Tragedi Pembela Republik (Persamaan dan Perbedaan Mr. Assaat Datuk Muda dan Dr. Chairul Saleh Datuk Paduko Rajo)

1055

Berbeda dengan Assaat yang mau bekerja sama dengan Jepang, Chairul Saleh Datuk Paduko Rajo (13 September 1916-8 Februari 1967) yang semangat nasionalismenya sangat  tinggi, sejak awal sudah menunjukkan sikap anti-Jepang.

Menjelang runtuhnya kekuasaan Jepang, Chairul Saleh mengajak kawan-kawannya menentang “kaum tua” yang masih percaya kepada ketulusan sikap Jepang membantu persiapan kemerdekaan. Itu sebabnya Chairul Saleh menolak ajakan untuk menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan. Bersama dengan Soekarni, Wikana, Adam Malik, dan beberapa pemuda aktivis Menteng 31, Jakarta, Chairul Saleh  berada di balik aksi penculikan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat.

Perbedaan pokok antara “kaum tua” dengan Chairul Saleh cs, terletak pada pertanyaan, siapakah yang akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia? Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau yang lain? Bagi Chairul saleh cs, proklamasi kemerdekaan yang dilakukan oleh PPKI yang dibentuk oleh Jepang, sama artinya bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan hadiah dari Jepang, karena itu para pemuda menolak proklamasi oleh PPKI. Bagi Chairul Saleh cs, proklamasi kemerdekaan cukup diucapkan dan ditandatangani oleh Sukarno sebagai pemimpin rakyat.

Di sini jalan bersimpang. Bung Karno dan Bung Hatta selaku Ketua dan Wakil Ketua PPKI, menolak gagasan pemuda. Mereka tidak mau merampas hak para anggota PPKI yang sudah hadir di Jakarta untuk memproklamasikan kemerdekaan. Perdebatan keras dan panas terjadi antara Sukarno-Hatta dengan para pemuda. Saking panasnya, sampai-sampai Sukarno menyerahkan lehernya kepada Wikana untuk disembelih. Karena perundingan antara para pemuda dengan “kaum tua” menemui jalan buntu, dan Sukarno tidak mau memprokalamasikan kemerdekaan tanpa PPKI, maka para pemuda itu menyingkirkan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok.

Para pemuda itu, seperti dituturkan Soekarni kepada Hatta, akan bertindak sendiri. Nanti (15 Agustus 1945 –elha), menjelang pukul 12.00 tengah hari, 15.000 rakyat akan menyerbu ke kota dan bersama-sama dengan mahasiswa dan PETA (tentara Pembela Tanah Air) melucuti Jepang. “Bung Karno dan Bung Hatta kami bawa ke Rengasdengklok untuk meneruskan pimpinan pemerintah Republik Indonesia dari sana,” kata Soekarni seperti dikutip Mohammad Hatta dalam Untuk Negeriku Sebuah Biografi.

Kita dapat berdebat panjang mengenai makna dan akibat dari peristiwa penculikan Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok.  Hatta, misalnya, menyebut aksi para pemuda menculik Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok dan memulangkannya pada hari itu juga, “menjadi bukti sejarah dari kebangkrutan suatu politik yang dilaksanakan tanpa perhitungan dan berdasarkan sentiment belaka. Ia menunjukkan juga ketidakmampuan politik mereka.”

Akan tetapi, seperti dicatat Mohamad Roem, kita berterima kasih kepada sejarah bahwa Sukarno-Hatta tidak tunduk kepada tuntutan pemuda, meskipun iktikad kedua pihak sama, yaitu kemerdekaan tanah air. Bung Karno dan Bung Hatta tidak hilang kewibawaannya terhadap pemuda. Dalam pada itu, bagi Sukarno-Hatta perdebatan panas dan peristiwa penculikan itu tentu menumbuhkan kesan tersendiri, dan memberi keyakinan kepada mereka bahwa suhu politik sungguh-sungguh sudah sangat panas. Dengan kesan itulah, Sukarno-Hatta dapat bicara sangat tegas kepada penguasa Jepang, yang sudah meneyrah kepada Sekutu itu, Jenderal Mayor Nishimura yang tidak mengizinkan rapat PPKI dilanjutkan.

Maka, dengan wibawa Sukarno-Hatta yang tetap terjaga di depan para pemuda, dan berkat aksi penculikan oleh Chairul Saleh cs, proklamasi kemerdekaan tidak dilakukan dalam rapat PPKI, sehingga proklamasi kemerdekaan Indonesia terhindar dari klaim atau tuduhan sebagai hadiah dari Jepang. Bagaimanapun juga, PPKI adalah sebuah lembaga bentukan Jepang.

Yang tidak kalah pentingnya, Chairul Saleh pula yang keras menolak para anggota PPKI dan seluruh yang hadir dalam rapat itu turut menandatangani naskah Proklamasi Kemerdekaan. Dia berpendapat, naskah Proklamasi Kemerdekaan cukup ditandatangani oleh Sukarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Sesudah proklamasi kemerdekaan, semangat revolusioner tetap melekat pada diri Chairul Saleh.  Nama Chairul Saleh dikaitkan dengan “Komplot untuk Merebut Kekuasaan Negara”. Pada permulaan 1946, bersama Tan Malaka, Mohammad Yamin, Abikusno Tjokrosujoso, Sukarni, dan Sajuti Melik, Chairul Saleh ditangkap. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Peristiwa 3 Juli 1946 yang prolognya dimulai pada 27-28 Juni 1946 di Solo dengan aksi penculikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir serta sejumlah tokoh penting pemerintahan lainnya.

**

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here