Sang Mutiara Itu (7 – terakhir)

651

Oleh: Imam Shamsi Ali (Presiden Nusantara Foundation/Pesantren Nur Inka Nusantara Madani)

Ada satu prilaku diskriminatif umat dalam menyikapi sunnah-sunnah Rasulullah SAW. Satu yang paling sering diabaikan adalah sunnah-sunnah beliau dalam kehidupan publik dan sosialnya. Seolah sunnah hanya bersifat personal, bahkan itupun dibatasi dalam hal-hal ritual ubudiyah semata.

Padahal sekali lagi, sunnah-sunnahnya mencakup segala aspek hidup manusia untuk ditauladani. Muhammad SAW memang adalah manusia biasa (basyar). Tapi kemanusiaan beliau mencapai tingkatan kesempurnaannya. Karenanya menuntut kesadaran Umat untuk menauladani beliau juga secara sempurna dalam kehidupan.

Pada bagian lalu disebutkan ketauladanan dalam aspek iman, ibadah, dan juga pada sisi karakter pribadi. Bahwa pada semua itu beliau menjadi tauladan terbaik. kehidupan beliau adalah aktualisasi hidup dari keagungan ajaran Al-Quran.

Hal terakhir yang ingin saya bahas adalah sunnah-sunnah Rasul dalam kehidupan sosial dan publik beliau. Pada sisi inilah banyak yang terlupakan atau diabaikan sengaja atau tidak oleh umatnya. Baik itu dikaranakan oleh ketidak tahuan. Ataupun juga karena kesalahan dalam memahami agama sebagai agama personal semata.

Kesalahan memahami agama seperti ini lebih dikenal dengan paham “tab’idh” atau pemahaman yang sebagian-sebagian. Biasanya pada tahap ini beragama umumnya ditentukan oleh kecenderungan hawa nafsu. Tanpa disadari makna “Islam” secara esensi hilang. Bahwa beislam sesungguhnya bermakna berserah diri (istislam) secara totalitas kepada kekuasaan dan aturan Ilahi.

Oleh karena agama bersifat “syamil, Kamil wa mutakamil” (menyeluruh, sempurna dan komprehensif) maka demikian pula sunnah Rasul SAW. Termasuk di dalamnya bagaimana harusnya Umat ini menjalankan kehidupan publik dan sosialnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here