Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-3)

542
Madain Shalih, kota kuno di Wadi Al-Qura, Arab Saudi. Saat ini, pemerintah Arab Saudi sedang merevitalisasi kota kuno Madain Shalih untuk kegiatan wisata.

Oleh: Agus Mualif Rohadi (Pemerhati Sejarah)

I. Nabi Hud dan Nabi Shalih.

Kondisi wilayah dan kehidupan kaum Tsmaud digambarkan pada QS. Al-A’raf ayat 74 yaitu: “Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu semua sebagaikhalifah(disebut jamak, Khulafaa’a) sesudah kaum ‘Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana -istana di tanah tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat nikmat Allah dan janganlah kamu meraja lela di muka bumi membuat kerusakan”.

Juga QS. Al-Hijr ayat 80-84: “Dan sesungguhnya penduduk negeri Hijr benar-benar telah mendustakan para rasul (mereka), dan Kami telah mendatangkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami, tetapi mereka selalu berpaling darinya, dan mereka memahat rumah–rumah dari gunung batu, (yang didiami) dengan rasa aman. Kemudian mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur pada pagi hari sehingga tidak berguna bagi mereka, apa yang telah mereka usahakan”.

Penduduk kaum Tsamud membuat rumah-rumahnya dengan memahat batu gunung, mengubah dengan melubangi gunung batu menjadi rumah dan menghiasinya dengan pahatan pahatan. Sedang pada tanah yang datar mereka mendirikan kompleks istana untuk raja-raja mereka dengan keluarganya.

Pada masa itu memahat batu bukanlah pekerjaan mudah karena belum ditemukan barang dari logam seperti besi. Memahat batu mesti dengan peralatan terbuat dari batu pula yang dipukul dengan palu berkepala batu pula. Membuat alat pahatan dan palu dari batu yang harus dipilih batu yang lebih keras dan lebih tajam dari batu perbukitan yang harus dilubangi dan dipahat.

BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri 1)

Suatu perkejaan yang tidak mudah yang membutuhkan kekuatan fisik yang besar pula. Mendirikan istana di tempat yang lebih datar dengan membentuk bongkahan-bongkahan batu kemudian menyusunnya menjadi istana dan membuat pahatan yang indah dipandang mata.

Membuat ruangan ruangan istana dari tumpukan batu tanpa penguat lainnya selain dengan cara menumpuk batu-batu tentu membutuhkan pengalaman panjang sehingga menjadi pengetahuan yang lebih tinggi. Tempat tinggal di gunung yang dominan berbatu membuat kaum Tsamud mempunyai peradaban lebih tinggi dari komunitas kesukuan lainnya. Peradaban tinggi kaum Tsamud juga dilengkapi dengan kemampuan mengolah alam menjadi sumber kekayaannya sehingga kebanyakan dari kaum tersebut menjadi makmur.

QS. Asy-Syu’ara’ ayat 146-149 menunjukkan bahwa mereka bukan hanya mampu membuat pemukiman dengan merekayasa gunung batu sebagai rumah-rumah mereka sehingga mereka merasa dalam situasi yang aman dan terlindungi, namun suku Tsamud juga suku yang kaya karena mampu mengolah sumber air dengan membuat perkebunan kurma dan lain-lain. Perkebunan kurma juga menunjukkan terdapat hubungan antara kaum Tsamud dengan suku yang lain di belahan utara Wadi Al-Qura’ dalam perdagangan kurma sehingga mereka menjadi Makmur.

Saat itu padang pasir yang ganas di selatan dan timur Wadi Al-Qura’ belum ada tanda-tanda dihuni oleh manusia. Suku-suku yang bermukim di wilayah utara Wadi Al-Qura adalah kebanyakan suku-suku keturunan Kana’an ibn Ham ibn Nuh yang menempati wilayah pertanian yang subur karena cukup banyak sungai dan anak sungai. Karena kemampuan dan kekayaannya tersebut membuat mereka merasa benar dengan menyembah tuhan yang selama ini mereka sembah sesuai dengan sesembahan nenek moyang mereka.

Oleh karena itu, ketika muncul Nabi Saleh yang berasal dari saudara mereka sendiri yang memperingatkan tentang kesesatan kaumnya, maka kemudian terjadi penentangan dan perselisihan.

BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri 2)

QS. Hud ayat 61-62 menyebutkan: “Dan kepada kaum Tsamud (Kami utus) saudara mereka, Shalih. Dia berkata: Wahai kaumku, sembahlah Allah! Tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat (rahmat-Nya) dan memperkenankan (doa hamba-Nya). Mereka (kaum Tsamud) berkata, Wahai Shalih, sungguh engkau sebelum ini berada di tengah-tengah kami merupakan orang yang diharapkan, mengapa engkau melarang kami menyembah apa yang disembah oleh nenek moyang kami? Sungguh kami dalam keraguan dan kegelisahan terhadap apa (agama) yang engkau serukan kepada kami”.

Dari ayat tersebut terdapat ucapan Nabi Shalih tentang penciptaan manusia yang terbuat dari bumi (tanah) dan tugas manusia adalah membuat kemakmuran di bumi serta mengingatkan kaumnya agar menyembah Allah, bukan tuhan-tuhan yang lainnya.

Ucapan tersebut saat itu menjadi sesuatu yang baru bagi kaum Tsamud bahwa manusia diciptakan dari tanah, yang ucapan tersebut digunakan oleh Nabi Shalih untuk membawa kaumnya agar kembali menyembah Allah. Ucapan yang secara substansial menjadi sangat kontras bagi kaumnya yang menyembah berhala yang telah disembah oleh nenek moyang mereka.

Ayat tersebut juga menunjukkan bahwa penyembahan berhala tersebut telah terjadi dalam waktu yang cukup lama, mungkin sudah terjadi dalam kurun waktu ratusan tahun sehingga telah menjadi tradisi ritual kaum Tsamud. Suatu ucapan tentang penciptaan manusia yang hanya bisa diimani karena ucapan tersebut tidak akan dapat masuk dalam akal dan tidak dapat dipahami kaum Tsamud.

Nabi Shalih pun menyampaikan ucapan tersebut hanya untuk menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk lemah di hadapan Allah, Tuhannya Nabi Shalih, yang kontras dengan berhala yang tidak mampu berbuat apa-apa namun disembah. Suatu pengetahuan baru bagi kaum Tsamud bahwa ada tuhan yang menciptakan bumi dan manusia serta alam semesta, bukan sekadar tuhan yang disembah karena mempunyai kekuatan untuk mengganggu kehidupan manusia dalam mencapai tujuan hidupnya, yang oleh karena itu mereka sembah untuk menghindari gangguan dari tuhan berhala.

Oleh karena itu peringatan tersebut membuat kaum Tsamud kemudian menjadi terbelah, yang dapat dibaca pada ayat-ayat berikut: QS An-Naml ayat 45 menyatakan: “Dan sungguh, Kami telah mengutus kepada (kaum) Tsamud saudara mereka yaitu Shalih (yang menyeru), Sembahlah Allah! Tetapi tiba-tiba mereka (menjadi) dua golongan yang bermusuhan”.

QS. Al-A’raf ayat 75-76 menunjukkan: “Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah, yaitu orang-orang yang telah beriman di antara kaumnya. Tahukah kamu bahwa Shalih adalah seorang rasul dari Tuhannya? Mereka menjawab, sesungguhnya kami percaya kepada apa yang disampaikannya. Orang-orang yang menyombongkan diri berkata, ‘Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu percayai’”.

Dari ayat tersebut nampak bahwa keterbelahan kaum Tsamud bukan sekadar tentang perbedaan keimanan, namun juga perbedaan dalam kemakmuran. Para pengikut Nabi Shalih adalah kaum yang secara ekonomi maupun politik adalah kaum yang lemah. Jarak antara yang kaya dan kuat dengan yang miskin dan lemah cukup lebar.

Faktor yang menjadikan kaum yang lemah menjadi pengikut Nabi Shalih adalah karena yang kaya dan kuat telah dengan sombong menindas kaum yang miskin dan lemah. Bahkan kaumnya menganggap bahwa nabi Shalih memberingatan peringatan tersebut hanya untuk mencari kekayaan dengan menakut-nakuti mereka (QS. Asy-Syu’ara ayat 145).

Golongan kaya dan kuat menjadi sombong yang bukan hanya meragukan kebenaran kabar (firman) Allah yang disampaikan Nabi Shalih, tetapi juga menuduh Nabi Shalih dan pengikutnya sebagai golongan yang membuat nasib mereka menjadi malang, karena terganggu dengan seruan nabi Shalih.

Kaumnya menganggap Nabi Shalih dan pengikutnya adalah orang yang kena sihir dan kemudian bahkan menantang Nabi Shalih agar menunjukkan mukjizatnya jika Shalih adalah orang yang benar. (QS. Asy-Syu’ara ayat 153-154).

BERSAMBUNG

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here