Rumah Bahagia

778

Oleh: Yudi Latif (Cendekiawan Muslim)

Saudaraku, hidup dalam ancaman pandemi memaksa orang terkurung di rumah fisik. Namun, berapa banyak kah yang memanfaatkan momen itu sebagai peluang berpulang ke rumah sejati (fitrah).

Makhluk hidup mengidap sejenis penyakit yang tak bisa disembuhkan kecuali bisa mudik ke “rumah” asal atau menemukan rumah baru, tempat harapan bisa menetas dan berkembang. Itulah nostalgia (nostos = rindu rumah; algos = sakit), berarti homesickness.

Setelah mengembara ribuan mil, kura-kura dan burung pulang ke tempat kelahiran untuk bertelur atau menjalin perkawinan.

Dengan kapasitas otak lebih besar, pengertian pulang bagi manusia tak mesti kembali ke titik sama di muka bumi, tetap bisa saja ke titik fitrah ideal dalam persepsi mental.

Meminjam ungkapan Shoshana Zuboff, “Rumah adalah tempat di mana kita bisa mengetahui dan diketahui, mencintai dan dicintai.

Rumah adalah kemampuan penguasaan, kehangatan percakapan, kerapatan pergaulan, kedamaian pesanggrahan, ruang berkembang, berlindung dan berpengharapan.”

Sebaik-baik rumah dalam imaji Al-Quran adalah rumah sakinah; rumah damai-bahagia yang menyuburkan welas asih sesama anggota keluarga, melebarkan pintu kehangatan pada tetangga, dan meninggikan spiritualitas penghuninya dengan menyatukan diri ke dalam dekapan kasih Ilahi.

Sebaik-baik rumah dalam imaji Bible adalah rumah yang dibangun dengan kebijaksanaan, ditegakkan dengan pengertian, yang setiap kamarnya diisi pengetahuan dengan segala kekayaan keriangan dan kemuliaan. Rumah kebajikan Samaritan yang pintunya senantiasa terbuka penuh cinta untuk yang lain.

Saat langit mendung dirundung bencana wabah, rasa saling percaya pudar dirongrong pengkhianatan, tenunan sosial robek digerus prasangka, kesenjangan meluas dipacu keserakahan, tak ada kerinduan paling menghunjam selain menemukan kembali “rumah bahagia bersama” (home sweet home).

Kebahagiaan rumah tangga jd fondasi kebahagiaan rumah kebangsaan. Demi menyehatkan “rumah kebangsaan”, kita hrs keluar dr politik ketakutan menuju politik harapan. Bahwa ketulusan cinta pelayanan bisa menyuburkan bumi dr ketandusannya.

Mencinta demi menyuburkan berarti tak masa bodoh (tanggung jawab) terhadap tanah air sebagai rumah bersama.

(Makrifat Pagi, Yudi Latif)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here