Tiap Pahlawan Punya Kisahnya Sendiri

1865
Ilustrasi Pahlawan (Photo: Istimewa)

Muslim Obsession – Di perang Uhud, ketika tubuhnya memerisai Rasulullah Saw. dan tujuh puluh luka berlomba menguras darahnya, Thalhah Ibn ‘Ubaidillah berdoa sambil menggigit bibir.

“Rabbii”, begitu lirihnya, “Khudz bidaamii hadzal yauum, hattaa tardhaa. Ya Allah, ambil darahku hari ini sekehendak-Mu hingga Engkau ridha.” Tombak, pedang dan panah yang menyerpih tubuh dibiarkannya, dipeluknya badan sang Nabi seolah tak rela seujung bulu pun terpapas.

“Kalau ingin melihat syahid yang masih berjalan di muka bumi”, begitu Sang Nabi bersabda, “Lihatlah pada Thalhah”, dan Thalhah, yang jalannya terpincang, yang jarinya tak utuh, yang tubuhnya berlumur luka tersenyum malu dan menitikkan air mata. Terlihatlah di pipinya itu, mengalir di atas darah yang mengering merah.

Tetapi, tiap pahlawan punya kisahnya sendiri.

Satu hari ia berbincang dengan ‘Aisyah, isteri sang Nabi, yang masih terhitung sepupunya. Rasulullah datang dan wajah beliau pias tak suka. Dengan isyarat, beliau meminta ‘Aisyah masuk ke dalam bilik.

Wajah Thalhah kemudian memerah. Ia undur diri bersama gumam dalam hati, “Beliau melarangku berbincang dengan ‘Aisyah. Tunggu saja, jika beliau telah diwafatkan Allah, takkan kubiarkan orang lain mendahuluiku melamar ‘Aisyah.”

Satu saat dibisikannya maksud itu pada seorang kawan, “Ya, akan kunikahi ‘Aisyah jika Nabi telah wafat.”

Gumam hati dan ucapan Thalhah disambut wahyu. Allah menurunkan firman-Nya kepada Sang Nabi, “Dan apabila kalian meminta suatu hajat kepada isteri Nabi itu, maka mintalah pada mereka dari balik hijab. Demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka. Kalian tiada boleh menyakiti Rasulullah dan tidak boleh menikahi isteri-isterinya sesudah wafatnya selama-lamanya.” (QS. Al-Ahzab [33]: 53)

Ketika ayat itu dibacakan padanya, Thalhah menangis. Ia lalu memerdekakan budaknya, menyumbangkan kesepuluh untanya untuk jalan Allah. Serta menunaikan umrah dengan berjalan kaki sebagai taubat dari ucapannya.

Kelak, tetap dengan penuh cinta dinamainya putri kecil yang disayanginya dengan asma ‘Aisyah. ‘Aisyah binti Thalhah. Wanita jelita yang kelak menjadi permata zamannya dengan kecantikan, kecerdasan, dan kecemerlangannya. Persis seperti ‘Aisyah binti Abi Bakr yang pernah dicintai Thalhah.

Begitulah, tiap pahlawan punya kisahnya sendiri.

Sesudah wafatnya ‘Utsman Ibn ‘Affan di tangan para pemberontak, fitnah besar itu terjadilah. Thalhah bersama Zubair Ibn Al-‘Awwam dan ‘Aisyah, memerangi ‘Ali Ibn Abi Thalib untuk menuntut bela kematian ‘Utsman, meminta ditegakkannya keadilan atas para pembunuh ‘Utsman yang sebagiannya kini menjadi penyokong utama kekhalifahan ‘Ali Ibn Abi Thalib.

Keadaan sangat tidak mudah bagi ‘Ali. Pilihan-pilihannya terbatas. Thalhah tahu itu, tapi dia sendiri juga kesulitan bersikap lain di tengah kedua kubu. Satu hari, dalam perang yang dikenal sebagai Waq’ah Jamal itu, ‘Ali mengirim utusan, memohon agar bisa berjumpa dengan kedua sahabat yang dicintainya; Thalhah dan Az-Zubair.

Mereka berdua datang dan ketiganya berpelukan. Tak terasa air mata meleleh. Kenangan-kenangan ketika ketiganya bersipadu di sisi Rasulullah berkelebatan dengan indah. Namun kini terasa menyesakkan.

Menyakitkan, dulu pedang mereka seayun, langkah mereka sebaris, tangannya bergandengan. Kini mereka harus berhadapan saling menghunus pedang, dengan mata saling menatap tajam, tapi hati tersembilu, dan seolah tak ada jalan selain itu.

Sesudah menyeka air mata, ‘Ali menggenggam jemari Thalhah dan menatap dalam ke wajahnya. Dengan menghela nafas, ‘Ali mencoba menyusun kata.

“Ingatkah engkau hai Thalhah, mengapa Allah turunkan ayat tentang hijab bagi isteri Nabi dan mengapa Dia melarang kita untuk menikahi janda beliau?”

Thalhah terisak. Dadanya bergemuruh oleh malu dan sesal. Bahu kekarnya bergeletar.

‘Ali menepuk bahu Thalhah. “Ya”, katanya sambil mengalihkan pandangan, tak sanggup melihat tercabiknya batin Thalhah oleh kata-katanya. Tapi demi perdamaian dan persatuan kembali kaum Muslimin, ‘Ali mau tak mau harus mengatakan ini. Ia menguatkan hati dan berkata, “Ayat itu turun karena maksud hati dan ucapanmu untuk menikahi ‘Aisyah.”

‘Ali meraba reaksi Thalhah. Lalu Ia melanjutkan sambil menatap tajam pada sahabatnya itu. “Dan kini sesudah beliau Saw. benar-benar wafat, mengapa engkau justru membawa ‘Aisyah keluar dari hijabnya dan mengajaknya mengendarai unta dan berperang di sisimu?”

Thalhah menubruk ‘Ali, memeluk dan menangis di bahunya. Hari itu mereka sepakat berdamai dan menyudahi perang saudara. Di hari itu pula, sepulang dari kemah ‘Ali, Thalhah bersama Az-Zubair sahabatnya dibunuh oleh orang-orang yang tak menghendaki perdamaian.

‘Ali ibn Abi Thalib dengan duka yang begitu dalam, sore itu, menggali kubur untuk kedua cintanya. Seusai pemakaman, ‘Ali menimang putra Thalhah yang masih kecil. Kepada bocah itu dia berbisik, “Nak,” kata ‘Ali.

“Aku sungguh berharap, aku dan ayahmu termasuk orang-orang yang difirmankan oleh Allah di Surat Al-Hijr ayat 47, “Dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadapan di atas dipan-dipan.” (Vina – Dikutip dari Sebuah Kenangan Atas Cinta oleh Salim A. Fillah)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here