
Oleh:
Agus Mualif Rohadi (Pemerhati Sejarah)
A. Nabi Ibrahim Seringnya perpindahan tempat ini menunjukkan bahwa rombongan Nabi Ibrahim adalah rombongan nomaden yang tempat tinggalnya berupa tenda-tenda besar yang mempunyai dapur umum. Menempati area cukup luas yang tidak dimiliki sendiri namun cukup subur sebagai sumber makanan utama untuk kegiatan peternakan. Oleh karena itu sulit ditemukan peninggalan arkeologis dari kehidupan Nabi Ibrahim di wilayah Kana’an. Baik Al-Quran maupun Kitab Taurat pada Kitab Kejadian, tidak mengisahkan bahwa Nabi Ibrahim menetap pada suatu wilayah di Kana’an yang menunjukkan ciri-ciri kemajuan peradaban tertentu. Berbeda dengan kota Iram tempat diutusnya Nabi Hud, Wadi Al-Qura’ tempat diutusnya Nabi Shalih dan kota Uruk tempat lahir Nabi Ibrahim yang telah mempunyai peradaban yang jauh lebih tinggi. Ciri-ciri peradaban yang sudah tinggi saat itu adalah, sudah ada pemerintahan yang dipimpin raja, terdapat kuil pemujaan untuk penduduk dan tempatnya berdampingan dengan kompleks istana yang besar untuk raja dan keluarganya.
BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-6) Kuil, istana dan rumah penduduk terbuat dari batu atau bata merah, terdapat sistem mata pencaharian untuk hidup berupa perdagangan, pengolah pertanian dan perkebunan yang dilengkapi sistem irigasi memanfaatkan sumber air dan sistem peternakan, jumlah penduduk telah mencapai ribuan. Bahkan di Uruk penduduknya diperkirakan sudah mencapi 100 ribu orang. Perjalanan Nabi Ibrahim di tanah Kana’an hingga sampai di Mamre Hebron sangat mungkin hanya menemukan perkampungan perkampungan kecil di pingggir sungai atau di hutan dengan jumlah penduduk puluhan atau beberapa ratus jiwa yang kehidupannya banyak memanfaatkan hasil hutan, baik dari pepohonan atau hasil berburu binatang hutan dan menangkap ikan untuk makan dan minum serta memanfaatkan pepohonan untuk membuat rumah tinggal. Perkampungan kecil yang tidak ada batas-batas perkampungannya, menunjukkan bahwa wilayah tersebut saat itu masih terbuka untuk datangnya kaum nomaden seperti rombongan Nabi Ibrahim. Sangat banyak dan luas ruang untuk dipilih dan ditempati bagi rombongan baru agar rombongannya bisa hidup.
BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-5) [caption id="attachment_74902" align="aligncenter" width="446"]

Kumpulan pohon Tarbantin di Palestina. Dikumpulan pohon Tarbantin seperti ini Nabi Ibrahim sering menemukan suku-suku Kana’an kuno bermukim.[/caption] Tidak diceritakan terdapat istana raja dan kuil. Hal tersebut menunjukkan penduduk pada tempat singgah Nabi Ibrahim belum terorganisir dalam sistem pemerintahan yang mengurusi keperluan penduduk. Penduduk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mencarinya dari yang tersedia pada alam di sekitarnya. Tidak adanya kuil menunjukkan sistem peribadatan pada kehidupan religius perkampungan tersebut tidak memerlukan tempat khusus yang diperlukan untuk pemujaan bersama. Dalam setiap persinggahan di wilayah Kana'an, Nabi Ibrahim menemukan perkampungan penduduk yang kebanyakan bermukim di dekat kumpulan pohon Tarbantin yang disucikan karena dianggap sebagai tempat bersemayamnya Tuhan. Buahnya disebut buah Tin yang dalam Al-Quran nama buah tersebut diabadikan dalam Surat At -Tin. Kedatangan Nabi Ibrahim yang datang dari peradaban yang lebih tinggi dengan menunjukkan cara beternak hewan di padang rumput, hewan ternak tidak dilepas ke tempat bebas, dan memberikan makanan dedaunan pada hewan dan menunjukkan hasil beternak yang lebih baik menjadi sesuatu yang baru bagi penduduk.
BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-4) Hal itu membuat Nabi Ibrahim bisa diterima oleh penduduk, apalagi kemudian Nabi Ibrahim bersedia mengajarkan cara berternak yang lebih baik dan sangat bermanfaat bagi penduduk membuat Nabi Ibrahim dapat berkomunikasi secara damai. Oleh karena itu, Nabi Ibrahim kemudian dapat diterima ketika menunjukkan bagaimana Nabi Ibrahim dan rombongannya mempunyai cara beribadah sendiri yang menyembah Ellohim. Kesempatan Nabi Ibrahim untuk berdakwah menjadi terbuka, kemudian mengajarkan cara menyembah El yaitu dengan menempatkan sebuah altar
(mezbah) yang terbuat dari batu secara apa adanya tanpa dibentuk lagi, yang dijadikan pusat gerakan berputar ke arah kiri (gerakan
thawaf memutari mezbah). Sambil bergerak mengelilingi mezbah, berdoa kepada El. Agar mezbah batu tidak disembah, kemudian dijadikan meja penyembelihan ternak. Mezbah bukan sesuatu yang dipuja, hanya untuk menjadi titik atau kiblat pemujaan. Hal itu menjadi sesuatu yang baru karena tidak memuja benda.
BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-3) Bergerak berputar menujukkan bahwa pemujaan pada El dapat dari mana saja dengan kiblatnya pada mezbah. Sedang El yang disembah tidak dapat diserupakan dengan bentuk apapun yang ada dibumi, karena El adalah penguasa bumi dan seluruh alam semesta dengan segala isinya. Suku Kana’an kuno juga mengenal penyembelihan kurban. Nabi Ibrahim juga mempunyai ibadah kurban dan kemudian memperkenalkan bagaimana melakukan ibadah kurban sebagai bagian beribadah kepada El. Tempat penyembelihan kurban adalah batu mezbah, yang dengan demikian sekaligus menghindarkan penyembahan terhadap batu mezbah. Kitab Kejadian menunjukkan, dalam setiap persinggahan, Nabi Ibrahim cukup lama berada di perkampungan tersebut, bisa selama dua tahun bahkan ada yang waktunya lebih panjang dari itu. Hal itu menunjukkan Nabi Ibrahim selama tinggal di perkampungan-perkampungan Kana’an kuno, cukup leluasa mengajarkan tauhid dan cara shalat dengan thawaf dengan titik perputaran atau kiblat adalah mezbah batu.
BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-2) Dakwah tauhid dengan membawa ilmu dan peradaban yang lebih tinggi menjadi jalan yang memudahkan bagi Nabi Ibrahim. Oleh karena itu, baik dalam Al-Quran maupun Kitab Kejadian tidak ada kisah konflik antara Nabi Ibrahim dengan penduduk perkampungan tempat singgah karena memperebutkan sumber daya dan kekayaan atau karena mengajarkan keimanan yang berbeda. [caption id="attachment_74905" align="alignnone" width="720"]

Baitul Maqdis. (Foto: ayojalanterus)[/caption]
5. Tanah yang dijanjikan atau Baitul Maqdis. Kitab Kejadian mengkisahkan, dalam perjalanan dakwahnya, terutama di wilayah More, Sikhem, Lus atau Betheldan Hebron, beberapa kali Nabi Ibrahim mendapatkan wahyu yang menyatakan bahwa tempat-tempat yang disinggahinya dijanjikan oleh Allah akan menjadi tempat yang diperuntukkan bagi tempat tinggal keturunannya, yang di dalam Al-Quran disebut Baitul Maqdis atau tanah yang dijanjikan. Janji El ini untuk menjawab kegelisahan Nabi Ibrahim yang sudah semakin tua, demikian pula Sarah juga semakin tua tetapi belum dikaruniai keturunan. Saat itu Nabi Ibrahim sudah berumur sekitar 70 tahun dan Sarah sekitar 60 tahun. Meskipun Al-Quran tidak menyebut secara detil tempat-tempat di mana Nabi Ibrahim mendapat janji Allah untuk mendapat keturunan yang akan menempati wilayah yang dilaluidan disinggahinya, namun Al-Quran menyebut bahwa Nabi Ibrahim akan mendapatkan keturunan, yaitu Ishak dan Ya’qub dan Nabi Ibrahim akan menjadi buah tutur yang baik dan mulia (QS. Maryam ayat 49-50).
BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-1) Pernyataan Al-Quran mengisyaratkan bahwa anak keturunannya akan mendiami wilayah yang luas yang akan membuat dirinya menjadi buah tutur yang baik dan mulia. Selain itu, Al-Quran juga menyebutkan bahwa Bani Israel harus mengikuti Nabi Musa keluar dari Mesir menuju Baitul Maqdis, yang menunjukkan bahwa janji itu diperuntukkan bagi keturunan Sarah. Mengacu pada perintah Allah pada Nabi Musa dan Bani Israel untuk memasuki Baitul Maqdis, maka masuk akal bila yang dimaksud Baitul Maqdis adalah suatu wilayah di tanah Kana’an yang diperuntukkan bagi keturunan Nabi Ibrahim yang berasal dari Ishak yang kemudian membentuk bangsa Israel. Mengingat di wilayah tersebut terlebih dahulu ada suku-suku yang menempatinya, yaitu suku-suku bangsa keturunan Kana’an dan suku-suku lainnya, maka Bani Israel harus berbagi tempat dengan suku suku tersebut dan hidup berdampingan dengan mereka sebagaimana Nabi Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub juga hidup berdampingan dengan orang-orang dari suku-suku di wilayah Kana’an. Putra pertama Nabi Ibrahim justru diperoleh dari istrinya, Hajar. Sedang putra kedua, yaitu Ishak diperoleh dari istrinya, Sarah. Serta beberapa anak lagi dari istrinya yang lain. Dari Nabi Ismail, keturunan Nabi Ibrahim menjadi bangsa yang besar yang dalam Al-Quran menyebutkan dalam suatu doanya, Nabi Ibrahim memohon kepada Allah agar menjaga keturunannya di Mekkah, yaitu bangsa Arab menempati wilayah Jazirah Arabiya. Oleh karena itu, Baitul Maqdis memang tidak dijanjikan bagi keturunan Nabi Ibrahim dari Ismail. Kitab Kejadian juga mengkisahkan tentang keturunan Nabi Ibrahim dari istri selain Sarah dan Hajar, yaitu Ketura yang juga memunculkan beberapa suku bangsa. Tidak ada janji dari Allah atau permohonan Nabi Ibrahim yang secara khusus diperuntukkan bagi keturunan Ketura. Artinya, keturunan Ketura berhak menempati wilayah di mana Nabi Ibrahim dan Ketura bertempat tinggal dan anak-anak dari Ketura dilahirkan, yaitu di Hebron atau wilayah Baitul Maqdis dan sekitarnya.
BERSAMBUNGDapatkan update muslimobsession.com melalui whatsapp dengan mengikuti channel kami di Obsession Media Group