Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-47)

Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-47)
Oleh: Agus Mualif Rohadi (Pemerhati Sejarah) Namun kemudian Allah berfirman kepada Nabi Musa dan Nabi Harun: “Karena kamu tidak percaya kepada Ku dan tidak menghormati ke kudusan Ku didepan mata orang Israel, itulah sebabnya kamu tidak akan membawa Jamaah ini masuk kenegeri yang akan Kuberikan kepada mereka”. Allah telah menghukum Nabi Musa dan Nabi Harun karena kekeliruan yang diperbuatnya disebabkan amarah yang membuat kesalahan dalam perkataan dan perbuatan yaitu: (1) Menyebut kaumnya sebagai kaum yang durhaka, (2) Menyebut perkataan “Kami (Musa dan Harun) harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini?”. Seharusnya Nabi Musa menyampaikan kepada Bani Israel bahwa “Ada perintah Allah kepada batu tersebut agar mengeluarkan airnya”. Dengan demikian Nabi Musa dan Harun telah mengambil alih kekudusan Allah dalam hal mengeluarkan air dari batu. (3) Nabi Musa memukul batu dengan tongkatnya dua kali untuk mengeluarkan air dari batu. Padahal Allah hanya memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun berkata (bukan memukul) kepada batu tersebut agar mengeluarkan airnya. Dalam peristiwa tersebut, mukjizat Nabi Musa adalah mengetahui batu yang mana yang dapat mengeluarkan air, kemudian diperintah Allah berkata pada batu tersebut agar mengeluarkan airnya. Namun Nabi Musa dan Harun tidak melaksanakan perintah Allah secara benar karena dilupakan oleh kemarahannya, sehingga dihukum tidak dapat ikut serta masuk ke Baitul Maqdis. BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-46)18. Pertemuan dengan hamba Allah yang shalih (Nabi Khidir). Kisah pertemuan antara Nabi Musa dengan hamba Allah yang shalih (Nabi Khidir) terdapat dalam QS. Al-Kahf: 60-82. Kisah ini tidak ada informasinya pada Kitab Torah, yang hal ini menunjukkan bahwa kisah ini tidak ada hubungannya dengan kisah Bani Israel. Peristiwanya terjadi ketika Nabi Musa berjalan ke suatu tempat bersama pembantunya. Pembantu yang dimaksud sangat mungkin adalah Yusa’ bin Nun, karena ke manapun Nabi Musa pergi selalu ditemani Yusa’ bin Nun. Kisah dimulai ketika dalam suatu perjalanan, Nabi Musa berkata pada pembantunya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut, atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun tahun”. Ayat tersebut tersebut mengisyaratkan: (1) Ada sesuatu yang dicari atau mau ditemui oleh Nabi Musa, yang waktu pertemuannya atau yang dicarinya tidak diketahui kapan akan terjadi, dan Nabi Musa tidak akan balik ke perkemahan Bani Israel sebelum pertemuan atau yang dicarinya telah didapatnya. Jadi peristiwa ini mengisyaratkan sesuatu yang sangat penting bagi Nabi Musa. BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-45) (2) Nabi Musa telah tahu perkiraan tempat pertemuannya tersebut, yaitu ketika perjalanan mereka sampai ke “pertemuan dua laut”. Pengertian dua laut bisa diterjemahkan sebagai pertemuan antara dua orang yang mempunyai ilmu atau hikmah yang tinggi atau dalam dan luas sehingga di istilahkan pertemuan dua laut. Namun juga bisa diterjemahkan secara fisik karena memang tempat pertemuan tersebut merupakan perjumpaan di pertemuan dua (nama) laut. Jika diterjemahkan secara fisik, maka yang dimaksud adalah sangat mungkin tempat bertemunya laut merah dengan laut teluk ‘‘Aqabah. Tempat dimaksud adalah tempat yang letaknya berada pada tempat setelah rombongan Bani Israel meninggalkan gurun Sinai, yang dengan demikian sedang berada di kawasan gurun Paran. Kemudian dalam suatu persinggahan atau perkemahan Bani Israel yang masih di wilayah gurun Paran, dimana dengan persinggahan tersebut Nabi Musa mempunyai kesempatan melakukan suatu perjalanan pribadi. Dengan demikian sangat mungkin peristiwa ini terjadi ketika Bani Israel membuka perkemahan di Yotbata. Kemudian Nabi Musa melakukan perjalanan pribadi untuk waktu yang agak lama ketika di Yotbata sudah tersedia sumber air yang mencukupi bagi kehidupan Bani Israel. BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-44) Dari Yotbata menuju tempat pertemuan jaraknya cukup jauh yang mungkin harus ditempuh sekitar tujuh hari perjalanan. Dengan hanya berdua saja dan berada ditempat yang jauh dari perkemahan Bani Israel, hal itu juga menunjukkan bahwa peristiwa pertemuan ini tidak ada hubungannya dengan kisah Bani Israel. Untuk mencapai wilayah tersebut, Nabi Musa sangat mungkin menelusuri pantai barat teluk ‘Aqabah hingga ke ujung selatan. Tempat persisnya adalah di tempat dimana pembantunya bercerita ketika beristirahat sambil makan, pembantunya melihat terdapat ikan laut yang bergerak dengan cara yang aneh. Ketika mendengar cerita itu, Nabi Musa kemudian mengajak menyusuri jalan kembali menuju tempat di mana terdapat ikan yang bergerak dengan aneh, karena di situ pertemuan Nabi Musa