Belajar Tawakal dari Seekor Burung

Belajar Tawakal dari Seekor Burung

 

Oleh: Irwan Hernanda #307

Muslim Obsession – Pernahkah kamu memperhatikan seekor burung di pagi hari? Ia terbang dari sarangnya dengan perut kosong, tanpa bekal, tanpa rencana matang, hanya mengandalkan insting dan kepercayaan bahwa rezekinya sudah dijamin oleh Sang Pencipta.

Menjelang sore, ia kembali dengan perut kenyang dan mungkin membawa makanan untuk anak-anaknya, sebagaimana Nabi Muhammad bersabda:

"Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung: pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali di sore hari dalam keadaan kenyang." (HR. At-Tirmidzi)

Burung tidak memiliki akal seperti manusia, tetapi ia memiliki keyakinan dan usaha. Ia tidak duduk diam menunggu makanan datang, melainkan terbang mencari rezeki. Ini mengajarkan kita bahwa tawakal bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan menyerahkan hasil kepada Allah setelah berikhtiar.

Menariknya, burung tidak memiliki doa khusus sebelum keluar dari sarangnya seperti manusia memiliki doa keluar rumah, namun burung senantiasa bertasbih kepada Allah, tidak seperti manusia, adakalanya ingat dan adakalanya lupa kepada Allah. Allah berfirman:

"Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka." (QS. Al-Isra: 44)

Namun, mengapa Nabi Muhammad memilih perumpamaan burung, bukan mencontohkan kisah Nabi Ibrahim ketika meninggalkan Siti Hajar dan bayi Ismail di padang pasir yang gersang? Padahal, peristiwa tersebut menjadi asal-usul dari ritual Sa’i dalam ibadah haji.

Mungkin karena kisah Nabi Ibrahim dianggap terlalu tinggi untuk dijadikan contoh bagi umat biasa, sehingga perumpamaan burung lebih relevan dan mudah dipahami oleh semua kalangan. Manusia umum akan ‘ngeles’, “dia kan nabi, kalau kita?”

Mungkin juga karena manusia selalu mengandalkan akalnya dan merasa bangga dengan kepintaranya mengatasi permasalahnnya padahal justru akalnya yang sering membuat dia ragu dan takut melangkah, tidak seperti burung yang sepenuhnya kehidupannya diserahkan seratus persen pad Allah Ta’ala.

Tapi bukan berarti kepasrahan atau tawakal berarti mengabaikan akal, ia merupakan perpaduan antara keyakinan hati dan usaha nyata. Untuk mencapai tingkat tawakal yang sejati, seseorang harus mengenal Tuhannya dengan benar dan memahami posisinya sebagai hamba di dunia ini. Tanpa mengenal Allah dan diri sendiri, orientasi hidup menjadi kabur, dan sikap tawakal sulit untuk diwujudkan.

Jadi, jika seekor burung saja bisa mengajarkan kita tentang tawakal, mengapa kita tidak belajar darinya? Bukankah itu pelajaran langsung dari Allah Ta’ala, sebagimana firman-Nya

"Kami akan memperlihatkan (pelajaran dan ajaran) kepada mereka (dari) tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri …." (QS. Fussilat, 41: 53)

Sebelum penulis tutup ada firman Allah yang harus kita renungkan:

"Dan Dia menundukkan (memudahkan) untukmu (manusia) apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir." (QS. Al-Jasiyah, 45: 13)

Masyaa Allah Tabarokallah, semua fasilitas hidup manusia sudah tersedia lengkap, baik di bumi maupun langit, selanjutnya yang dibutuhkan manusia adalah keluar dari peraduannya dan bergerak menjemput rezekinya sebagaimana seekor burung.

Pesan dari tulisan ini, “Gunakan akal untuk merencanakan, hati untuk meyakini, dan tangan untuk berusaha. Sisanya, serahkan kepada Allah.”

Wallahu’alam, semoga bermanfaat!



Dapatkan update muslimobsession.com melalui whatsapp dengan mengikuti channel kami di Obsession Media Group