Tanpa Islam Tidak Ada Indonesia

2071

Kemusliman = Kebangsaan

Teori ingatan sosial  yang dikemukakan oleh Taufik Abdullah, segera mengingatkan kita kepada tulisan Deliar Noer dalam disertasinya Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 yang dipertahankan di Universitas Cornell, Amerika Serikat.

Menurut Deliar, pada masa peralihan dari abad XVIII ke abad XIX, sesudah lebih dari dua ratus tahun politik Kristenisasi dilaksanakan dengan ketat oleh penguasa kolonial (Spanyol, Portugis, Inggeris, dan Belanda), yang lahir justeru menyatunya identitas kemusliman dengan identitas kebangsaan. Pada waktu itu, orang yang beragama Islam selalu digolongkan kepada penduduk pribumi. Orang Cina yang masuk agama Islam, dikatakan telah mengubah kebangsaan atau kesukuannya menjadi Melayu.

Di Jawa, semua orang bumiputera atau pribumi, disebut wong Selam, orang Islam. Sarekat Islam, satu-satunya organisasi sosial politik yang berpengaruh besar di awal abad XX, lebih menunjukkan sifat etnis  dari pengikutnya, yaitu kepribumiannya, daripada sifat keagamaan dari organisasi tersebut. Nama Sarekat Islam menggambarkan aspek agama dan aspek kebangsaan atau kepribumian.

Demikian kuat identifikasi kemusliman dengan kebangsaan, sehingga pada masa itu, segala yang identik atau berbau penjajah, ditolak. Mereka yang menyekolahkan anaknya ke sekolah pemerintah kolonial, dianggap menyekolahkan anaknya ke sekolah Kristen. Mereka yang berpantalon dan berdasi, dianggap kafir. Ini sama sekali bukan sikap antikebhinekaan atau sikap intoleran,  melainkan sikap uzlah, mengisolasi diri, memupuk kekuatan di luar pengaruh dominan kaum penjajah.

Kelak, ketika tiba saatnya untuk melawan kaum penjajah yang diiuzlahi, kaum antikolonial itulah yang paling dulu melompat ke depan. Satu seruan “Allahu Akbar!” dari Bung Tomo, telah cukup untuk memanggil para ulama dan para santri dari berbagai pelosok negeri untuk tampil ke depan menghadapi serangan musuh yang hendak kembali menjajah tanah air.

Bukanlah kesimpulan yang melompat jika dikatakan karena kemusliman identik dengan kebangsaan, maka relijiusitas sesunguhnya merupakan  jati diri bangsa ini.

Kaum penjajah sadar benar, kekuatan riil dan potensial bangsa Indonesia terletak pada jiwa relijiusitasnya yang dalam hal ini untuk sebagian besar berarti jiwa keislamannya. Berdasarkan kesadaran terhadap kekuatan Islam itulah, kaum penjajah berusaha keras untuk menaklukkannya dengan berbagai cara, dan dari berbagai jurusan kehidupan. Akan tetapi, seperti ditulis oleh W.F. Wertheim dalam Kata Pengantar untuk buku Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, “Apapun politik terhadap Islam yang akan dilancarkan oleh kekuasaan non-Islam, hasilnya senantiasa berbeda dari apa yang ingin dikejar kekuasaan tersebut.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here