Nurul Qamar di Bibir Pasifik

Oleh: Drs. H. Muchlis Achmad (Ketua PD. Parmusi Kab. Gowa)
“Nurul Qamar” yang berarti Cahaya Bulan adalah nama dari sebuah masjid, tempat ibadah orang muslim di kampung halaman nan jauh di sana di Halmahera Desa Bobaneigo. Sebuah desa yang terletak di Teluk Kao, di bibir pasifik Provinsi Maluku Utara.
Dapat disebut di bibir pasifik karena bagian luar teluk ini tepat menghadap ke lautan pasifik. Cahaya bulan atau bulan bercahaya karena mendapat pantulan cahaya matahari. Tanpa matahari bulan tak akan bercahaya.
“Tidak ada satu makhluk pun yang sampai ke matahari kecuali cahayanya sendiri,” demikian Prof. Dr.Kadirun Yahya, seorang guru sufi, ahli fisika dan mantan Kepala Laboratorium Perang di zaman Bung Karno pernah berkata. Cahaya matahari dan cahaya bulan tak dapat dipisahkan karena keduanya adalah Cahaya Ilahiyah.
Dahulu di tahun sembilan belas delapan puluhan, daerah ini masih tergolong daerah terluar dan terisolir dari jangkauan pembangunan. Bila kita bepergian dari dan ke Ternate saja membutuhkan waktu seharian dengan menggunakan perahu layar.
Masjid Nurul Qamar didirikan oleh para leluhur, para tokoh masyarakat yang mulai mendiami Desa Bobaneigo secara permanen paska perang dunia ke-II. Sebelumnya mereka hidup berpindah-pindah (bak nomaden) dari satu tempat ke tempat lainnya akibat penjajahan bangsa asing, perang, pemberontakan Permesta dan sebagainya. Bahkan lebih dahsyat lagi karena wilayah ini menjadi kawasan bertempurnya tentara sekutu melawan tentara Jepang. Sehingga tidak heran kalau disini banyak terdapat bangkai pesawat, panser, kapal, bahkan banyak terdapat lobang-lobang persembunyian. (sekarang menjadi destinasi wisata sejarah)
Oleh karena itu Masjid Nurul Qamar barulah mulai dijajaki pembangunannya setelah keadaan benar-benar aman, perang mereda yang diawali dengan pemilihan lokasi. Alhamdulillah, atas niat suci untuk ibadah kepada Allah Swt. dan demi menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, Almarhum Bapak Munir Caya menginfakkan tanah keluarga untuk dijadikan masjid.
Subhanallah, Samih Athif Az-Zain mengatakan dalam bukunya Kepingan Sejarah dari Madinah Munawwarah mengatakan: “Nabi Saw. pertama kali tiba di Madinah beliau memerintahkan untuk shalat Jumat berjamaah dengan khatib Nabi Saw. Inilah shalat jumat pertama Rasulullah di Madinah. Setelah khutbah jumat beliau langsung naik unta untuk mencari lokasi untuk dijadikan tempat tinggal. Ketika beliau tiba diperkampungan Bani Malik Bin Najjar, unta beliau menderum.
Rasulullah bertanya siapa pemilik tempat itu, Muadz bin Afra menjawab, “Lahan itu milik dua anak yatim dalam asuhanku, Sahl dan Suhail. Wahai Rasulullah, jika Engkau mau menjadikannya masjid atau tempat tinggal, maka lahan itu menjadi milikmu. Aku akan membuat keduanya ridha.”
Rasulullah Saw, mengangkat kepala ke arah langit dan berkata: “Tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi dan engkau adalah sebaik-baik pemberi tempat.” Beliau mengulang doa yang penuh berkah itu empat kali kemudian beliau berkata, “Di sini Insya Allah akan menjadi tempat tinggal.” (HR. Bukhari)
Dalam hal lokasi yang diinfakkan, Allah Swt. memuliakan mereka yang suka rela dan ikhlas menginfakkan hartanya untuk kemaslahan umat. Allah Swt. berfirman QS. Al-Baqarah ayat 261: “Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya dijalan Allah adalah seperti orang-orang yang menabur sebutir biji (benih) yang menumbuhkan 7 tangkai, pada tiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan pahala bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Luas Lagi Maha Mengetahui.”
Berikut QS. Al-Baqarah ayat 262 Allah Swt berfirman: “Orang yang menginfakkan hartanya dijalan Allah, kemudian tidak mengiringi apa yang dia infakkan itu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.”
Sementara itu ahli waris dan penerima infak (masyarakat) berkewajiban menjaga, memelihara serta mengembangkan harta yang diterima untuk kemaslahatan umat agar pahalanya terus mengalir dan dapat dinikmati walaupun pemiliknya sudah meninggal.
