Ulama dan Umara Harus Bangun Relasi yang harmonis

920
Menag
Menag RI, Lukman Hakim Saifuddin. (Photo: Kemenag)

Banjarbaru, Muslim Obsession – Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, ulama dan pemerintah (umara) harus senantiasa memiliki hubungan yang harmonis agar Indonesia terus tumbuh menjadi negara yang religius.

Di satu sisi, pemerintah membutuhkan nasihat dan fatwa konstruktif dari ulama. Sebaliknya, ulama juga membutuhkan umara untuk mendukung aktifitas mereka dalam berbagai bidang seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, sosial, dan hal strategis lainnya.

“Baik buruknya relasi ulama-umara akan menentukan baik buruknya sebuah bangsa,” tegas Menag saat mewakili Presiden RI Joko Widodo membuka Itima’ Ulama Komisi Fatwa MUI ke-6 di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Senin (7/5/2018).

Menag menjelaskan, dilihat dari sejarah umat Islam nusantara, hubungan dan kerja sama ulama dan umara sudah terjalin sangat mesra dan kuat.

Pada era kesultanan Aceh Darussalam, misalnya, Ratu Shafiyatuddin (w.1675 M) menunjuk Syekh Abdurrauf Singkel (w.1693 M) menjadi Qadhi Malik Al-‘Adil atau mufti yang bertanggungjawab terhadap masalah keagamaan di kesultanan Aceh.

“Kitab Mi’rat At-Thullab fi Tashîl Al-Ahkam Asy-Syar’îyah li Al-Malik Al-Wahhâb adalah salah satu karya monumental yang menjadi bukti sejarah relasi mesra ulama-umara di kerajaan Aceh saat itu,” kata Menag, seperti dilansir Kemenag.

Di Kalimantan Selatan ini, lanjut Menag, ada kerajaan Banjar. Hubungan mesra ulama-umara di Banjar tergambar pada sosok Sultan Adam Al-Watsiq Billah (1785-1857) dengan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (w.1812 M) sehingga pada waktu itu ditetapkan Undang-Undang Sultan Adam (UU-SA) yang memuat aturan pidana dan perdata berdasarkan hukum Islam dan kearifan lokal.

“Bahkan kitab Sabilul Muhtadin anggitan Syekh Arsyad Al-Banjari menjadi buku rujukan penting mengenai hukum keagamaan hingga hari ini. Sementara, di belahan tanah Jawa, juga terlihat relasi mesra antara para Wali Songo dengan penguasa-penguasa setempat sehingga berhasil mendirikan pemerintahan yang sukses,” ujar Menag.

Menag menuturkan, Sunan Ampel dan Sunan Giri misalnya, kerap diminta untuk menyiapkan aturan hukum perdata, adat istiadat, pernikahan, dan muamalah. Sementara Sunan Kudus kerap dijadikan rujukan mengenai persoalan jinayah dan siyasah (kriminalitas dan politik) di zamannya.

“Saya berharap semoga acara Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia yang ke-6 Majelis Ulama Indonesia ini menghasilkan fatwa-fatwa yang konstruktif dan mencerahkan. Sehingga bisa membimbing umat dan berdampak bagi perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik,” tutup Menag.

Pembukaan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI ke-6 ini dilangsungkan di Ponpes Alfalah, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Acara ini diikuti sekitar 700 ulama yang menjadi peserta. (Fath)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here