Tragedi Pembela Republik (Persamaan dan Perbedaan Mr. Assaat Datuk Muda dan Dr. Chairul Saleh Datuk Paduko Rajo)

1055

Berbeda dengan Chairul Saleh, Assaat menentang Demokrasi Terpimpin yang dianggapnya condong ke kiri dan memberi angin kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurut Mukaddimah Piagam Perjuangan yang dibacakan oleh Kolonel M. Simbolon, “Kata-kata ‘guided democracy’ dan ‘gotong royong’ itu dipergunakan untuk memberikan kekuasaan kepada kaum komunis dalam pemerintahan negara. Padahal kaum komunis yang sekarang dimanjakan Presiden Sukarno itulah yang telah menikam Republik Indonesia seperti yang terjadi di Madiun tahun 1948.”

Ketika suasana di Jakarta makin tidak kondusif, diam-diam Assaat menyelinap ke Sumatera dan akhirnya bergabung bersama Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang dideklarasikan pada 15 Februari 1958. Assaat menjadi Menteri Dalam Negeri PRRI dan salah seorang Proklamator Republik Persatuan Indonesia (RPI). Karena keikutsertaannya dalam PRRI dan RPI, jejak Mr. Assaat Datuk Muda, bagai terhapus dari buku sejarah Republik Indonesia. Dan meskipun dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 449 tahun 1961, Assaat sudah memperoleh amnesti –yang dengan pemberian amnesti, semua akibat hukum pidana terhadap orang yang dimaksudkan dalam ketentuan-ketentuan Keputusan Presiden itu, dihapuskan— tetapi Assaat dan kawan-kawannya tetap dijebloskan ke penjara selama tahun-tahun terakhir kekuasaan Presiden Sukarno. Assaat dan kawan-kawan baru dibebaskan dari penjara oleh pemerintahan Presiden Soeharto.

PRRI datang dengan gagasan-gagasan besar yang melampaui zamannya, dan karena itu sangat sulit difahami oleh mereka yang tidak memiliki prespektif. Diperlukan waktu tujuh tahun sebelum akhirnya komunisme yang ditolak oleh PRRI, hancur melalui Gerakan 30 September 1965.

Perlahan tetapi pasti, berbagai gagasan yang diusung dan diperjuangkan oleh PRRI, terwujud. Diperlukan waktu lebih dari empat puluh tahun untuk mewujudkan cita-cita otonomi daerah, perimbangan keuangan pusat-daerah, dan pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bahkan jika kita mau jujur, DPD yang ada sekarang ini pun belum seperti DPD yang dikehendaki oleh PRRI.

Seperti dikatakan Salim Haji Said, “PRRI dan Permesta bukan pengkhianat. PRRI bukan gerakan separatis dan tidak menolak Pancasila. Mereka mau melaksanakan Pancasila secara lebih benar seperti antara lain tercermin dalam tuntutan mereka supaya PKI dibubarkan, dan supaya Presiden Sukarno tidak melanggar konstitusi.”

Sama dengan Assaat, sesudah peristiwa G.30.S/PKI Chairul Saleh pun harus dipenjara. Lebih tragis dari Assaat, Chairul Saleh meninggal dunia dalam status sebagai tahanan. Tidak pernah ada penjelasan resmi dari pemerintah mengenai alasan penahanannya. Jika alasan penahanan, karena Chairul Saleh diduga terlibat dalam G.30.S/PKI, peristiwa yang terjadi di Istana Bogor dan diungkapkan Julius Pour ini membantahnya:

“Pertengahan tahun 1965, dalam salah satu sidang kabinet , Chairul Saleh bertikai dengan DN. Aidit. Waktu itu Chairul Saleh adalah Wakil Perdana Menteri III/Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, sedangkan Aidit Ketua PKI (Partai Komunis Indonesia) dan juga Menteri/Wakil Ketua MPRS. Pertikaian meletus, karena dalam sidang , Chairul Saleh menyodorkan dokumen yang antara lain menyebutkan, pimpinan PKI sedang merencanakan perebuatn kekuasaan untuk menggulingkan Presiden Sukarno.

“Tentu saja Aidit membantah tuduhan tersebut. Dengan suara garang dia menolak. Kedua menteri ini, yang berteman sejak masa muda, nyaris baku hantam. Saking geramnya, Chairul hampir saja mendaratkan tinjunya ke muka Aidit. Para pejabat tinggi yang hadir menyaksikan kejadian ini mencoba melerainya. Kedua menteri tersebut masih tetap ngotot. Dengan wajah geram dan urat leher menegang, Chairul memegang bibir meja dan mau mengangkatnya. Dengan cepat Presiden Sukarno langsung mengetukkan palu yang terdengar sangat keras. Hening sejenak. ‘Dengan ini sidang saya tutup. Semua yang dibicarakan di sini tidak boleh (terdengar) ke luar,’ kata Bung Karno.”

Dengan perbedaan dan persamaannya, Assaat Datuk Muda dan Chairul Saleh Datuk Paduko Rajo, adalah orang-orang yang telah berjasa kepada terbentuk dan tetap tegaknya negara Republik Indonesia. Sebagai manusia biasa, tentu saja mereka memiliki kelebihan dan kekurangan. Akan tetapi, kekurangan, salah, dan khilaf yang pernah mereka lakukan, semestinya tidak menghalangi kita untuk memberikan penilaian objektif dan penghargaan yang layak kepada mereka.

Dalam melihat peristiwa-peristiwa masa lalu bangsa yang dianggap krusial, janganlah terpaku pada pandangan kacamata kuda. Marilah kita melihat masa lalu dengan bergerak ke tiga arah sekaligus. Pertama, mengungkap fakta-fakta objektifnya. Kedua, melihat secara cermat dan rinci akar masalahnya; dan ketiga, menarik relevansinya ke masa kini untuk diproyeksikan ke masa depan.

Hanya dengan cara pandang seperti itu, kita dapat menempatkan Mr. Assaat Datuk Muda dan Dr. Chairul Saleh Datuk Rajo Paduko secara objektif dan terhormat.[]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here