Kisah Jantuk Mencari Tuhan (Bagian 2)

Kisah Jantuk Mencari Tuhan (Bagian 2)
Muslim Obsession- Hari masih siang saat pelepah kelapa kering jatuh menimpa pohon ketela yang ditanam sembarang di tepi jalan setapak. Jatuh pelepah kering itu berdebam seolah-olah pohon kelapa melampiaskan emosinya karena jatah air yang diterimanya diserobot pohon ketela. Lagi pula, bukankah pohon ketela seharunya ditanam di ladang bersama pohon ketela-pohon ketela lainnya? Tanah di jalan setapak melepuh, mengeluarkan asap tipis yang hampir tidak terlihat. Hanya uapnya saja yang sangat terasa mengeringkan kulit siapapun yang melintasi jalan setapak itu. Dan daun-daun lamtorogung turut merasakan panasnya hari dipanggang matahari. Dalam waktu yang tak lama, daun-daun hijau lamtorogung berubah menguning. Sementara yang berwarna kuning secepatnya mengering untuk kemudian jatuh perlahan, terjerembab berserakan menjadi ornamen tanah kecoklatan. “Assalamu’alaikum, Kyai,” Jantuk menyapa sosok lelaki yang tidak begitu renta di ujung sebelah kanan jalan setapak.
Baca tulisan sebelumnya:Kisah Jantuk Mencari Tuhan (Bagian 1)
Wa’alaikumussalam.” Lelaki setengah tua yang dipanggil kyai itu menjawab penuh kesopanan. Siapapun, hampir dipastikan akan memanggilnya ‘kyai’ meski sebelumnya tak pernah bersua. Dengan tasbih yang terus diputar di antara jemari dan gamis putih panjang yang dikenakannya, orang-orang akan menyapanya dengan sebutan tersebut. Terlebih lagi sosok kyai ini juga berpakaian lengkap dengan udeng-udeng yang menghiasi kepalanya dan sorban hijau yang menjuntai hampir menyentuh tanah. Penampilannya persis wali songo atau habib-habib yang ramai menyesaki media-media sosial. “Kyai, saya ada keperluan mendesak dengan Tuhan. Apakah Kyai mengenal-Nya?” “Insya Allah saya mengenal-Nya. Allah adalah pencipta semesta alam ini. Dialah yang Maha Kuasa, Maha Rahman, dan Maha Rahim.” “Kalau itu saya tahu, Kyai. Tapi, apakah Kyai dapat menunjukkan di mana alamat Tuhan? Saya benar-benar memiliki keperluan mendesak yang harus saya sampaikan sendiri kepada-Nya!” Kyai bersorban hijau itu terdiam. Yang ia tahu Tuhan itu bersemayam di Arsy. Tapi apakah ia musti memberikan alamat Arsy itu kepada anak muda jelek ini? Sementara ia sendiri pun tidak pernah berkunjung ke Arsy. Ahk, untuk sejenak, hati kyai itu menjadi ragu. Ia tidak ingin memberikan alamat yang ia sendiri pun tidak pernah mengetahuinya. Ataukah Baitullah? Bukankah Baitullah itu merupakan Rumah Allah? Tapi..? Hati kyai kembali ragu. Telah lima belas kali ia mengunjungi Baitullah untuk berhaji dan telah tiga puluh kali ia berumroh untuk menghiba di Rumah Allah. Tapi, ia sendiri belum pernah menemui Allah di tempat itu. Ahk, hati kyai itu kali ini benar-benar menjadi tambah ragu. Ia tidak ingin memberikan alamat yang ia sendiri pun tidak pernah bertemu dengan tuan rumahnya. Untuk beberapa helaan nafas, Kyai berpikir keras: ia tidak yakin benar, apakah ia benar-benar mengenal Tuhannya. “Kyai..” Jantuk mencoba menyadarkan lamunan Sang Kyai. “Oh... anak muda, sejujurnya saya sendiri belum pernah bertemu dengan Tuhan. Saya tidak mengetahui secara pasti di mana alamatnya.” “Bukankah Anda seorang Kyai? Anda tentu lebih menguasai ilmu agama dibanding orang kebanyakan. Anda tentu mengenal Tuhan..” “Oh, bukan begitu. Saya hanya mengerjakan apa yang telah digariskan sebagai kewajiban. Apapun yang diperintahkan Allah pasti saya lakukan, adapun yang terlarang pasti saya hindari.” “Bagaimana mungkin? Kyai sendiri tidak mengenal siapa yang memerintahkan kewajiban-kewajiban itu? Apakah Kyai membeli kucing dalam karung?” Kyai kembali terdiam. Baru kali ini ia mendapat serangan sangat hebat. Selama 35 tahun memimpin pesantren tak satupun santrinya pernah bertanya seperti ini. Tiba-tiba saja ia tersadar betapa dangkalnya ilmu yang ia miliki. Hampir seluruh hidupnya habis untuk menggeluti ilmu agama. Sampai-sampai ia merasa memahami betul tafsir Al-Quran dan merasa mampu menguak kandungan Alhadits. Kali ini, Sang Kyai benar-benar tersadar bahwa selama ini ia terjebak oleh rutinitas keagamaan yang ia sendiri kurang paham tentang siapa sesembahannya. Gundah segera menyergap hatinya. Teriris dan berdegup kencang. Bertahun-tahun ia gigih memperjuangkan nilai-nilai yang dianggapnya benar berasal dari Allah dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Bertahun-tahun pula ia berbantah-bantahan tentang perihal bid’ah dengan kyai-kyai yang berseberangan dengannya. Ia tak sekadar mencaci bahkan mencap siapapun yang berseberangan dengannya sebagai kafir. Kini, seorang anak muda menyibak tirai kebodohannya. Kyai tersadar bahwa selama ini ia sosok egois yang tidak mengerti apa-apa! “Baiklah, Kyai. Kalau begiatu saya pamit meneruskan perjalanan untuk mencari Tuhan.” “Silakan, Nak. Sampaikan salam kepada-Nya dan katakan pula bahwa saya siap jika sewaktu-waktu dipanggil menghadap-Nya untuk masuk surga,” sahutnya dengan nada melemah. Wajahnya terkulai. “Baik, Kyai. Assalamu’alaikum!” “Wa’alaikumussalam.”   Bersambung…
Karya: Dzunnun Bilba (Pecinta Literasi Sastra)

Dapatkan update muslimobsession.com melalui whatsapp dengan mengikuti channel kami di Obsession Media Group