Zakat dan Wakaf Sektor Penyangga Keuangan Syariah

2228

Pemanfaatan Dana Zakat

Pengelolaan zakat di negara kita dalam dekade terakhir mengalami peningkatan yang cukup fenomenal. Peningkatan sebagaimana dimaksud terlihat dari dua indikator sebagai berikut:

Pertama, pertumbuhan jumlah operator atau lembaga pengelola zakat, yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Sesuai nomenklatur resmi lembaga pengelola zakat saat ini terdapat: 1 BAZNAS (pusat), 34 BAZNAS provinsi, 514 BAZNAS kabupaten/kota, 16 LAZ skala nasional, 7 LAZ skala provinsi, dan 11 LAZ skala kabupaten/kota. Selain LAZ yang telah berizin atau mau mengajukan izin operasional kepada Kementerian Agama, terdapat ratusan yayasan dan lembaga sosial yang mengelola zakat di berbagai tingkatan.

Kedua, akumulasi dana zakat dan infak/sedekah yang dihimpun oleh semua operator zakat. Mengutip Laporan BAZNAS Tahun 2016, realisasi pengumpulan ZIS (Zakat dan Infak/Sedekah) tahun 2016 mencapai Rp 111,69 milyar, mengalami kenaikan 7,6 % dari tahun sebelumnya 2015 yaitu Rp 74,59 milyar, dan realisasi pengumpulan zakat secara nasional oleh semua lembaga pada tahun 2016 sebesar Rp 5,02 triliun, dibandingkan tahun sebelumnya 2015 sebesar Rp 3,65 triliun, mengalami kenaikan sebesar 37,5 persen. Sementara realisasi penyaluran ZIS nasional tahun 2016 sebesar Rp 2,89 triliun, dibandingkan tahun sebelumnya 2015 Rp 2,25 triliun, mengalami kenaikan 28,4%.

Bambang Sudibyo (2016), Ketua BAZNAS, mencatat sebab-sebab potensial pertumbuhan zakat, infak dan sedekah yang jauh melampaui pertumbuhan ekonomi, ialah:

Pertama, meningkatnya semangat membayar ZIS ketika terjadi bencana besar.

Kedua, meningkatnya kesadaran masyarakat untuk membayar ZIS melalui badan amil zakat resmi yang dibentuk dan/atau diakui pemerintah.

Ketiga, membaiknya sistem pelaporan ZIS secara nasional.

Keempat, meningkatnya kemampuan masyarakat untuk berzakat seiring dengan membaiknya kesejahteraan dan cepatnya pertumbuhan kelas menengah (tercepat di ASEAN

Dalam deskripsi laporan BAZNAS, strategi penyaluran ZIS dititik-beratkan pada program pendayagunaan yang bersifat produktif 70 % dan program yang bersifat karitas, dakwah, sosial, dan tanggap bencana sebesar 30 %. Perbandingan porsi 70 : 30 % untuk penyaluran zakat secara produktif dan konsumtif (karitas) tidak bersifat mutlak karena masing-masing lembaga pengelola zakat memiliki domain kebijakan sendiri dalam menentukan prioritas penyaluran zakat yang dikelolanya. Dalam Statistik Zakat Nasional 2016 dirinci penerima manfaat zakat berdasarkan ashnaf meliputi: Fakir Miskin (89,60 %), Amil (0,15 %), Muallaf (0,16 %), Riqab (0,00 %), Gharimin (0,11 %), Sabilillah (9,72 %), dan Ibnu Sabil (0,26 %).

Pengembangan konsep Zakat Inclusion yang diluncurkan BAZNAS belum lama ini merupakan langkah positif. Dalam konteks inklusi zakat, strategi penyaluran harus menyentuh sampai ke masyarakat paling bawah sebagai upaya untuk memoderasi ketimpangan. Senyatanya tidak semua orang miskin datang ke lembaga pengelola zakat. Karena itu, tugas amil zakat adalah menemu-kenali siapa-siapa yang berhak menerima zakat di wilayahnya.

Dari sisi pengumpulan, zakat yang dihimpun oleh badan/lembaga akan terus meningkat seiring dengan literasi zakat dan kesadaran beragama semakin baik. Sementara dari sisi penyaluran, dibutuhkan kemampuan dalam mengembangkan konsep penanggulangan kemiskinan dan merealisasikannya di tataran praksis. Sejauh ini pemanfaatan dana zakat telah memberi kontribusi sebagai sumber dana pembangunan infrastruktur sosial. Infrastruktur sosial yang dimaksud adalah rumah ibadah (masjid, mushalla), sarana kesehatan, dan sarana pendidikan.

