Saatnya Meraih Derajat Takwa

1405

Oleh: Dr. KH. Husnan Bey Fananie, MA (Duta Besar Indonesia untuk Azerbaijan)

Marhaban Yaa Ramadhan. Inilah kalimat paling indah untuk menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Kalimat ini pula yang sering kita dengarkan di berbagai tajug, surau, mushalla, dan masjid, didendangkan kaum muslimin dengan untaian syair yang merdu. Sebuah penghormatan untuk bulan yang sangat suci dan sangat diistimewakan Allah ‘Azza wa Jalla.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah Swt. mengistimewakan bulan Ramadhan di atas bulan-bulan lainnya dengan menurunkan Al-Quran di dalamnya. Kitab-kitab suci yang diturunkan kepada nabi-nabi terdahulu juga diturunkan pada bulan Ramadhan. Suhuf Nabi Ibrahim As. diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan, kitab Zabur diturunkan kepada Nabi Dawud As. pada malam kedua belas bulan Ramadhan, kitab Taurat diturunkan kepada Nabi Musa As. pada malam keenam bulan Ramadhan dan kitab Injil kepada Nabi Isa As. diturunkan pada malam ketiga belas bulan Ramadhan.

Kitab-kitab tersebut merupakan petunjuk bagi umat manusia ke jalan yang benar dan penyelamat dari jalan yang sesat. Maka bulan Ramadhan dalam sejarahnya merupakan bulan dimulainya gerakan membasmi kemusyrikan, menghancurkan kekufuran, menepis kedengkian, melawan kebatilan dan kemungkaran, hawa nafsu serta kesombongan.

Ya, melalui puasa Ramadhan inilah Allah Swt. menguji hamba-Nya untuk mengendalikan nafsunya, serta memberikan kesempatan kepada kalbu untuk menembus wahana kesucian dan kejernihan rabbani.

Para hukama terdahulu meyakini bahwa perut adalah pengendali nafsu manusia. Luqman Hakim pernah menasehati anaknya, ”Wahai anakku, manakala perutmu kenyang, maka tidurlah pikiranmu, sirnalah kecerdikanmu, dan anggota tubuhmu enggan beribadah”.

Ali bin Abi Thalib Ra. juga berkata, ”Manakala perutmu penuh, maka kamu adalah orang yang lumpuh”. Sementara Umar bin Khattab mengatakan, ”Barangsiapa banyak makannya, maka ia tidak akan merasakan kenikmatan dzikir kepada Allah”.

Berpuasa di bulan Ramadhan, sejatinya, merupakan upaya pengendalian diri dari hawa nafsu yang cenderung mengajak manusia pada maksiat dan kebiasaan buruk. Puasa inilah yang menjadi jalan bagi seorang hamba untuk menerima pancaran cahaya ilahiyah.

Dalam tafsirnya Mafatihul Ghaib, Fakhruddin Arrazzi menjelaskan bahwa cahaya ketuhanan tak pernah redup dan sirna, namun nafsu kemanusiaan sering menghalanginya. Puasa merupakan satu-satunya cara untuk menghilangkan penghalang tersebut dan membuka pintu-pintu mukasyafah.

Puasa merupakan ibadah yang memiliki keistimewaan dalam pandangan Allah ‘Azza wa Jalla. Dalam hadits Qudsi, Allah berfirman: “Tiap-tiap kebajikan dibalas dengan sepuluh kali lipat, hingga 700 kali lipat, kecuali puasa, ia untuk-Ku, Aku sendiri yang akan membalasnya”.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here