Stagnasi Demokrasi: Sebab dan Solusinya

468

Oleh: Miftakhudin Tauhidy, S.I.P (Dai Parmusi, Pengajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Ketua Umum Gerakan Masyarakat Sadar Konstitusi/GEMA SAKTI)

Potret capaian Indek Demokrasi Indonesia (IDI) 2021 menurut The Economist Intelegence Unit (EIU) mendapatkan skor 6.71 mengalami stagnansi di Dua dekade Reformasi 2009-2021 alhasil Indonesia dikelompokkan sebagai negara dengan Demokrasi cacat.

EIU mengklasifikasikan negara negara ke dalam empat kategori rezim, yaitu demokrasi penuh (full democracy), demokrasi cacat (flawed democracy), rezim hibrida (hybrid regim) dan rezim otoriter (authoritian).

Negara dalam kelompok “cacat” ini umumnya masih memiliki tiga problem utama yang fundamental yaitu budaya politik yang anti kritik, kinerja pemerintah yang belum optimal dan partisipasi warga yang masih lemah.

Problem yang pertama yaitu budaya anti kritik atau lebih familiar dikenal dengan xenofobia politik populis dimana pemangku kepentingan sangat alergi dengan kritik dan masukan khususnya dari entitas yang di cap “berseberangan”.

Sehingga, salah satu kebijakan domino yang dipilih untuk mensosialisasikan citra penguasa sekaligus mengcounter kritik adalah dengan institusi bayangan yang belakangan ini dilabeli masyarakat dengan nama buzzer.

Yang kedua, kinerja pemerintah (state practice) dilihat dari seberapa besar kehadiran negara dalam menjawab problematika masyarakat, berbagai permasalahan yang jelas-jelas menjadi kebutuhan mendesak masyarakat ketika dihadapkan dengan kepentingan korporasi atau kelompok kecil elit politik maupun elit ekonomi tidak jarang kehadiran negara samar samar bahkan terkesan absen.

Absennya peran negara di dua dekade Reformasi 1998-2022 disebabkan karena upaya Reformasi kelembagaan negara (state Institutional reform) tidak berbanding lurus dengan upaya Reformasi kapasitas negara (state capacity reform).

Ketika Aktualisasi negara (state in practice) menjadi samar samar atau absen maka kondisi ini telah mendorong tumbuh dan berkembangnya shadow state (Hidayat, s dan Gismar, A. M, 2010).

Apa itu Shadow State?

Salah satu bentuk fenomena pasca orde Baru adalah munculnya praktik shadow state, yaitu pemerintah bayangan atau para pemangku otoritas informal (di luar struktur pemerintahan) namun mengendalikan pemerintahan formal (Hidayat, 2007).

Ibarat keluar mulut buaya masuk ke mulut harimau, transisi demokrasi paska lengsernya Pak Harto memang telah berhasil melepaskan Indonesia dari otoritarisme Orba. Tetapi kemudian masuk ke dalam pelukan oligarkhi parpol dan kapitalis yang menjadi dalang shadow state.

Sehingga transisi demokrasi yang diharapkan menuju demokrasi subtantif justru menghasilkan “stagnasi Demokrasi”, karena Reformasi telah dibajak oleh oligarkhi parpol dan kapitalis.

Yang ketiga, tingkat partisipasi masyarakat yang menurun dibuktikan dengan kenaikan secara signifikan angka golput adalah timbal balik atas ketidakhadiran negara dalam problematika masyarakat dan jawaban atas ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah.

Berdasarkan data Komisi pemilihan Umum (KPU) angka golput menunjukan tren yang meningkat. Tingkat golput awalnya 8.60 persen pada 1955.

Pada era reformasi, tingkat golput semakin memprihatinkan karena ngkanya terus melambung. Pada 2014 secara nasional angka golput mencapai 30,8 persen dengan angka tertinggi di Kepulauan Riau mencapai 40 persen dari total pemilih terdaftar 1.39 juta.

Pemilu 2019, angka golput turun 7 persen menjadi 23.30 persen karena ada peningkatan partisipasi komunitas minoritas non-muslim sebagai dampak gerakan 212 yang mengantarkan Ahok sebagai terdakwa penista agama yang gelombang dukungannya tak bisa ditahan.

Merembet juga ke arena kontestasi Pilpres dengan dua ikon pasangan calon presiden yang diinterprestasikan sebagai simbol pro dan kontra terhadap gerakan 212 sehingga basis massa mengalami polarisasi antara blok kampret dan kadrun

Untuk mengurai benang kusut stagnasi demokrasi di Indonesia perlu dicari solusi alternatif yang mempunyai daya ungkit (leverage) untuk melejitkan kualitas demokrasi. Satu di antaraya adalah dengan gerakan menumbuhkan kesadaran politik warga negara melalui pendidikan politik.

Mengutip pendapat Dewey, demokrasi bukanlah sesuatu yang bersifat kontimun (sekali jadi) tetapi sangat dinamis. Oleh karena itu nilai-nilai demokrasi harus selalu diaktualisasikan sesuai dengan perkembangan ruang dan waktu serta disosialisasikan pada setiap generasi (Dewey, 1916).

Tahun politik 2024 penting untuk dijadikan momentum mengampanyekan gerakan pemilih cerdas, tentang waktu yang masih tersedia adalah kesempatan emas untuk membangkitkan kesadaran para calon pemilih khususnya pemilih pemula untuk memantau, memilih dan memilah rekam jejak (track record) partai-partai mana saja dan siapa saja aktor di legislatif maupun di eksekutif yang layak dipilih dan diberi mandat untuk melayani masyarakat.

Pemimpin terpilih adalah gambaran dari konstituen atau pemilihnya, maka ketika warga negara memiliki pengetahuan dan akses yang baik terhadap politik maka akan berbanding lurus. Pemimpin yang dipilih oleh pemilih yang baik melalui mekanisme pemilu yang baik dan adil tentu akan melahirkan pemimpin yang baik dan adil pula. (mf)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here