Mahasiswa NU Gugat Putusan MK soal Batas Usia Capres-Cawapres

470

Jakarta, Muslim Obsession – Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Brahma Aryana menggugat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat capres-cawapres.

Brahma menggandeng advokat Viktor Santoso Tandiasa dan Harseto Setyadi Rajah atas permintaan uji materiel (judicial review) putusan tersebut. Permintaan tersebut sudah teregister dengan nomor perkara 141/PUU-XXI/2023.

“Dengan ini pemohon mengajukan Permohonan Pengujian Materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 6109 Sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 90/PU U-XX 11/2023,” demikian dikutip dalam dokumen permohonan pemohon, Kamis (2/11).

Menurutnya, jika mengacu pada Pasal 60 UU MK, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.

Namun, dia menjelaskan putusan MK itu masih bisa digugat kembali karena apa yang digugat tidak sama dengan gugatan sebelumnya yang telah diputus. Sebab, pasal yang dipermasalahkan adalah pasal yang telah ditambah normanya oleh MK lewat putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.

“Yang dimohonkan oleh pemohon adalah Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.

Secara substantif, Brahma melayangkan gugatan lantaran menilai putusan MK tersebut bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945.

Dia juga menilai ketentuan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 yang telah dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi No. 90/PU U-XX 11/2023 akan menimbulkan persoalan hukum.

MK menambah ketentuan dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 menjadi:

Persyaratan menjadi Calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: “Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”

Menurut Brahma, frasa penambahan ketentuan dalam penalaran yang wajar berpotensi secara pasti akan menimbulkan persoalan hukum bagi calon yang berusia di bawah 40 Tahun, karena terdapat frasa ‘yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’.

Sementara, kata dia, terhadap frasa tersebut tidak menyebutkan secara spesifik pada jabatan pada tingkat apa yang dimaksud tersebut. Apakah jabatan pada tingkat gubernur dan wakil gubernur atau juga termasuk jabatan pada tingkat bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota.

Dia juga mempersoalkan terkait 5 hakim yang sepakat mengabulkan permohonan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Hal ini berkaitan dengan apa yang dipermasalahkan dalam gugatan Brahma.

Dalam putusan itu, 3 hakim yang memaknai ‘pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’.

Sedangkan, ada 2 hakim memaknai ‘berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi/pada jabatan gubernur’.

“Hal tersebut tidak memenuhi syarat untuk dapat dikabulkannya permohonan karena hanya 3 hakim konstitusi yang setuju pada pilihan pemaknaan tersebut (YM. Prof. Dr. Anwar Usman, YM. Prof. Dr. Guntur Hamzah, dan YM Prof. Manahan MP Sitompul),” ujarnya.

“Bahwa sementara 2 hakim konstitusi lainnya setuju terdapat alternatif syarat ‘berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi’ (YM. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih) dan syarat ‘berpengalaman sebagai gubernur yang pada persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang’ (YM. Dr. Daniel Yusmic P Foekh),” lanjutnya.

Menurutnya, frasa ‘yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’ inkonstitusional karena hanya berdasarkan 3 suara hakim konstitusi dari 5 suara hakim konstitusi yang dibutuhkan.

Di sisi lain, putusan itu juga membuka peluang bagi setiap warga negara yang pada usia terendah 21 tahun dapat mendaftarkan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden sepanjang sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pemilihan kepala daerah. Hal itu menurutnya berisiko.

“Bahwa hal tersebut tentunya dapat mempertaruhkan nasib keberlangsungan negara Indonesia,” tuturnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here