Ketersediaan infrastruktur sosial harus senantiasa menjadi perhatian para pegiat filantropi islam karena terkait dengan ketahanan hidup manusia dan pembebasan masyarakat dari faktor penyebab kemiskinan. Hal itu sejalan dengan kerangka konseptual zakat yang harus digunakan untuk meningkatkan taraf hidup fakir miskin. Menurut Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy (1969) untuk mencapai tujuan dimaksud, dana zakat dapat digunakan untuk membuka lapangan kerja baru dengan tujuan menampung fakir miskin dan penganggur untuk beroleh kerja. Zakat dapat juga digunakan untuk membuka kursus-kursus latihan kerja dan keterampilan bagi fakir miskin agar kesejahteraan mereka dapat meningkat. Dengan cara demikian secara berangsur-angsur jumlah fakir miskin dapat dikurangi.

Strategi pelayanan lembaga pengelola zakat terhadap mustahik tidak sama dengan pelayanan terhadap muzaki yang kepentingannya hanya satu yaitu membayar zakat. Sedangkan pelayanan mustahik membutuhkan empati, kepekaan, kesabaran serta tanggungjawab moral untuk membantu perbaikan nasib mereka. Salah satu tantangan bagi para pengelola zakat dan pegiat filantropi islam adalah memastikan pencapaian tujuan pengelolaan zakat dan mengukur indeks zakat nasional dalam penanggulangan kemiskinan.

Menarik diperhatikan penelitian Irfan Syauqi Beik (IPB, 2011) yang menyusun evaluasi dampak zakat dari ukuran-ukuran standar kemiskinan. Kajian Beik memasukkan aspek spiritual dengan nama metode CIBEST (Center of Islamic Business and Economic Studies). Saya mencatat kuadran CIBEST yang diperkenalkan Beik terbagi menjadi empat area, yaitu area kesejahteraan, kemiskinan spiritual, kemiskinan materiil, dan kemiskinan absolut. Dalam dimensi mikro, seperti dicatat dalam Indeks Zakat Nasional (BAZNAS, 2016) dampak zakat terhadap mustahik dapat dinilai dengan materi, ruhani, tingkat harapan hidup, literasi, dan akses pendidikan.

Sejauh ini lembaga-lembaga pengelola zakat di Tanah Air telah melakukan berbagai program dan inovasi untuk mengatasi ketimpangan infrastruktur sosial, seperti sekolah dan layanan kesehatan untuk warga miskin atau masyarakat berpenghasilan rendah. Pertanyaan dan diskursus yang sering mengemuka, manakah yang lebih efektif dan efisien lembaga zakat mendirikan sekolah sendiri atau membantu murid dari keluarga miskin dan membantu pembangunan fasilitas sekolah-sekolah terutama sekolah milik umat yang mengalami kekurangan. Demikian pula, apakah lembaga zakat perlu mendirikan rumah sakit yang khusus melayani warga miskin secara gratis atau membantu mereka yang tidak mampu untuk bisa memanfaatkan fasilitas kesehatan terbaik tanpa kendala biaya. Semua opsi di atas memiliki akurasinya masing-masing sesuai tempat dan waktu.

Penyaluran zakat tetap harus memperhatikan secara realistis perimbangan antara pola penyaluran konsumtif untuk karitas dan produktif untuk pemberdayaan ekonomi dengan memperhatikan tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di suatu wilayah. Dalam sebuah workshop dengan jajaran BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota di satu daerah, salah satu peserta mengemukakan pendapatnya, sebaiknya seluruh dana zakat disalurkan dalam bentuk program produktif supaya bisa mengentaskan kemiskinan.

Saya menanggapi, “Saudara benar. Penyaluran zakat yang bersifat konsumtif tidak akan mengentaskan kemiskinan. Tak mungkin hari ini diberi zakat, bulan depan menjadi sejahtera. Persoalan ini harus dilihat dari sudut pandang yang lain, yaitu menyelamatkan hidup orang miskin, menyelamatkan akidah kaum dhuafa, menyelamatkan orang miskin dari jeratan rentenir dan mencegah mereka dari putus asa. Saudara bisa bayangkan risiko sosial yang timbul andaikata semua lembaga zakat menghentikan layanan penyaluran zakat yang bersifat konsumtif. Seandainya seluruh dana zakat itu disalurkan kepada program ekonomi produktif dikhawatirkan banyak mustahik yang terabaikan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang mendesak.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here