Rajab

1654

Oleh: Chavchay Syaifullah
(Sastrawan dan Budayawan. Direktur Eksekutif Rifa’i Center (RICE). Alumni Pesantren Daar el Qolam, Jayanti, Tangerang, Banten dan Pesantren Raudhoh al Hikam, Cibinong, Bogor, Jawa Barat)

Suka tidak suka, Rajab hingga kini masih menjadi satu dari sekian kontroversi dalam Islam, terutama menyangkut keutamaan-keutamaan ibadah sunnah yang terekam dalam sejumlah hadits. Sebagian kalangan yang melihat Rajab sebagai bulan agung yang suci dan tenang, meyakini hadits yang menegaskan “Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku” merupakan petunjuk awal untuk menegaskan keutamaan-keutamaan Rajab lainnya, bahkan sampai pada larangan perang selama Rajab. Rajab harus suci dan tenang.

Kalangan lainnya yang merasa tidak suka Rajab begitu diagungkan, bukan hanya melihat Rajab sebagai bulan biasa saja seperti bulan-bulan lainnya, melainkan akhir-akhir ini mereka semakin gencar mengkampanyekan hadits-hadits tentang Rajab adalah hadits palsu, sehingga ibadah-ibadah yang lahir dari hadits-hadits palsu merupakan bid’ah.

Barangkali inilah episode kehidupan beragama kita, ketika semua kebaikan harus dibeli dengan dalil, terjelaskan secara tekstual dalam penjabaran naqli, dan bersumber pasti dari Alquran dan hadits. Transaksi kebaikan hamba dan Allah bukan saja menjadi ketat dan kaku, melainkan Islam menjadi sebuah ruang yang pengap, tak ada pentilasi yang terbuat dari akal budi dan pipa-pipa penyaluran kerinduan umat pada Allah dalam ekspresi yang justru menguatkan jiwa kemanusiaan dalam keberIslamannya.

Ini seringkali terjadi, bukan hanya pada persoalan Rajab. Persoalan-persoalan furu’iyyah dalam Islam kerapkali ditajamkan hingga menjadi pisau yang bisa saja menikam saudaranya sendiri. Di sisi lain ketika substansi dari agama dilakukan dan menyentuh pada pengangungan Tuhan dan penghormatan pada marwah manusia, selalu dipersoalkan basis dalil naqlinya. Kenapa akhir-akhir ini repot sekali prosedur yang ditawarkan para “tokoh” Islam kepada manusia yang ingin berbuat baik? Inilah poin kecil yang perlu kita renungkan bersama.

Kembali ke soal Rajab. Ketika sudah banyak hadits Rasulullah bicara tentang keutamaan ibadah di bulan Rajab dan ketika para ulama sudah mengurai rinci penjelasan hadits-hadits berkenaan dengan Rajab, saatnya para pencari Allah bisa memahami perdebatan para ulama sebagai rahmat. Setidaknya, hadits-hadits yang dituduhkan palsu itu, bisa didialogkan dulu pada bangunan syariat dan aqidah Islam secara yang lebih utuh.

Misalnya, ketika hadits-hadits tentang Rajab yang dituduh palsu itu menyerukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat dan aqidah Islam secara keseluruhan dan menghancurkan tatanan kehidupan umat manusia, maka tinggalkan. Tak ada alasan untuk diikuti.

Tinggalkan kalau ada hadits tentang Rajab yang menyerukan bahwa selama Rajab sebaiknya umat Islam berperang meski tanpa alasan, putuskan tali silaturahmi dengan sesama manusia, musuhi orangtua, hancurkan masjid dan makmurkan gua, tinggalkan anak-anak yatim, hinalah peminta-minta, ganti shalat wajib dengan ibadah-ibadah tertentu yang hanya ada dalam Rajab, dll.

Tinggalkanlah kalau ada hadits-hadits tentang Rajab dengan seruan-seruan semacam itu. Selain bertentangan dengan syariat Islam, cita rasa kemanusiaan yang bersemayam pada akal budi dan hati nurani, sudah lebih dulu menolaknya.

Tapi nyatanya penjabaran hadits-hadits tentang Rajab yang dituduhkan palsu, hanya karena persoalan isnad, bukan pada matan yang justru menegaskan seruan-seruan ibadah sunnah selama Rajab. Apalagi seruan itu masih sebatas pada ibadah-ibadah yang konvensional seperti zikir, puasa, umroh, dan sedekah.

Palsu yang dikampanyekan itu, rupanya palsu yang tidak disebabkan karena isi haditsnya bertentangan dengan syariat dan aqidah Islam, melainkan palsu yang disebabkan ada pendapat beberapa ulama terdahulu yang meragukan integritas salah satu perawi dari sekian banyak hadits tentang Rajab.

Misalnya, Imam Ibnul Jauzi, Imam As Shaghani, dan Imam As Suyuthi dalam kasus hadits yang berbeda menilai perawi seperti Yusuf bin Athiyah, Abu Bakr an-Naqasy dan al-Hafidz Abul Fadhl Muhammad bin Nashir berstatus dhaif, di saat lainnya kadang mungkar. Sementara ulama-ulama lainnya berpandangan lain.

Namun uniknya, perbedaan-perbedaan ulama terdahulu itu, kenapa tidak menjadi rahmat bagi kita saat ini? Kenapa perbedaan itu malah semakin melahirkan sikap yang berlebihan, sampai orang-orang yang merayakan Rajab dengan ibadah-ibadah sunnah dicap sebagai bid’ah dan sesat? Ada apa dengan kita dalam mempelajari Islam? Kenapa kita senaif itu?

