RMI Ingatkan Terorisme adalah Kejahatan yang Berkedok Agama

606

Kebumen, Muslim Obsession – Maraknya aksi terorisme dalam satu pekan ini membuat keprihatinan banyak orang. Terlebih dengan adanya aksi terorisme yang dilakukan oleh anak perempuan bernama Zakiah Aini (26) di Mabes Polri, Jakarta. Zakiah tergolong anak milenial yang terpapar paham sesat.

Ketua Rabithah al-Ma’ahid al-Islamiyyah (RMI) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kebumen, Jawa Tengah, Gus Fachrudin Achmad Nawawi turut prihatian dengan kejadian teror di Mabes Polri, dimana pelakunya adalah seorang anak perempuan milenial yang masih sangat muda.

Gus Fachrudin mencermati para pelaku teroris ini pasti tidak pernah mengenyam pondok pesantren. Mereka belajar agama secara instant dengan pengatahuan dasar yang lemah atau dangkal. Akibatnya mereka sangat gampang disusupi kejahatan terorisme yang berkedok agama.

“Bunuh diri atau membunuh orang lain adalah ajaran yang sama sekali tidak dibenarkan oleh semua agama dengan alasan apapun. Karena itu saya katakan bahwa terorisme ini sebenarnya hanyalah kejahatan yang berkedok agama,” ujar Gus Fachrudin kepada wartawan, di Kebumen, Jumat (2/4/2021).

Kelompok-kelompok ini memang sengaja mencari orang-orang yang labil, yang tidak pernah nyantri atau mondok di pesantren. Karena dengan pengatahuan agamannya yang dangkal itu, ia mudah disusupi paham radikal. Untuk itu, Gus Fachrudin mengingatkan anak muda untuk berhati-hati dalam memilih guru keagamaan dan mengikuti kelompok kajian agama.

“Ajaran tentang kebangkitan beragama yang mereka bangun tidak pernah diimbangi dengan keseriusan dalam mencari referensi yang kuat. Banyak orang yang belajar agama hanya pada buku, internet, tanpa pembimbing sehingga sangat membahayakan,” terang Gus Fachrudin.

Atau kata dia, sering kali yang dijumpai adalah orang belajar agama kepada para guru yang pemahaman agamanya kurang memadai. Guru atau ustadz tersebut hanya melakukan ‘copy paste’ pemahaman keagamaan dari Timur Tengah untuk diterapkan di Indonesia yang sebenarnya tidak pas karena memiliki latar belakang kondisi dan situasi yang sangat berbeda.

“Sehingga sering kali yang kita jumpai bahwa orang jahat adalah orang lugu yang salah guru. Sering kali orang menjadi jahat karena salah memilih ustadz. Apalagi memang kelompok-kelompok seperti itu sangat lihai memengaruhi calon korban untuk direkrut,” jelasnya.

Lebih lanjut Gus Fahruddin mengatakan, bahwa keterpaparan generasi muda atau anak milenial terhadap paham-paham membahayakan sangat tinggi. Selain karena salah pilih ustadz, hal tersebut juga bisa terjadi terjadi karena banyaknya sumber informasi yang bisa diakses tanpa filter.

“Banyak media yang bisa menjadi perantara transfer paham kekerasan, termasuk cara-cara melakukan kekerasan itu sendiri. Sama sekali tak ada saringan. Banyak orang yang menelan mentah-mentah semua pemahaman itu tanpa difilter atau ditanyakan lagi kepada orang yang lebih ahli. Ini sangat berbahaya,” tandasnya.

Untuk mencegah samakin meluasnya paham radikal yang masuk dalam kalangan milenial, Gus Fachrudin mengimbau kepada orangtua agar turut memantau dan mengawasi gerak gerik atau prilaku anaknya. Khususnya mengatahui cara mereka dalam memahami agama ini.

“Perlu juga peran serta orangtua untuk mengawasi dan mengontrol anaknya. Orangtua harus tahu si anak ini ngaji atau belajar agamanya ke siapa? Cara pemahaman agamanya seperti apa? Aktivitas sosialnya seperti apa? Dengan siapa saja? Kalau ada tanda-tanda senang menyalahkan atau mengkafirkan orang lain, berarti sudah ada tanda-tanda anak terpapar paham radikal,” terangnya.

Kalau mau belajar agama, Gus Facruddin sarankan belajarlah kepada kiai-kiai atau ulama NU, baik di pondok pesantren, majelis taklim maupun ngaji di media sosial. Ia pastikan, kiai-kiai atau ulama-ulama NU tidak ada yang mengajarkan paham radikal. “Karena tidak ada tempat di NU bagi orang-orang yang berpaham radikal,” tandasnya. (Albar)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here