Lebih Baik Cadar atau Jilbab?

547

Oleh: Nuim Hidayat (Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Depok)

Menyaksikan film My Flag versus Radikalisme jadi saya pingin nulis ini. Saya setuju dengan semangat film itu sebenarnya, yaitu ingin menunjukkan bahwa jilbab lebih baik dari cadar. Tapi caranya yang salah, yaitu dengan berkelahi dan merobek cadar yang dipakai Muslimah lain.

Bila film itu menggunakan gaya dialog ilmiah, antara pemakai jilbab dan cadar, tentu banyak yang mengacungkan jempol.

Ketidaksetujuan saya lainnya adalah film ini mempertentangkan bendera Tauhid dengan bendera Merah Putih. Padahal bendera Tauhid ini sebelum merdeka dipakai banyak pejuang kita dalam mengusir penjajah Belanda. (Lihat tulisan saya sebelumnya My Faith and My Flag).

Jilbab lebih baik dari cadar benarkah? Bagi saya benar. Karena, kebetulan saya ketika kuliah di IPB, saya mengambil mata kuliah ilmu komunikasi. Dalam ilmu komunikasi –atau lebih tepatnya psikologi komunikasi- faktor wajah menempati hal yang utama. Untuk komunikasi dengan orang lain, kita perlu menatap wajahnya. Apakah ia sedang sedih, gembira, sinis, murung dan lain-lain. Kalau ia bercadar, maka tidak terlihat gambar wajahnya. Jangan-jangan ketika mengatakan iya, mulutnya sinis. Dan seterusnya (Jangan marah lho yang bercadar atau mempunyai istri bercadar he he).

Jadi dalam komunikasi dengan orang lain, kita tidak perlu melihat rambutnya, tubuhnya, kakinya dan seterusnya. Cukup kita melihat wajahnya maka pesan itu akan sempurna sampai kepadanya. Orang itu berkata jujur atau bohong, bisa dilihat dari raut mukanya (Kecuali tukang tipu, maka harus dites dengan alat kebohongan).

Apalagi bagi seorang guru. Wajah sangat diperlukan agar para murid atau mahasiswa mengenali gerak wajah gurunya. Bagi guru tajwid al Quran, guru bahasa atau seni suara, gerak mulut di wajah adalah hal yang utama. Makanya jangan heran bila Ulama al Azhar melarang guru atau murid menggunakan cadar.

Maka dalam masalah cadar ini kita harus mencari pendapat ulama yang terbaik. Kita tidak bisa berdalil beberapa ulama membolehkannya atau bahkan mensunnahkannya.

Kadang-kadang ijtihad ulama itu sesuai dengan waktunya. Bila kini ditemukan pendapat yang lebih baik, maka pendapat itu yang harus diambil. Asal tetap berdalilkan Al-Quran dan Sunnah.

Ilmu komunikasi tentang wajah ini bisa kita katakan universal. Dan dari sini, menurut saya hikmahnya Rasulullah mewajibkan jilbab bagi Muslimah itu, bukan cadar. Memperlihatkan wajah saya cukup –untuk berkomunikasi dengan pria lain- dan tidak perlu memperlihatkan bagian tubuh yang lain. Agar pria menghormati akal dan akhlak Muslimah itu, daripada menghormati tubuhnya.

Dalil-dalil tentang jilbab, baik dalam al Quran dan Hadits kita sudah mafhum bersama. Dan dalam menyikapi dalil, janganlah kita bersandarkan ulama-ulama yang dulu belaka. Kita juga harus menyimak pendapat-pendapat ulama masa kini. Karena tiap masa, punya tantangan yang berbeda. Dan Islam mesti memberi jawaban yang memuaskan akal, menentramkan jiwa dan sesuai dengan fitrah manusia.

Para ulama dulu, mungkin belum ‘memahami’ ilmu komunikasi atau psikologi komunikasi yang berkembang pesat saat ini. Jadi bagi saya, jilbab lebih pas untuk wanita. Teman saya Ustadz Fathurrahman yang punya pesantren besar di Mojokerto suka menyindir muridnya yang mengenakan cadar (biasanya orang tua yang bercadar menyuruh anaknya juga bercadar),”Siapa kamu, wah kamu tutup gimana aku mengenalmu?”

Jadi saya berharap, ustadz-ustadz yang menyuruh santrinya bercadar, cobalah baca buku-buku tentang ilmu komunikasi atau psikologi komunikasi. Sehingga dalam masalah ini bisa berijtihad dengan tepat. Baca pendapat-pendapat dari ulama dulu penting, tapi baca ilmu-ilmu yang dikembangkan cendekiawan Islam masa kini juga perlu.

Jangan sampai Islam dikatakan ketinggalan zaman. Sementara khalifah keempat yang mulia, Sayyidina Ali menyatakan,” Islam itu mengatasi zaman.”

Dan firman Allah SWT,” (Yaitu) orang yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti yang terbaik. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah Ulil Albab,” (QS. Az-Zumar: 18).

Wallahu ‘alimun hakim.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here