dengan yang dicarinya akan terjadi. Dengan demikian Nabi Musa datang ketempat tersebut pasti sebelumnya telah diberitahu oleh Allah tentang tanda-tanda tempat pertemuan dengan orang yang dicari oleh Nabi Musa. Sampai di tempat tersebut lalu Nabi Musa melihat tanda-tanda orang yang dicarinya seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Kahf: 65, yaitu “Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami”. BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-43) Dari ayat tersebut menunjukkan bahwa Hamba Allah tersebut adalah hamba yang telah mendapat rahmat dan ilmu dari sisi Allah. Oleh karena itu, ketika bertemu dengan hamba Allah dimaksud, Nabi Musa memohon agar diperbolehkan mengikuti perjalanannya untuk belajar dan memperoleh pengajaran ilmu dari hamba Allah tersebut. Namun hamba Allah tersebut langsung menyatakan bahwa “Sungguh, engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu, sedangkan engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” Perkataan itu langsung dijawab oleh Nabi Musa, “Insya Allah akan engkau dapati aku orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apapun”. Yang kemudian dijawab lagi oleh hamba Allah tersebut dengan mengatakan, “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku menerangkannya kepadamu”. Dari dialog tersebut dapat diketahu bahwa hamba Allah itu telah mengetahui bahwa akan dijumpai suatu peristiwa yang tidak diketahui hakikat peristiwanya oleh Nabi Musa, dan Nabi Musa pasti tidak akan sabar dan kemudian mempertanyakan apa yang diperbuat olehnya (hamba Allah). BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-42) Namun Nabi Musa tidak mengerti apa yang dimaksud dengan perkataan hamba Allah tersebut dan merasa dirinya akan dapat bersabar denga apa yang akan diperbuat oleh hamba Allah yang telah diberi rahmat ilmu dari sisi Allah. Dari dialog tersebut di atas, dapat dibedakan bahwa Nabi Musa mengetahui sesuatu berdasarkan wahyu yang diterimanya, sedang orang shalih tersebut mengetahui sesuatu karena diberi ilmu dari sisi Allah. Setelah bersepakat, maka perjalanan kemudian dimulai. Ketika mereka menaiki perahu, tiba-tiba hamba Allah tersebut melubangi perahu sehingga Nabi Musa mempertanyakan perbuatannya yang dianggap telah melakukan kesalahan besar, yang dijawab bahwa Musa tidak akan dapat bersabar bersamanya. Nabi Musa kemudian memohon agar jangan dihukum karena kelupaannya. Mereka kemudian melanjutkan perjalanannya. Ketika mereka berjumpa dengan seorang anak muda yang sedang bermain, tiba-tiba hamba Allah tersebut membunuh anak muda tersebut. BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-41) Tentu saja Nabi Musa sangat terkejut dengan kejadian itu, dan mempertanyakan mengapa hamba Allah tersebut membunuh jiwa yang masih bersih sehingga dia telah melakukan perbuatan mungkar. Hamba Allah tersebut kemudian mengingatkan kembali bahwa Musa tidak akan dapat bersabar mengikutinya. Dan Nabi Musa kemudian berjanji jika dirinya mempertanyakan perbuatannya lagi maka hamba Allah dapat menyuruhnya pergi tidak lagi mengikutinya. Ketika perjalanan sampai pada penduduk di suatu negeri, mereka minta dijamu penduduk namun penduduk di situ menolaknya. Sedang ketika hamba Allah itu melihat ada rumah yang dindingnya hampir roboh, tanpa diminta hamba Allah itu langsung bekerja membenahi dinding tersebut hingga tegak kembali dan setelah itu langsung pergi tanpa meminta imbalan apapun. Nabi Musa langsung berkomentar bahwa jika Hamba Allah itu mau, niscaya dapat meminta imbalan. Dengan komentar tersebut, hamba Allah tersebut langsung mengatakan bahwa saatnya mereka berpisah. Kemudian diterangkannya ketiga peristiwa tersebut kepada Nabi Musa. Peristiwa yang pertama adalah pemilik perahu tersebut merupakan orang miskin sedang sebentar lagi akan datang seorang raja yang akan merampas setiap perahu. Jadi perbuatannya melobangi perahu tersebut agar perahu tersebut tidak diambil raja. BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-40) Peristiwa kedua adalah karena anak muda itu merupakan orang kafir, sedang orangtuanya adalah orang mukmin, dan anak muda itu akan memaksa orangtuanya kepada kesesatan dan kekafiran. Dengan membunuhnya, maka hamba Allah tersebut telah mencegah perbuatan anak muda tersebut, dan berharap Allah akan mengganti dengan anak yang lebih baik lagi kesuciannya dan lebih sayang kepada orangtuanya. Peristiwa ketiga adalah karena pemilik rumah merupakan dua anak yatim, sedang di bawah rumah tersebut tersimpan harta bagi mereka berdua. Tuhan menghendaki agar keduanya ketika dewasa mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat Tuhan. Hamba Allah tersebut kemudian mengatakan, “Apa yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya”. BERSAMBUNG

Dapatkan update muslimobsession.com melalui whatsapp dengan mengikuti channel kami di Obsession Media Group