Yauwaika! Salam Wisata dari Enggano

559

Oleh: Egy Massadiah**

Apa mau dikata, pulau-pulau negeri kita memang sangat eksotik. Teramat indah. Bak ratna mutu manikam, pujangga bilang.

Mari menyebut Bali, gugusan kepulauan di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara juga Papua. Semuanya adalah sederat nama nama yang lokasi wisatanya teramat menggairahkan.

Anda bisa memperpanjang deretan pulau-pulau eksotik itu dengan menambahkan pulau-pulau di sisi barat Pulau Sumatera, mulai dari Sabang, Simeuleu, Nias, Mentawai, hingga Enggano.

Nah, menyebut Enggano, mari kita bicara tentang salah satu surga tersembunyi di Indonesia. Selain objek wisata yang memanjakan batin dan mata, ada pula Taman Berburu. Ya, menembak binatang seperti babi hutan yang masuk kategori hama. Tak cuma itu, potensi mangrove untuk budidaya kepiting bakau juga tersedia.

Tak hanya mata yang dimanjakan. Lidah pun boleh bermanja-manja di pulau ini, dengan menyantap aneka sea food segar dari laut Enggano.

Atas nama semua itu pula Letjen Purn Dr HC Doni Monardo berkunjung ke Enggano. Doni melihat Enggano sebagai sebuah paket tujuan pariwisata yang lengkap. “Bisa berburu, mancing, snorkeling, diving, surfing, bahkan eating,” ujar Ketua Umum PP PPAD itu.

Enggano bisa dicapai dengan dua cara: Naik pesawat atau kapal laut. Rombongan Doni Monardo menggunakan jalur udara, terbang dari Bandara Fatmawati Soekarno Bengkulu menuju bandara Enggano di Desa Banjar Sari, menggunakan pesawat jenis Caravan yang dioperasikan Susi Air.

Dari tangga pesawat berkapasitas 12 penumpang itu, nampak Komandan Korem (Danrem) 041 Garuda Emas (Gamas) Brigjen TNI Dr. Achmad Budi Handoyo, M.Tr (Han) ikut mengantar. Lulusan Akmil 1992 ini bukan orang baru di mata Doni. Budi beberapa kali bertugas bersama Doni.

Di antaranya saat masih di Kopassus serta ketika Doni menjabat Komandan Paspampres, Budi adalah Asops Paspampres. Turut menemani Kasrem Gamas Kolonel Veri Sudijanto yang juga pernah bersama Doni saat di Kodam Pattimura.

Deru mesin Cessna Grand Caravan itu meninggi, diiringi gerak take off yang mulus. Untuk menempuh jarak 156 km, atau 90 mil Bengkulu – Enggano, membutuhkan waktu terbang 45 menit.

Cessna Caravan adalah pesawat bermesin turboprop tunggal, fixed-gear dan merupakan pesawat regional jarak pendek sayap tinggi (high wing) yang diproduksi oleh Cessna di Wichita, Kansas, Amerika Serikat.

Setiba di Enggano, rombongan Doni Monardo menuju Hotel Wisata Berlian, milik Bambang. Dandim Bengkulu Utara, Letkol Inf Made Mahardika (Akmil 2001) beserta sejumlah personil Koramil Enggano ikut menjemput. Jangan Anda bertanya hotel kategori bintang, sebab penginapan di Enggano masih setaraf hotel melati. Meski begitu, cukup representatif dan nyaman.

Karena penginapan yang relatif kecil, suasananya penuh nuansa kekeluargaan. Seperti biasa jika berkunjung ke daerah, saya mengakses hingga ke dapur. Di dapur hotel ini pula saya ikut turun tangan memasak memakai kayu bakar, yang menebar aroma mak-nyusss. Tentu dibumbui adegan perih di mata akibat asap kayu bakar.

Hari pertama kami memasak sup kepala ikan, lanjut ayam kampung digoreng. Kali lain mengolah daging kambing. Benar, pada hari ketiga kunjungan, kami memotong dua ekor kambing yang dibeli dari warga. Doni Monardo meminta untuk dijadikan hidangan sate, gulai, dan sop tulang.

Semua hidangan di atas selalu didampingi emping goreng dan aneka olahan jengkol: semur jengkol, jengkol balado, jengkol rebus, dan jengkol mentah. Maklum, jengkol terbilang melimpah di pulau yang satu ini.

De Houtman

Yauwaika!!! Adalah salam khas masyarakat Enggano. Pekik salam yang maknanya “Selamatlah Kita Semua”. Mirip-mirip pekik Aloha di Hawaii. Mirip-mirip pekik wa-wa-wa masyarakat Papua.

Tersebutlah, Enggano adalah satu di antara 17.000 pulau yang ada di Indonesia. Letaknya di lepas laut Bengkulu, sebagai pulau terluar yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.

Dibilang istimewa karena memang memenuhi semua syarat untuk disebut demikian. Di luar keindahan alamnya, Enggano memiliki hikayat yang tak dipunyai semua pulau.

Pertama ihwal nama. “Enggano!”, adalah sebuah kata yang diucapkan dengan nada kesal oleh pelaut Portugis, sesaat setelah menjejakkan kaki di pulau itu.

Arti kata “enggano” dalam bahasa Portugis adalah “menyesatkan”. Benar. Mereka merasa tersesat ternyata di pulau itu tidak ada emas dan rempah. Yang mereka tuju sebenarnya adalah pulau Sumatera. Nama itu kemudian melekat sampai hari ini.

Selain Enggano, nama lain adalah Telania, yang dalam bahasa melayu artinya telanjang. Nama itu dikaitkan dengan nenek moyang suku Enggano dalam kesehariannya. Sedangkan, penduduk asli menamakan pulaunya dengan nama Elope yang berarti bumi.

Adalah Cornelis de Houtman, menasbihkan nama Enggano untuk pulau itu. Dan nama itulah yang dikenal hingga hari ini.

De Houtman seorang penjelajah Belanda yang menemukan jalur pelayaran dari Eropa ke Nusantara, dan berhasil memulai perdagangan rempah-rempah bagi Belanda. De Houtman tercatat menginjakkan kakinya di Enggano pada 5 Juni 1596.

Keberhasilannya ini membuka jalan bagi ekspedisi-ekspedisi selanjutnya yang berujung pada praktik kolonialisme di Nusantara. Cornelis de Houtman lahir di Gouda, Holland Selatan, 2 April 1565 dan meninggal di Aceh, 11 September 1599 pada umur 34 tahun.

Kondisi bumi Enggano yang tiada emas-tiada rempah, menjadikan pulau itu tidak dilirik pemerintahan kolonial. Tapi bukan berarti tidak ada jejak-jejak penjajahan di sana. Kawasan perbukitan telah dibabat dan dijadikan perkebunan.

Baik Belanda maupun Jepang, melihat pulau Enggano adalah basis pertahanan paling depan. Karenanya, di sini pernah ditemukan meriam-meriam peninggalan Belanda, serta bunker peninggalan Jepang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here