Suerrr.. Akang Belum Ikhlas, Nyai!

Suerrr.. Akang Belum Ikhlas, Nyai!
Muslim Obsession - ANGIN malam berhembus pelan meniup setiap dedaunan yang seketika asyik bergoyang dengan syahdunya. Seperti sebuah orkestra, angin adalah sang arranger yang mengatur dedaunan untuk memunculkan sebuah alunan musik yang indah didengar. Meski tak bersyair, namun sesungguhnya irama orkestra malam itu mengandung pemaknaan nan indah tentang ciptaan Tuhan. Mereka bertasbih dan memuji seraya menyeru keagungan Tuhan dalam setiap desah dan liuk tubuhnya. Semakin lama orkestra malam semakin seru. Apalagi jangkrik dan bangkong sawah mulai bergabung dengan menyumbangkan suara khas. Orkestra malam, kini, mulai berlagu. Syairnya berasal dari jangkrik dan bangkong sawah yang saling bersahutan melantunkan syair berpantun. Tak sulit mengundang jangkrik dan bangkong sawah, karena keduanya merupakan biduan alam yang selalu senang menyumbangkan gemilang suaranya.
Baca kisah seru Mang Endut lainnya:Kisah Jantuk Mencari Tuhan (Bagian 1)Kisah Jantuk Mencari Tuhan (Bagian 2)Kisah Jantuk Mencari Tuhan (Bagian 3)Kisah Jantuk Mencari Tuhan (Bagian 4)
Alam selalu memiliki biduan-biduan terindah di jagat raya ini. Selain jangkrik dan bangkong sawah, alam di antaranya memiliki tonggeret dan burung hantu yang selalu melantunkan syair karya Sang Maha Maestro. Sementara di siang hari, panggung orkestra akan dipenuhi para biduan unggulan, mulai dari kenari, kutilang, hingga perkutut yang berkolaborasi indah dengan seruling yang ditiupkan angin. Malam ini adalah yang kelima belas di bulan Muharram. Tepat pukul tujuh, bulan nan benderang menerangi alam Telaga Kahuripan yang tak seluruhnya berpijar lampu buatan. Walau purnama, danau Cilala tak ramai seperti halnya malam Minggu. Tak ada kelompok geng motor yang semalaman kongkow-kongkow di tepi danau, pun tak ada sekelompok satpam yang harus menjaga keamanan. Cilala senyap, meski di beberapa titik terlihat beberapa pasang kekasih tengah asyik-masyuk. Ah, mungkin suasana seperti inilah yang dikatakan sebagai malam terindah oleh orang yang tengah dimabuk cinta. Menerobos malam yang indah, Mang Endut melarikan sepeda motornya dengan santai. Melintasi Cilala yang sepi tak membuatnya takut atau ngeri dipergoki kuntilanak, gondoruwo, atau jin 'blegedek ireng'. Bahkan bagi Mang Endut, melintasi Cilala membuat aktifitasnya makin bertambah. Matanya wara-wiri memerhatikan titik-titik tempat sejumlah pasang manusia tengah memadu kasih. Bak kampret dari gua Batman, mata Mang Endut menelanjangi malam. Beberapa depa setelah melintasi Cilala, Mang Endut memoncongkan mulutnya untuk menghirup udara sekuat tenaga. Mang Endut bukan sejenis beruk yang gemar memoncongkan mulut, tapi ia sedang memamerkan hobinya menikmati udara nan segar. Tiga jam sebelumnya, Telaga Kahuripan basah diguyur hujan khas Bogor. Bau tanah basah masih menyengat hidung siapapun yang melintasi jalan. Bagi Mang Endut, mengendus bau tanah basah selepas hujan melebihi nikmatnya mengendus asap bakaran sate kambing Abah Warjan. Mang Endut akan mengisi penuh seluruh rongga di dadanya dengan udara segar bau tanah basah.

*** “Sudah makan, Pak?” dengan senyuman manisnya Nyi Larung membuka pembicaraan seraya menyorongkan gelas berisi air putih. “Alhamdulillah, sudah, Nyi,” jawab Mang Engdut yang dengan sigap langsung menenggak habis isi gelas bergambar 'Tom and Jerry' itu. “Sudah? Di mana? Lauknya apa? Sama siapa?” Nyi Larung bertanya penuh semangat. Tiba-tiba saja di hatinya muncul segunduk perasaan tidak senang atas jawaban suaminya, Mang Endut. “Di kantor sama teman-teman. Tadi kita ramai-ramai makan di warung tenda dekat kantor. Enak lho, Nyi. Pecel lelenya gurih dan sambalnya mantaaap pisan!” kisah Mang Endut dengan bangga. “Oh, jadi begitu ya, Pak? Sejak sore saya tunggu untuk makan bersama, eh, tidak tahunya malah makan di luar. Apa Bapak tidak tahu kalau saya sudah bikin sayur asam, tempe goreng, dan ikan asin jambal roti kesukaan Bapak?” “Maaf, Nyi. Sehabis rapat di kantor, tiba-tiba kami kelaparan. Jadi, ya..kami makan deh,” “Lagi pula, bukankah saya sudah pesan tadi pagi supaya Bapak makan malam di rumah?” “Iya, Nyi. Maaf, itu mah karena accident sedikit saja..” “Hah? Accident apa-apaan? Bapak sering seperti ini. Tiba-tiba pulang dengan perut kenyang, sementara saya di sini menunggu sendirian seperti kambing congek!” Gundukan kekesalan yang menyesakkan dada Nyi Larung akhirnya meletup. Suhu malam yang sejuk seketika berubah panas. Senyum manis Nyi Larung yang mengembang ketika Mang Endut datang pun seketika berubah menjadi getir, pahit bukan kepalang. Nyi Larung meradang. Dalam hatinya keluar seribu satu serapah tak jelas maknanya. Mang Endut yang tersudut hanya diam. Tak ada cengar-cengir yang menjadi ciri khasnya. Suasana hatinya kecut, karena nyali kelelakiannya menjadi ciut. Ibarat bangkong sawah, Mang Endut berada dalam tempurung. Detak jantungnya melemah. “Maaf, Nyi..” “Tidak ada kata maaf bagimu!” “Oh, ya? Nyai tidak mau memaafkan saya?” “Jika dihitung, ini sudah yang ketiga puluh delapan kali, Pak! Selalu saja makanan di luar lebih Bapak pilih daripada masakan saya!” “Sekali lagi, maaf, Nyi..” Permintaan maaf Mang Endut di atas adalah yang terakhir, karena setelah itu suasana menjadi hening. Adapun Nyi Larung dan Mang Endut memiliki suasana hati yang berbeda. Keduanya terdiam, sejenak terlarut suasana hati yang bertolak belakang itu. Denting jam dinding yang menunjukkan tepat pukul delapan berderit parau seolah memiliki suasana hati yang kacau, sebagai bukti partisipasinya pada peristiwa yang tengah terjadi.   BERSAMBUNG...
Karya: Dzunnun Bilba (Pecinta Literasi Sastra)

Dapatkan update muslimobsession.com melalui whatsapp dengan mengikuti channel kami di Obsession Media Group