Sang Pejalan di Pinggir

1645

Berkelana

Badannya tinggi besar dan tegap. Kulitnya gelap dan tulang-tulang wajahnya menonjol. Kegemaran Agus adalah jalan kaki. Kesukaannya yang bersifat fisikal ini juga sesuai dengan kepribadiannya. Ia senang bergaul. Wawasannya luas. Dan, kaya hati. Ia pengelana. Aktivis kiri umumnya tak menyukai gerakan Islam. Demikian pula dengan gerakan liberal. Namun semua itu tak berlaku bagi Agus.

Pengembaraannya yang luas — baik secara geografis (karena gemar menjelajahi masyarakat-masyarakat kecil di pelosok negeri), secara sosial (karena bergaul dengan beragam ras, kelas sosial, agama, maupun pengelompokan sosial), juga secara pemikiran (ia pelahap bermacam pemikiran) – telah membuat dirinya menjadi bijak dalam melihat persoalan. Kemuakannya hanya satu: pada penguasa, siapapun mereka. Sangat khas marxis.

Di saat para aktivis jalanan masuk kekuasaan di era Gus Dur, Agus memilih tetap bergerak di bawah. Di saat aktivis jalanan di era Jokowi masuk kekuasaan dan BUMN, Agus tetap di pinggiran. Baginya, penguasa sama saja. Tugas kaum idealis tetap menemani orang-orang yang terpinggirkan. Namun ia tak lagi seperti dia aktif di Pijar, wadah demonstran paling berani era Orde Baru.

Di masa seniornya ia terkesan berwajah developmentalis. Tak heran jika kemudian ia bergabung di Lazismu, lembaga penghimpun zakat, infak, sedekah, dan wakaf milik Muhammadiyah. Lembaga semacam ini berwajah developmentalis, tidak strukturalis yang berhadap-hadapan dengan kekuasaan.

Tak heran jika ia tetap akrab dengan kawan-kawannya yang kini sedang asyik masyuk dalam gelimang kuasa. Walaupun kata-kata kerasnya tetap terlontar dalam grup-grup diskusi. Tapi kemudian ia cairkan dengan canda. Agus juga dikenal sebagai orang yang enteng bersilaturahim.

Agus adalah seorang kiri yang tak pernah meninggalkan Islam. Walau tak saling kenal, tapi Agus memiliki jariah pada saya lewat buku-buku yang ia sunting. Semoga itu menjadi pelapang jalan menuju surga.

Pada Jumat (10/1) malam Agus pergi untuk selamanya. Kabar duka itu menyebar cepat. Saya mengetahuinya esok harinya ketika hendak berangkat ke acara pidato guru besar Prof Dr Arif Satria. Maklum tadi malam tidur cepat. Dunia aktivis segera menggeliat. Sebetulnya sudah lama Agus menderita sakit jantung. Kepalanya pun diplontos. Badannya jadi kurus. Rambut tebal yang selalu belah tengah itu tak lagi menjabrik di kepalanya. Tapi kacamata lennonnya tetap bertengger. Selamat jalan kamerad…

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here