Kisah Jantuk Mencari Tuhan (Bagian 1)

Muslim Obsession - Perempuan tua itu meringis kesakitan ketika seorang anak tanggung sekonyong-konyong menerobos barisan para penumpang yang keletihan. Bahkan perempuan tua itu hampir terjatuh kalau saja bahunya yang doyong tidak tertopang badan gemuk lelaki berkumis tebal yang berdiri bak patung Pancoran. “Uups.., hampir saja,” gumam si nenek bersyukur meski sejurus kemudian hatinya mengumpat karena jantungnya yang karatan harus empot-empotan menahan himpitan para penumpang. Si anak tanggung yang menjadi pelaku insiden itu hanya cengar-cengir, dingin. Tidak ada kata maaf yang terucap. Begitu juga ketika laki-laki berjaket kulit lusuh mengumpatnya karena sepatu hitam yang dibelinya di emperan Pasar Senen dua hari lalu terinjak. Kali ini si anak tanggung diam, bahkan tak ada cengar-cengir. Lebih dingin, anarkis! Mang Endut yang duduk ngedeprok tak jauh dari insiden itu ikut mengumpat dalam hati. "Ooh, siakul (sialan, pen) benar si anak songong itu. Tak tahu rasa hormat!". Mang Endut yakin benar si anak tanggung tak belajar banyak tentang tatakrama, unggah-ungguh, atau sopan santun. Diajari apa saja oleh orangtuanya? Episode umpat-umpatan di benak Mang Endut tak berlangsung lama. Karena matanya yang sejak tadi mengikuti arah punggung si anak tanggung terbentur badan seorang perempuan nan aduhai. Ah, dasar mata lelaki. Mang Endut yang sudah terlatih dalam perihal ini langsung mengambil sikap ‘waspada’. Matanya yang sebenarnya sudah kriyep-kriyep dicobanya untuk kembali terjaga. “Ah, Tuhan memang Maha Adil. Di antara sekian banyak manusia kucel, ada saja bidadari yang dikirim untukku,” gumamnya sok tahu. Bagi Mang Endut sosok perempuan itu, boleh jadi, adalah anugerah. Kepenatannya yang telah berlangsung sejak dari Stasiun Senen sedikit pudar. Untuk kali ini, bahkan Mang Endut merasa kecolongan. Dia tidak habis pikir, kenapa baru sekarang matanya melihat perempuan itu. Kenapa setelah melewati Stasiun Universitas Indonesia bidadari itu menampar mukanya yang kusut? Mang Endut menjerit dalam hati. Mang Endut mendesis geram. Oh, malangnya Mang Endut. Kemalangan Mang Endut masih berlangsung. Perempuan nan aduhai itu ikut turun bersama penumpang lainnya ketika kereta berhenti di Stasiun Depok. Dengan sedikit berdesakkan, perempuan itu turun sambil menenteng tas biru berornamen bunga matahari. Oh, malangnya Mang Endut. Bayangan perempuan nan aduhai dengan kaus ketat warna putih, celana jeans biru, membuainya ke dimensi khayal. Oh, andai saja dia mau diajak keliling ITC Depok sebentar saja. Oh, andai saja dia mau diajak menikmati es krim di ujung mal. Oh, andai saja dia mau diajak mampir ke warung tenda di seberang stasiun. Oh, andai saja dia mau diajak sharing tentang cinta. Oh, andai saja dia mau... Nyi Larung, good bye. Mang Endut terlelap membawa khayalan itu ke dimensi mimpi. 
