Ki Hajar Dewantara: Seandainya Aku Seorang Belanda

Muslim Obsession - Mari kita mengenal lebih jauh sosok istimewa Ki Hajar Dewantara. Potret lelaki berpeci hitam itu bahkan diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun edisi 1998. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau Suwardi Suryaningrat adalah nama aslinya. Namun, sejak 1922 diubah menjadi Ki Hadjar Dewantara atau Ki Hajar Dewantara. Beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro. Aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia itu lahir di Pakualaman, 2 Mei 1889. Ia juga merupakan seorang kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ki Hajar Dewantara adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Sukarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959).
Als ik een Nederlander was Salah satu tulisan Ki Hajar Dewantara yang paling fenomenal hingga membuatnya ditangkap ialah berjudul "Seandainya Aku Seorang Belanda" dengan judul asli: "Als ik een Nederlander was". Ceritanya, sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Ki Hajar Dewantara. Tulisan yang dirasa pedas sekali di kalangan pejabat Belanda tersebut, dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan Ernest Douwes Dekker (DD), 13 Juli 1913. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut:
Ki Hajar Dewantara berasal dari lingkungan keluarga Kadipaten Pakualaman, putra dari GPH Soerjaningrat, dan cucu dari Pakualam III. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tetapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial. Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya. Ki Hajar Dewantara muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh DD. Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij, Soewardi diajaknya pula. Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, Ki Hajar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959). Ia kemudian meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959 pada umur 69 tahun dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata.

- "Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".

Dapatkan update muslimobsession.com melalui whatsapp dengan mengikuti channel kami di Obsession Media Group