Manusia: Antara Wajah Asli dan Wajah Palsu

Oleh: Irwan Hernanda
Sering kali kita mendengar nasihat bijak, "Be yourself" jadilah dirimu sendiri!. Ungkapan singkat ini sarat makna dan mengandung ajakan untuk menerima dan menghargai diri sendiri apa adanya, baik kelebihan maupun kekurangan.
Nasehat ini mendorong kita menjadi pribadi yang autentik - berani jujur dalam perasaan dan pemikiran atas dasar ilmu dan nilai-nilai yang diyakini. Tidak mudah terpengaruh oleh opini dan gaya hidup orang lain.
Menjadi diri sendiri dengan karakter kuat dan khas adalah keharusan. Kita tidak boleh membiarkan orang lain mendikte jalan hidup atau menentukan arah hidup kita, kecuali dalam koridor nilai-nilai Islam berdasarkan Al-Quran dan Hadits, sebagaimana firman-firman Allah di bawah ini:
”Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah…” (QS. Al An’am, 6:116).
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya..." (QS. Al-Isra', 17: 36).
"Maka berpegang teguhlah kepada apa yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus." (QS. Az-Zukhruf, 43: 43).
Rasulullah ﷺ bersabda:
''Janganlah kamu menjadi orang yang ikut-ikutan dengan mengatakan, 'Kalau orang lain berbuat kebaikan, kami pun akan berbuat baik dan kalau mereka berbuat zalim, kami pun akan berbuat zalim'. Tetapi, teguhkanlah dirimu dengan berprinsip, 'Kalau orang lain berbuat kebaikan, kami berbuat kebaikan pula dan kalau orang lain berbuat kejahatan, kami tidak akan melakukannya”. (HR Tirmidzi).
Namun, tidak semua orang berani tampil dengan jati diri mereka yang sebenarnya. Dalam realitas kehidupan, banyak yang memilih untuk menyembunyikan siapa dirinya demi alasan ekspektasi sosial, karier, pengakuan lingkungan atau menghindari penolakan lingkungan. Sebab itu banyak orang hidup dengan "wajah ganda" - antara wajah asli dan wajah palsu.
Dunia modern, terutama media sosial, sering kali mendorong individu untuk menampilkan citra diri yang jauh dari kenyataan. Mereka membangun persona yang ideal di mata publik, tetapi justru semakin jauh dari kejujuran dan ketulusan.
Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan tren dan budaya terkini tanpa mempertimbangkan apakah hal tersebut sejalan dengan nilai-nilai Islam dan kepribadian asli mereka. Mereka lebih takut dikucilkan oleh manusia ( FOMO: Fear of Missing Out ) daripada takut menyimpang dari ajaran Allah.
Sementara Islam sendiri mengajarkan pentingnya kejujuran lahir batin dalam bersikap. Jujur hati ( shidq al-qalb ), jujur dalam perkataan ( shidq al-hadits ) dan jujur dalam perbuatan ( shidq al-`amal ). Rasulullah ﷺ bersabda:
“Hendaklah kamu semua bersikap jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga. Seseorang yang selalu jujur dan mencari kejujuran akan ditulis oleh Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah sifat bohong, karena kebohongan membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa ke neraka.Orang yang selalu berbohong dan mencari-cari kebohongan akan ditulis oleh Allah sebagai pembohong” (HR. Muslim).
Mereka yang hidup dalam kejujuran, sesungguhnya mereka telah menemukan jati diri sejatinya. Mereka memiliki komitmen, integritas, ketangguhan, kesabaran, dan keikhlasan. Setiap langkah dan pilihan hidupnya bukan untuk mencari pengakuan manusia apalagi pencitraan tetapi semata-mata untuk meraih ridha Allah ﷻ.
****
Marilah kita merenungi diri sendiri: Apakah kita sudah benar-benar jujur dalam bersikap, ataukah kita masih mengenakan "topeng" demi kepentingan tertentu?
Hidup dengan kejujuran akan membawa ketenangan, sedangkan kepalsuan hanya akan menambah beban.
Semoga kita termasuk orang-orang yang mampu menjalani hidup dengan wajah asli, bukan wajah palsu.
Wallahu a'lam bish-shawab, semoga bermanfaat!
Dapatkan update muslimobsession.com melalui whatsapp dengan mengikuti channel kami di Obsession Media Group
































