Renungan Puasa ke-21: Lailatul Qadar

733

Oleh: Al-Ustadz Mahpud Hidayat.M.EI (Pengurus MUI Kota Bogor)

Di sepuluh terakhir malam Ramadan ini, lailatul qadar sangat viral. Tidak heran karena nilainya lebih baik dari 1000 bulan (sekitar 83 tahunan).

Banyak yang mencari lailatul qadar. Namun tidak sedikit yang hanya menunggunya. Bahkan ada pula yang mengabaikannya.

Saat kita mengoptimalkan amalan sunah di malam-malam tersebut, berarti kita sedang mencarinya. Tidak mudah dalam hal ini. Persiapannya harus sejak jauh-jauh hari.

Bahkan ada yang sejak bulan rajab mempersiapkannya, meskipun rata-rata mulai bersiap sejak malam pertama bulan puasa.

Dalam persiapan ini, mereka istiqamah dalam menjalankan kewajiban. Terus berupaya melakukan perbaikan. Amalan-amalan sunah berupa tarawih, tilawah, sedekah, dan lain sebagainya senantiasa dipertahankan.

Adapun hal-hal yang mengurangi atau merusak kadar nilai ibadah, sesegera mungkin mereka tinggalkan. Semisal gibah, riya, sum’ah, takabur, dengki, zalim, dan sebagainya.

Meskipun tidak selamanya berada di masjid untuk itikaf, namun lisannya selalu basah dengan zikir dan hatinya terpaut kepada Allah.

Di sisi lain, ketika kita tidak melakukan persiapan di atas, maka posisi kita hanya sebatas menunggu lailatul qadar. Dalam hal ini yang dikhawatirkan adalah saat lailatul qadar datang, kita tidak dalam posisi siap menyambutnya.

Kita malah sedang membuang waktu dengan kegiatan yang tidak bernilai ibadah. Bahkan yang paling dikhawatirkan adalah kita abai dan cuek dengan lailatul qadar.

Kita baru menyadari setelah ramadan pergi. Bahwa untuk kembali pada Ramadan, harus dipanjangkan usia sampai pada tahun nanti.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here