Jakarta, Muslim Obsession – Bagi umat Islam, Isra’ dan Mi’raj menjadi salah satu peristiwa paling bersejarah yang akan terus dikenang dan dirayakan.
Bagaimana tidak, Isra Mi’raj menjadi perjalanan suci Nabi Muhammad ke tingkat yang paling tinggi yang tidak bisa dijangkau oleh semua makhluk, kecuali hanya Rasulullah.
Selain sebagai awal mula diwajibkannya shalat lima waktu, Isra Miraj juga menjadi salah satu mukjizat Rasulullah yang paling agung.
Perjalanan yang sangat jauh dan sangat sulit untuk digambarkan dengan akal, namun bisa tempuh dengan tempo waktu yang sangat singkat, bahkan akal tidak bisa menerima kenyataan itu jika tidak dilandasi dengan keimanan yang matang.
Isra` adalah peristiwa ketika Allah swt memperjalankan Nabi Nabi Muhammd dari Masjidil Haram, Makkah, menuju Masjidil Aqsha di Paletina.
Sedangkan yang dimaksud dengan Mi’raj adalah peristiwa berikutnya, yaitu dinaikkannya Nabi Muhammad melintasi lapisan-lapisan langit tertinggi sampai batas yang tidak dapat dijangkau pengetahuan malaikat, manusia, maupun jin. Semua itu terjadi dalam satu malam.
Perjalanan Isra’ Nabi Muhammad akhirnya diabadikan oleh Allah swt dalam Al-Qur’an, Dia berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya, “Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sungguh Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (Surat Al-Isra’ ayat 1).
Sebagaimana penjelasan para ulama tafsir, bahwa semua ayat yang dimulai dengan lafal subhana (Mahsuci), menunjukkan bahwa penjelasan atau khabar setelahnya merupakan peristiwa luar biasa yang tidak bisa bisa dicerna dengan akal manusia (khariqun lil ‘adah) yang serba terbatas, dan hanya Allah yang tahu rahasia di balik semua itu, termasuk isra’ mi’raj. (Syekh Mutawalli, Tafsir wa Khawathirul Umam lisy Sya’rawi, [Darul Imam, 1997), juz I, halaman 5084).
Sedangkan peristiwa Mi’raj disebutkan dalam ayat yang lain, Allah berfirman:
وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى (13) عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى (14) عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى (15) إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى (16) مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى (17) لَقَدْ رَأَى مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى
(18) Artinya, “Sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha, di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya, penglihatannya (Muhammad) tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sungguh, dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang paling besar.” (Surat An-Najm ayat 13-18).
Soal peristiwa Isra Miraj ini menjadi tanda tanya dan berbedaan pendapat antar ulama tentang apakah Rasulullah saat itu melihat Allah secara dzat atau tidak.
Ada yang mengatakan bahwa Rasulullah mampu melihat Allah dengan penglihatannya, dan ada pula yang mengatakan tidak demikian.
Sayyid Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Husaini al-Alusi (wafat 1270 H) dalam tafsirnya dengan tegas mengatakan bahwa Rasulullah tidak melihat Allah pada peristiwa itu.
Sebab, nash ayatnya; baik surat Al-Isra’ maupun surat An-Najm, dengan sangat jelas memberikan isyarat bahwa Allah swt hanya memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya, bukan Dzat-Nya. (Al-Alusi, Ruhul Ma’ani fi Tafsiri Al-Qur’an was Sab’il Matsani, [Beirut, Darul Ihya’ at-Turats: 1415), juz XV, halaman 13).
Sedangkan pendapat sahabat Ibnu Abbas, Ikrimah dan Ka’bul Akhbar, sebagaimana dikutip Imam Abu Hayyan al-Andalusi, bahwa Rasulullah melihat Allah pada peristiwa itu.
Akan tetapi pernyataan ini dipatahkan oleh riwayat Sayyidah Siti Aisyah, bahwa suatu saat ia bertanya kepada Rasulullah perihal tanda-tanda yang dilihatnya pada malam Isra’ Mi’raj, ternyata Rasulullah menjawab, bahwa tanda-tanda itu adalah Malaikat Jibril (bukan Allah). (Al-Andalusi, Tafsir al-Bahrul Muhith, [Beirut, Darul Fikr: 1420], juz VIII, halaman 156).
Dari dua pendapat di atas, pendapat manakah yang lebih layak untuk diyakini dan diikuti? Imam Nawawi mengatakan bahwa pendapat yang lebih unggul adalah yang mengatakan bahwa Rasulullah melihat Allah dengan kedua matanya yang mulia,
فَالْحَاصِلُ أَنَّ الرَّاجِحَ عِنْدَ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ رَأَى رَبَّهُ بِعَيْنَىْ رَأْسِهِ لَيْلَةَ الْاِسْرَاءِ
Artinya, “Alhasil, (pendapat) yang unggul menurut mayoritas ulama, bahwa Rasulullah saw melihat Tuhannya dengan kedua mata kepalanya pada malam Isra’.” (Imam Nawawi, Syarhun Nawawi alal Muslim, [Beirut, Darul Ihya’ at-Turats: 1392], juz III, halaman 5).
Senada dengan pendapat Imam Nawawi di atas, Syekh Nawawi Banten juga menyatakan bahwa Rasulullah melihat Allah. Akan tetapi, yang dimaksud dengan “melihat” pada peristiwa itu tidak sebagaimana melihatnya manusia pada umumnya.
Menurutnya, pada peristiwa Isra’ dan Mi’raj Allah memberikan kekuatan pada kedua mata Rasulullah agar mampu melihat-Nya dengan penglihatan yang suci dan layak dengan Dzat-Nya Yang Mahasuci.
Syekh Nawawi juga mengutip pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa yang melihat kepada Allah bukan kedua mata Rasulullah, akan tetapi hatinya.
Allah memberikan kekuatan kepada hatinya agar bisa melihat-Nya sebagaimana penglihatan mata. (Syekh Nawawi, Nurud Zhalam Syarah Manzhumati ‘Aqidatil ‘Awam, [Darul Hawi: 1416 H/1996 M], halaman 152). Demikian penjelasan singkat seputar peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang dilakukan oleh Rasulullah.
Wallahu a’lam bisa shawab. (Albar)