengetahui bagaimana riwayat timbulnya Negara Sumatera Timur (NST). Dan bagaimana fungsinya NST itu. Walaupun bagaimana juga ditimbang, ditinjau dan dikupas, tetapi rakyat dalam perjuangannya melihat struktur itu sebagai bekas alat lawan untuk meruntuhkan Republik Indonesia. Maka inilah yang menimbulkan reaksi dari pihak rakyat. Bukan soal teori unitarisme dan federalisme.

SELANJUTNYA

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here