Mengingat kebutuhan untuk beribadah bagi masyarakat semakin mendesak maka para tokoh dan masyarakat Desa merancang berbagai kegiatan pembangunan dengan cara bergotong royong.
Awal Pembangunan Fisik
Luas bangunan kira-kira 20 x 20 meter persegi, pondasi: campuran pasir, semen dan batu gunung, rangka kayu, atap daun rumbia, dinding pelepah pohon sagu, lantai pohon palm hutan yang dibelah, penerangan dari pelita dan lampu petromax. Mimbar khatib terbuat dari kayu, dan beduk terbuat dari kayu dan kulit sapi.
Semua material untuk kepentingan pembangunan masjid diperoleh secara swadaya kecuali semen dan lampu petromax pengadaannya dari kota.
Pembangunan ini adalah proyek keimanan, oleh karena itu pada saat Rasulullah membangun Masjid Nabawi beliau mengajak semua orang berkontribusi, setiap orang ingin mendapatkan bagian pahala, termasuk Rasulullah Saw. Beliau mengharapkan pahala yang melimpah dari Allah Swt.
Pembangunan tidak dapat dilakukan sekaligus mengingat keterbatasan sumber daya, namun pada sisi yang lain kegiatan ibadah shalat dan lain-lain juga terus harus berjalan terutama untuk shalat wajib berjamaah.
Allah Ta’ala berfirman dalam QS. At-Taubah ayat 18: “Sesungguhnya yang memamurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut kepada apa pun kecuali kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Dengan Shalat, Allah akan mengampuni dosa-dosa yang ada diantara satu shalat dengan shalat berikutnya. Shalat juga dapat membersihkan diri dari kesalahan dan dosa yang dilakukan secara sengaja atau tidak. Orang yang shalat dengan khusuk akan selalu berusaha untuk menjaga lahir dan batinnya selalu bersih.
Pembangunan Masjid Nurul Qamar tahap awal ini akhirnya selesai juga walaupun dalam kondisi yang amat sederhana. Dilanjutkan renovasi tahap kedua (semi permanen) beberapa tahun kemudian, renovasi tahap ketiga (permanen) hingga saat ini sedang mengalami renovasi total, baik fisik bangunan maupun luasan tanah. Semoga pembangunan berjalan lancar dan selesai dalam waktu yang tidak terlalu lama. Semoga Allah Swt. meridhai.
Tujuan Membangun Masjid
Bulan bercahaya di bibir pasifik begitulah topik artikel ini. Topik ini akan berubah menjadi kata bijak yang mengandung makna sangat luas dan dalam bila dipandang dari sudut sufistik. Membangun masjid adalah membangun peradaban yang konotasinya sama dengan membangun manusia dimana dalam konteks ini dimaksudkan sebagai upaya merubah manusia dari alam kegelapan ke alam terang benderang, dari alam jahiliyah ke alam berperadaban dan dari alam kemunkaran ke alam ketaqwaan.
Allah Swt. berfirman dalam QS. At-Taubah ayat 18: “Hanya orang yang memakmurkan masjid-masjid Allah, ialah orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut kepada selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.
Rasulullah Saw. ketika tiba di Madinah mengutamakan membangun masjid karena masjid menjadi sarana yang tepat untuk memelihara iman agar menjadi kokoh dan mantap, masjid akan melahirkan keimanan yang produktif yang hidup dan menghidupkan bahkan masjid menjadi basis perjuangan para sahabat mendakwahkan Islam keseluruh penjuru dunia.
Belajar Mengaji di Kampung
Tidaklah berlebihan bila dalam tulisan ini saya merekonstruksi kembali apa yang saya alami bersama teman-teman dimasa kecil. Setelah shalat tarwih biasanya kami mengikuti Tadarrusan Al-Quran hingga waktu sahur dan shubuh. Karena belum ada guru mengaji maka inilah satu-satunya cara untuk belajar membaca Al-Quran. Setelah itu sebelum sahur kami berkeliling kampung meneriakkan puji-pujian, dan shalawatan membangunkan penduduk untuk makan sahur. Alhamdulillah dari proses belajar dan semangat seperti inilah plus belajar tajwid dan lagu akhirnya dapat membuahkan hasil kemudian mengantarkan anak-anak kampung menjadi Juara MTQ tingkat Provinsi Maluku. Bahkan sampai ke tingkat nasional.
Belajar Agama kepada Guru
Pada saat itu tidak tersedia guru agama, sehingga anak-anak seusia saya bahkan orang dewasa sekalipun diarahkan belajar agama kepada guru di Desa atas nama Kakek Ismail bin Alimuddin, biasa dipanggil Tete Henda.
