Tragedi Karbala 10 Muharam dan Awal Pula Perpecahan dalam Islam

1434

Muslim Obsession – Pada 10 Muharram 61 Hijriyah atau 10 Oktober 680 Masehi ada peristiwa besar yang sampai saat ini masih dikenang oleh umat Islam, yakni pertempuran Karbala, sebuah peperangan antara pasukan Husain bin Ali melawan tentara Yazid bin Muawiyah dari Dinasti Umayyah.

Peperangan yang terjadi di dekat Sungai Efrat (sekarang Irak). Dalam pertempuran ini, kubu Husain bin Ali, yang jumlahnya jauh lebih sedikit, harus menerima kekalahannya dengan meninggalnya Husai secara tragis lantaran dipenggal kepalanya.

Meski secara militer skala pertempuran ini tidak besar, tetapi dampaknya sangat luar biasa. Bahkan Pertempuran Karbala dianggap sebagai peristiwa yang menandai dimulainya perpecahan Islam Sunni dan Syiah.

Latar belakang

Pemimpin Islam setelah Rasulullah dan khalifah pertama Abu Bakar wafat mengalami berbagai ujian. Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua tewas dibunuh Abu Lu’Lu’ah, seorang pandai besi asal Persia.

Ia mendendam setelah Persia ditaklukkan pasukan Islam. Pada suatu pagi saat Umar bin Khattab dan kaum Muslimin melaksanakan salat Subuh di Masjid Nabawi, Abu Lu’Lu’ah menikam tubuh khalifah hingga tersungkur dan meninggal dunia.

Sementara khalifah ketiga, Utsman bin Affan, tewas dibunuh kaum oposisi saat terjadi krisis politik yang tidak puas dengan kepemimpinannya. Kaum Muslimin yang datang dari Mesir, Bashrah, dan Kufah mengepung rumah khalifah selama hampir empat puluh hari. Utsman bin Affan akhirnya tewas dihunjam dua tombak pendek milik para oposisi.

Dan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat meninggal dunia dibunuh Abdurrahman bin Muljam, seorang kaum Khawarij, ketika ia sedang wudu untuk menunaikan salat Subuh.

Abdurrahman bin Muljam yang datang tiba-tiba mengayunkan pedangnya yang terhunus. Khalifah keempat itu tak sempat mengelak hingga pedang mengenai kepalanya dan ia roboh. Beberapa saat kemudian ia meninggal dunia.

Sejak kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, Muawiyah dari Bani Umayyah yang berkedudukan di Syam atau Suriah terus merongrong. Ia berambisi merebut tampuk kekuasaan khalifah. Dua hari sepeninggal Khalifah Ali bin Abi Thalib, kaum Muslimin di Kufah sebagai pusat pemerintahan Islam membaiat Hasan bin Ali (selanjutnya ditulis Hasan).

Muawiyah I terus berupaya merubut kekuasaan Islam dari tangan Hasan. Namun dengan karakternya yang halus dan lembut ia memilih untuk menyerahkan kekuasaan ke tangan Muawiyah demi menghindari pemerangan dan pertumparan darah sesama muslim.

Setelah berkuasa, Muawiyah lantas berusaha memastikan bahwa putranya, Yazid, akan diterima sebagai khalifah berikutnya. Berbeda dengan proses pemilihan khalifah sebelumnya, Muawiyah meminta semua pendukungnya untuk bersumpah setia kepada Yazid.

Setelah naik takhta, Yazid menulis surat kepada gubernur Madinah agar menuntut kesetiaan dari Husain bin Ali, adik Hasan.

Padahal, masyarakat banyak yang tidak puas dengan pemerintahan Yazid. Husain segera memanfaatkan peluang tersebut untuk merebut kembali takhta kekhalifahan.

Terlebih lagi, ia juga dipastikan akan mendapat dukungan dari Muslim di Kufah (Irak). Hal inilah yang menjadi penyebab Pertempuran Karbala.

Pasukan Husain dikepung

Mengetahui rencana Husain, Yazid langsung mempersiapkan pasukannya, yang diperkirakan berjumlah 3.000 hingga 5.000 orang.

Yazid sendiri tidak berpartisipasi dalam pertempuran dan mempercayakan tanggung jawab pemimpin perang kepada sepupunya, Ubaidullah bin Ziyad.

Pada 9 September 680 M, Husein meninggalkan Mekah bersama sekitar 100 pendukungnya, yang terdiri dari anggota keluarga terdekat Nabi Muhammad, termasuk wanita dan anak-anak.

Di perjalanan, rombongan ini mendapat kabar buruk bahwa Kufah telah berhasil dibungkam oleh Yazid.

Kendati demikian, para pendukung Husain tidak gentar dan melanjutkan perjalanan mereka ke Kufah.

Ketika Husain dan pendukungnya memasuki dataran Karbala, pasukan Umayyah telah menghadang dan kemudian mengepung mereka.

Pada hari kesembilan Muharram, pasukan Husain telah kehabisan persediaan air dan hanya memiliki pilihan menyerah atau mati.

Sebab, apabila tidak menyerah, mereka hampir dipastikan akan mati karena kalah jumlah.Husain sebenarnya membebaskan pengikutnya untuk melarikan diri, tetapi mereka tidak mau meninggalkannya.

Perang berkecamuk

Pada 10 Oktober, perang telah berkecamuk sejak subuh, di mana para pendukung Husain mulai maju menghadapi musuh.

Meski telah berjuang sekuat tenaga, kekuatan mereka tetap tidak sebanding dengan pasukan Umayyah.

Menjelang siang hari, pendukung Husain banyak yang telah tewas dibantai, termasuk anak-anak.

Meski Husain juga telah terluka parah akibat tembakan panah, ia masih berusaha bangkit hingga akhirnya meninggal karena dipenggal.

Pertempuran pun diakhiri setelah sekitar 70 orang dari pihak Husain terbaring tidak bernyawa. Sementara dari kubu Umayyah, hanya kehilangan sekitar 88 orang dari ribuan pasukannya.

Dampak Pertempuran Karbala

Tragedi tewasnya Husain bin Ali, yang merupakan cucu Nabi Muhammad, mengejutkan umat Muslim.

Citra Yazid pun semakin buruk, dan Pertempuran Karbala menjadi salah satu sebab Bani Umayyah dapat digulingkan sekitar tujuh dekade kemudian dalam peristiwa pemberontakan berdarah.

Sebelum meletus pertempuran, umat Muslim sebenarnya telah terbagi menjadi dua faksi politik. Akan tetapi, perbedaan syariat dan akidah belum berkembang.

Pasca Perang Karbala, perpecahan antara kaum Sunni dan Syiah di seluruh penjuru dunia Islam semakin kentara.

Pengaruh pertempuran ini terhadap Islam Sunni dan Syiah pun berbeda. Oleh Muslim Syiah, hari ke-10 pada bulan Muharram dalam Kalender Hijriyah kemudian diperingati sebagai Hari Asyura.

Pertempuran Karbala juga disebut sebagai peristiwa yang mengilhami Revolusi Islam Iran pada 1978.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here