
Oleh:
Agus Mualif Rohadi (Pemerhati Sejarah)
22. Meninggalnya Nabi Musa. Dalam Kitab Ulangan dikisahkan, pada suatu hari, Nabi Musa mengumpulkan seluruh Bani Israel untuk mendengarkan kata-katanya. Inti perkataannya adalah karena umurnya sudah 120 tahun dan tidak bisa lagi banyak melakukan kegiatan, sedang Allah telah menyatakan dirinya tidak akan diizinkan menyeberangi sungai Yordan. Sedang Allah akan menyeberangkan Bani Israel ke Baitul Maqdis dan akan membantu Bani Israel mengalahkan lawan-lawannya. Telah ditunjuk yang memimpin dalam menyeberangi sungai Yordan dan berperang mengalahkan lawan-lawan Bani Israel adalah Yosua (Yusa’) bin Nun. Kemudian Nabi Musa memanggil Yusa’ bin Nun ke depan di hadapan seluruh Bani Israel, mengambil sumpahnya dan meneguhkan hatinya untuk masuk ke tanah yang dijanjikan Tuhan dengan sumpah kepada nenek moyang mereka (Ibrahim, Ishaq, Ya’qub). Oleh karena itu Tuhan akan menyertai, tidak akan membiarkan dan tidak akan meninggalkan Yosua dan Bani Israel. Kemudian Nabi Musa mengajak Yosua ke kemah suci dan berdiri di dalam kemah suci untuk mendengarkan firman dan perintah Tuhan yang memperingatkan Bani Israel, jika mereka meninggalkan-Nya maka Tuhan akan mengingkari perjanjian-Nya yang diikat dengan Bani Israel, sehingga Bani Israel akan ditimpa malapetaka dan bencana.
BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-49) Dengan demikian Yusa’ bin Nun telah diangkat menjadi pemimpin Bani Israel untuk memasuki tanah yang dijanjikan (Baitul Maqdis). Setelah mendengarkan firman Allah itu, Nabi Musa kemudian menuliskan nyanyian yang akan diperdengarkan dan diajarkan kepada Bani Israel turun temurun sebagai saksi ketika mereka ditimpa bencana dan malapetaka karena meninggalkan Allah, sehingga Bani Israel menyadari keslahannya. Nyanyian ini dikenal dengan Nyanyian Musa, sebuah nyanyian yang bait-baitnya sangat panjang. Setelah itu Nabi Musa memberi berkat kepada setiap suku-suku Bani Israel. Selain itu, Nabi Musa juga menyampaikan sebuah nubuwah kenabiannya (Ulangan 33, 2), yaitu: “Tuhan datang dari Sinai dan terbit kepada mereka dari Seir. Ia tampak bersinar dari pegunungan Paran dan datang dari tengah-tengah puluhan ribu orang yang kudus. Di sebelah kanannya tampak kepada mereka api yang menyala. Sungguh ia mengasihi umatnya, semua orangnya yang kudus –di dalam tangan-Mu lah mereka, pada kaki-Mu lah mereka duduk, menangkap sesuatu dari firman-MU”. Terdapat dua sosok penting dari nubuwah itu, yaitu: (1) Tuhan, dan yang ke (2) Ia yang datang dari puluhan ribu orang yang kudus, yang di tangan kanannya nampak api yang menyala (hukum). Siapakah sosok yang kedua yang dimaksud dalam nubuwah itu? Setelah pemberian berkat, Nabi Musa diperintahkan Allah naik ke atas pegunungan Abarim, naik ke salah satu puncak gunungnya, yaitu gunung Nebo yang puncak gunungnya dikenal dengan puncak Pisga. Nabi Musa tanpa ada yang menemani, naik dari dataran Moab, bertentangan dengan arah ke Yerikho. Di puncak gunung tersebut, Nabi Musa diizinkan memandang dataran Baitul Maqdis, namun tidak akan bisa memasukinya.
BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-48) [caption id="attachment_76919" align="alignnone" width="720"]

Di salah satu lembah Gunung Nebo, Nabi Musa meninggal, tidak ada orang yang mengetahui tempatnya. (Foto: lonely planet)[/caption] Dataran itu mulai dari daerah Gilead sampai ke wilayah yang akan jadi wilayah suku Dan, dan seluruh wilayah suku-suku Bani Israel lainnya. Allah menyatakan yang dipandangnya itu adalah negeri yang dijanjikannya kepada Ibrahim, Ishak dan Ya’qub. Usai memandang wilayah itu, Nabi Musa pergi ke suatu lembah di tanah Moab, di gunung Nebo pada tentangan Beth–Peor. Di salah satu lembah di kawasan tersebut yang terletak di tanah Moab, Nabi Musa meninggal tanpa ada yang mengetahui persis di mana tempat meninggalnya. Nabi Musa seperti halnya naik ke puncak Sinai, berangkat sendirian, kemudian menuju puncak Pisga juga sendirian, lalu turun ke tempat di mana telah menunggu malaikat maut yang sedang menjemputnya. Tidak ada yang mengetahui tempatnya pada kawasan yang sangat luas tersebut. Nabi Musa meninggal pada umur 120 tahun. Jika dihitung berdasar tahun tenggelamnya Meremptah dan selama Bani Israel di padang gurun Sinai, Zin dan Paran, maka Nabi Musa meninggal pada sekitar tahun 1161 SM. Bani Israel berhari-hari menangisi kematiannya.
BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-47) Setelah masa berkabung Bani Israel selesai, mereka kemudian bersiap-siap untuk memasuki tanah yang dijanjikan menjadi negeri mereka. Namun di sana telah menghuni bermacam-macam suku. Nabi Ibrahim dan Nabi Ishak telah memberi contoh bagaimana mendapatkan tanah haknya, yaitu dengan membeli dan membuat perjanjian perdamaian. Namun jika untuk memperoleh tanah tersebut sampai terjadi perang, saat itu telah tersedia hukum perang Musa yang harus mereka taati. Bani Israel datang ke Baitul Maqdis dengan jumlah orang yang sangat luar biasa banyaknya. Bahkan mungkin jauh lebih banyak dari suku-suku di kawasan tersebut. Tidak mudah untuk mendapatkan tanah secara damai atau dengan cara membeli untuk suatu kawasan yang sangat luas. Peperangan menjadi salah satu resiko yang harus mereka hadapi. Namun mereka juga dilarang membunuh semua orang karena terikat dengan hukum perang Musa yang telah menentukan siapa yang boleh dibunuh dan siapa yang harus tetap dihormati untuk hidup. Jadi meskipun berperang, Bani Israel juga harus bersedia untuk hidup berdampingan dengan suku-suku yang ada di sana. Yosua harus memimpin dalam situasi yang sulit tersebut. Memimpin suatu peristiwa yang akan dikenang sepanjang zaman.
BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-46) [caption id="attachment_76920" align="alignnone" width="720"]

Maqam bisa bermakna kubur, namun bisa juga hanya bermakna petilasan. Tempat tersebut sangat mungkin hanya petilasan Nabi Musa karena pernah berdiam di tempat tersebut, yaitu di Gunung Nebo. (Foto: koleksi Agus Mualif Rohadi)[/caption]
23. Yoshua Bin Nun memimpin Bani Israel masuk ke wilayah Baitul Maqdis. Kitab Yosua (Yusa’ bin Nun) mengisahkan, bahwa Bani Israel taat dengan perintahnya untuk segera menyeberangi sungai Yordan. Semua menyeberang kecuali istri, perempuan dan anak-anak dari suku Ruben, Gad dan setengah dari suku Manasye yang telah memperoleh tanah yang dibagikan oleh Nabi Musa dari tanah suku Moab yang dikalahkannya. Sebelum menyeberang sungai Yordan, Yusa’ mengirim dua orang pengintai ke kota yang penduduknya bisa menjadi penghalang dari tujuan Bani Israel untuk mengambil tanah di Baitul Maqdis yaitu Jerikho. Kota ini adalah kota tertua di dunia yang pernah ditemukan peninggalan arkheologisnya. Kota ini yang didiami sekitar tahun 6.000 SM, dengan bentuk rumah rumah bundar yang dibangun dengan bata lumpur dengan penghuni sekitar 2.000 sampai 3.000 orang dalam arel seluas sekitar 5 ha. Kota yang kecil dengan jumlah penduduk yang sangat kecil dibanding jumlah warga Bani Israel. Namun kota ditepi barat sungai Yordan tersebut tidak termasuk wilayah yang disebut negeri Baitul Maqdis.
BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-45) Di kota tersebut dua pengintai ini sempat menginap di rumah seorang perempuan yang mengerti kisah Bani Israel dan takut dengan Tuhan Bani Israel yang telah menyeberangkan Bani Israel dari Mesir dengan menyibakkan laut dan mengeringkan dasar lautnya serta mengetahui cerita Bani Israel mengalahkan raja Amori dan beberapa puak suku Moab. Perempuan tersebut mengatakan bahwa penduduk kotanya sebenarnya sangat takut dengan Bani Israel dan berharap Bani Israel tidak merampas kotanya. Perempuan tersebut menyembunyikan pengintai dari Bani Israel di rumahnya yang akhirnya bisa kembali ke perkemahan Bani Israel di timur sungai Yordan. Pengintai tersebut memberikan janji kepada perempuan itu bahwa dirinya dan seluruh keluarganya akan selamat apabila nanti Bani Israel datang dan harus menyerbu kotanya memerangi penduduknya. Semua hal yang dilihat dan dialami kedua pengintai ini kemudian diceritakan kepada Yusa’ bin Nun. Dari Syitim, Bani Israel berangkat menuju ke sungai Yordan dan sebelum menyeberang mereka istirahat membuka perkemahan di tepi bagian timur sungai Yordan beberapa malam. Setelah semua segar kembali, dengan para imam penandu Tabut Perjanjian berada di depan, para imam kemudian menginjakkan kakinya ke air sungai Yordan. Kitab Yosua mengisahkan, ketika para imam menginjakkan kakinya ke air sungai Yordan, maka saat itu air di hulu sungai berhenti mengalir.
BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-44) Air sungai dari hulu hingga tempat kakinya para imam menginjak berhenti mengalir membentuk bendungan, sedang air di tempat di mana para imam menginjakkan kakinya mengalir terus ke laut asin (Laut Mati). Sungai Yordan airnya menjadi terputus. Sungai berubah menjadi daratan yang dapat dilalui Bani Israel. Sebuah kisah yang hampir mirip dengan kisah tersibaknya air laut ketika tongkat Nabi Musa memukul ke laut. Jumlah orang Bani Israel saat itu ratusan ribu orang, yang tidak mungkin menyiapkan dan menyediakan perahu penyeberangan. Pada akhirnya Bani Israel telah menyeberangi sungai Yordan, dan sebelum menuju kota Yerikho, merika terlebih dahulu beristirahat dan membuka perkemahan di tepi barat sungai yang tempat tersebut kemudian dinamakan Gilgal yang terletak di sebelah timur Yerikho. Gilgal mempunyai arti “hari ini telah kuhapuskan cela Mesir dari padamu”. Yosua memerintahkan setiap kepala suku mengambil sebuah batu dari sungai yang harus diangkat dipundaknya, sehingga terdapat 12 batu yang kemudian ditegakkan Yosua di Gilgal sebagai sebuah peringatan bagi anak cucu Bani Israel bahwa Bani Israel telah menyeberangi sungai Yordan.
BERSAMBUNGDapatkan update muslimobsession.com melalui whatsapp dengan mengikuti channel kami di Obsession Media Group