Beliau dianggap paham ilmu agama islam dan dapat membaca Al-Quran. Materi belajarnya meliputi Rukun Iman, Rukun Islam, Rukun Ihsan, membaca Al-Quran, serta tata cara berwudhu dan shalat.
Nabi Saw. bersabda: “Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang maka dia diberi pemahaman dalam ilmu agama. Sesungguhnya memperoleh ilmu hanya dengan belajar,” (HR. Bukhari)
Setelah dievaluasi, maka atas kesepakatan para tokoh agama dan Mantan Imam Desa antara lain Haji Badaruddin, Munir Caya, H. Achmad Badaruddin, Habib Abdullah Albar dan pemerintah setempat, di antaranya Haji Djumati Musa (Kades) dan Haji Yusuf Naimuddin (Wakil Kades), mereka menghadirkan seorang guru dari Ternate atas nama Habib Abdullah Albar, anak dari Tuan Guru Habib Salim Albar.
Habib Abdullah Albar kemudian menikah di Desa Bobaneigo. Dari sinilah kemudian bertambah luas jaringan dakwah hingga ke desa-desa, pelosok sekitar Teluk Kao (bibir pasifik). Murid-murid Habib Salim Albar dan Habib Abdullah Albar inilah yang sekarang melanjutkan ilmu dari almarhum Tuan Guru Habib Salim Albar.
Sebagian masyarakat belajar pada jalur berbeda yaitu pada Guru H. Muhammad Djae Desa Akelamo. Beliau masih termasuk kerabat dekat kesultanan Ternate. Murid beliau tersebar di Desa-Desa seputaran Teluk Kao, bahkan hingga ke Galela Halmahera Utara.
Para tokoh tidak berhenti sampai di situ, tetapi terus berupaya mendatangkan guru agama dari Ternate atas nama Ustadz. Muhammad Sandia yang fokus mengajar membaca Al-Quran, Tauhid dan Fiqih dan lain-lain. Beliau tinggal bersama kami dirumah sederhana.
Sepeninggal Ustadz Muhammad Sandia karena beliau mendapat tugas belajar di PTIQ Jakarta. Guru agama kemudian dilanjutkan oleh Ustadz. Muhammad Nur dari Jailolo. Namun Ustadz. Muhammad Nur juga akhirnya pindah ke Pondok Bumi Hijrah di Ome Tidore milik Ustadz Abd. Gani Kasuba. (Mantan Gubernur Maluku Utara)
*****
Semoga lokasi di mana dibangunnya Masjid Nurul Qamar menjadi tempat yang diberkahi, sebagaimana doa Nabi Saw. pada saat menentukan tempat di mana akan dibangunnya Masjid Nabawi di Madinah: “Ya Tuhanku, berilah aku tempat yang diberkahi, dan Engkau adalah sebaik-baik pemberi tempat.”
Masjid Nurul Qamar (Cahaya Bulan) di Bibir Pasifik, sebuah nama yang indah adalah perpaduan antara sinar matahari dengan cahaya bulan menjadi Cahaya Ilahiah yang memyebar ke kaum muslimin seputaran bibir pasifik.
Pantulan cahaya Ilahiah akan merubah alam kegelapan menjadi alam terang benderang, alam jahiliah menjadi alam berperadaban serta mengubah alam kezhaliman menjadi alam penuh iman dan takwa.
Semakin banyak penduduk memanfaatkan masjid sebagai tempat shalat, dan aktifitas lain yang bermanfaat. Allah Swt. berfirman QS. At-Taubah ayat 18: “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah. Ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat serta tidak takut kepada siapapun selain kepada Allah. Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Nabi Saw. bersabda: “Tiap menjelang pagi hari dua malaikat turun. Yang satu berdoa, “Ya Allah, karuniakanlah bagi orang yang menginfakkan hartanya tambahan peninggalan”. Malaikat yang satu lagi berdoa, “ Ya Allah, timpakan kerusakan (kemusnahan) bagi harta yang ditahannya (dibakhilkannya)”,” (HR. Mutafaqun ’alaih).
Nabi Saw. bersabda: “Harta kekayaan adalah sebaik-baik penolong bagi pemeliharaan ketakwaan kepada Allah,” (HR. Ad-Dailami).
Ukuran indah dan keberkahan sebuah masjid bukan semata-mata terletak bangunannya tetapi terlebih karena Jamaahnya selalu membludak. Insya Allah. Aamiin. (**)
Dapatkan update muslimobsession.com melalui whatsapp dengan mengikuti channel kami di Obsession Media Group