Karya: Dzunnun Bilba (Pecinta Literasi Sastra)
*****

*****
“Mbok, kenapa saya tidak boleh mencintai Larasati?” Jantuk meradang dengan tatapan serius memandang ibunya. “Ooalah, Le.. mbok ya kamu sadar. Siapa dirimu dan siapa Ndoro Larasati.” tegas benar jawaban yang diberikan si ibu. “Saya tidak mengerti, Mbok..” “Le, kita ini hanya orang miskin. Sampai sekarang saja kita sudah tidak makan nasi sejak dua hari lalu. Beruntung masih ada sisa gaplek yang dikirim tetangga, sehingga kita tidak mati kelaparan. Dan kamu sendiri juga harus sadar, Le. Ndoro Larasati itu ayune kayak Dewi Sembodro. Sementara kamu.. Oh, mukamu bopeng karena bisul yang tak kunjung sembuh sejak kamu dilahirkan. Le, eling yo..” Jantuk terdiam. Memang benar apa yang dikatakan ibunya, bahwa mencintai Larasati ibarat pungguk merindukan rembulan. Jantuk sendiri sebenarnya sudah paham kondisi ini. Bahkan, telah sejak lama Jantuk mengerti betapa jauh jurang yang menganga di antara dirinya dan Larasati. Jantuk telah sangat paham, lebih paham dari siapapun yang mengenal dirinya. Yang tidak habis pikir dalam benak Jantuk adalah mengapa Tuhan begitu tega telah menciptakan dirinya berbeda dengan lelaki lainnya. Jantuk berbadan pendek, berkulit legam, bergigi tonggos, dan berwajah bopeng akibat bekas pecahan bisul-bisul yang dideritanya sejak kecil. Sementara lelaki lain berbadan sempurna, meski dengan standar yang berbeda. Jika ada yang jelek, tak ada satupun lelaki di kampung Jantuk yang melebihi kejelekannya. Apalagi Raden Emin yang rupawan ditunjang kepintaran di atas rata-rata. “Mbok, jika perbedaan itu sangat lebar, siapa yang harus disalahkan? Bukankah saya sendiri tidak pernah meminta dilahirkan dengan rupa seperti ini. Mengapa ini terjadi, Mbok?” pertanyaan Jantuk menghujam tepat di jantung si ibu. Si ibu terdiam. Suasana seketika hening. “Ini sudah kersaning Gusti Allah, Le. Terima saja..” datar saja jawaban si ibu. “Tidak bisa, Mbok. Saya tidak terima diciptakan seperti ini oleh Tuhan. Saya harus protes. Tuhan tidak fair play..” “Oalah, Le. Sadar, yo..” “Tidak bisa! Saya harus mencari Tuhan untuk menanyakan hal ini!” “Ojo dumeh kowe, Le. Kamu jangan macam-macam. Jika Tuhan murka, siapa yang mau menolong kamu?” “Tidak bisa! Tuhan tidak fair play!” “Lalu, jika kamu anggap Gusti Allah tidak adil, mau ke mana kamu protes?” “Ya.. ke Tuhan.” “Tapi, di mana kamu bisa menemui-Nya?” “Nah, itulah yang ingin saya tanyakan kepada Simbok. Di mana Tuhan?” Seketika kepala si ibu dipenuhi kunang-kunang yang hilir mudik berputar tak henti. Pusing benar si ibu ketika alamat Tuhan ditanyakan anaknya. Seingatnya, Tuhan tidak pernah terdaftar dalam lembaran lontar yang tersimpan sebagai arsip di kantor Ki Kuwu. Di dusun ini saja tak ada satupun penduduk bernama Tuhan. Teman-temannya semasa kecil pun tak ada yang bernama Tuhan. Entah di kampung lain. Otak si ibu tiba-tiba lelah memikirkan itu semua. “Simbok tidak tahu, Le. Ibu pun tidak pernah bertemu dengan-Nya.” “Jadi, saya harus mencarinya ke mana?” “Coba kamu tanyakan ke Kyai Bodronoyo atau Habib Rizieq atau Den Yusuf Mansur atau Amien Rais atau mungkin saja Raden Joko Widodo. Barangkali mereka pernah bertemu dengan Tuhan di kampung lain.” “Baik, Mbok. Kalau begitu saya pamit untuk mencari Tuhan. Doakan agar protes saya ini tersampaikan dan Tuhan mau bertindak fair play..” “Iya, Le. Simbok doakan.” Bersambung...Karya: Dzunnun Bilba (Pecinta Literasi Sastra)
Dapatkan update muslimobsession.com melalui whatsapp dengan mengikuti channel kami di Obsession Media Group