Baik, mari kita jadikan tesis “Rajab adalah bulan Allah” sebagai logika atau kata kunci yang kita pegang untuk menyibak tirai keutamaan-keutamaan Rajab selanjutnya. Kita uji dampak daripada tesis tersebut. Karena “Rajab bulan Allah”, maka di bulan Rajab kita harus memberikan sesuatu yang terbaik kepada Allah.

Jika kita memberi kebaikan kepada Allah secara benar, maka kebaikan itu pasti akan berpengaruh baik pada kemanusiaan dan kehidupan umumnya, sebab Islam juga agama kemanusiaan untuk menjaga kebaikan kehidupan yang telah diciptakan Allah.

Dengan pengakuan “Rajab sebagai bulan Allah”, maka ada sesuatu yang paripurna, luar biasa besar, dan sangat tersembunyi di dalam Rajab. Dengan begitu menjadi pantas bila banyak hadits tentang Rajab menyerukan ibadah-ibadah sunnah, dimulai dari memperbanyak zikir, istigfar, puasa, umroh, menyantuni yatim, berlaku baik pada kaum miskin dan peminta-minta, hingga merefleksikan peristiwa penting dalam Islam yang di luar nalar, yakni Isra Mi’raj.

Kerja akal untuk menembus rahasia Allah tentang Isra Mi’raj di bulan Rajab, terpaksa harus ditunda, sambil kita membuka dialog hati yang paling telanjang bahwa kita adalah hamba Allah yang lemah tak berdaya, namun terlalu yang banyak dosa dan keangkuhan, serta rakus pada dunia.

“Rajab bulan Allah.” Lalu mau kita maknai apa lagi kebanggaan Allah pada Rajab? Kalau Allah begitu bangga pada Rajab, lalu kita masih mau cari dalil untuk mencari tahu keutamaan-keutamaan Rajab? Atau jangan-jangan selama ini kita memang sulit percaya pada Allah, pada kuasaNya, pada kebenaranNya.

Maka tesis “Rajab bulan Allah” yang pada akhirnya menguatkan syariat Islam lainnya dan berfungsi baik bagi kemanusiaan, menjadi satu kebaikan tersendiri. Dengan demikian, bulan-bulan lainnya tinggal ditegaskan dalam batin keberIslaman kita sebagai “bulan Allah” juga, sebagai motivasi kuat untuk melakoni kebaikan-kebaikan besar di waktu-waktu berikutnya.

Kita tidak perlu repot memahami Rajab, seperti kita tidak perlu repot mengakui bahwa kita memang mesti rajin berzikir, beristighfar, berpuasa, menyantuni yatim, serta berbuat baik pada kaum miskin dan peminta-minta.

Kita juga tidak perlu repot meyakini apa benar peristiwa Isra Mi’raj itu begitu cepat dan dahsyat, seperti kita cukup mengakui tanpa syarat bahwa Allah adalah Tuhan Maha Kuasa dan berkuasa penuh atas apa yang diinginkanNya.

Mumpung kita sedang di bulan Rajab, mari kita kembali menggali informasi hal ihwal Rajab? Apa artinya secara bahasa? Kenapa harus bernama Rajab? Pelajarilah ayat-ayat Alquran yang bertalian dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di bulan Rajab? Bagaimana bunyi hadits-hadits tentang keutamaan Rajab?

Apakah kita sudah meningkatkan ibadah-ibadah sunnah di bulan Rajab? Apakah di bulan Rajab tahun ini kita sudah meningkatkan pengetahuan kita tentang hubungan mesra Allah dan anak-anak yatim? Lalu bagaimana sikap kita terhadap anak-anak yatim itu?

Apakah semakin bertambah umur kita, pengetahuan kita tentang rahasia Isra Mi’raj sudah bertambah? Kenapa hanya Nabi Muhammad yang diizinkan Allah menembus sidrat al muntaha? Kenapa Nabi Muhammad dihadiahkan shalat lima waktu dalam peristiwa Isra Mi’raj?

Bagaimana sikap kita dalam membuktikan cinta kita kepada Nabi Muhammad setelah Allah telah membuktikan cintaNya pada Nabi Muhammad dalam peristiwa Isra Mi’raj di bulan Rajab itu? Apakah di bulan Rajab tahun ini kita sudah mengevaluasi hal-hal yang membuat kita malas-malasan mendirikan shalat lima waktu dengan baik dan benar?

Kenapa ada orang yang senang mencap sesat dan bid’ah kepada orang-orang yang menyambut Rajab dengan penuh kemesraan ruhani? Kenapa ada orang yang senang menghalangi ibadah-ibadah sunnah ditegakkan secara kolosal di bulan Rajab? Apa salahnya banyak orang beristighfar di bulan Rajab?

Apa salahnya banyak orang berpuasa sunnah di bulan Rajab? Apa salahnya banyak orang bersedekah pada yatim dan miskin di bulan Rajab? Padahal semua itu adalah jalan bagi Islam melahirkan individu-individu yang shaleh?

Di zaman kemajuan pesat teknologi komunikasi dan informasi, yang semakin memudahkan orang untuk berbuat kejahatan secara massif dari ruang-ruang individu, agama dan perangkat-perangkat nilainya harus menjadi benteng yang tangguh untuk menjaga peradaban manusia.

Individu-individu perlu dicerahkan dengan agama, maka jalan menuju agama jangan terlalu lama diputar-putar, sehingga jangankan mencapai puncak nilai-nilai agama, bertahan di pinggirannya pun, orang-orang awam khususnya kaum muda, akan jengah.

Islam, sekali lagi, semakin ditantang menjadi agama yang mengerti semangat zaman. (###)

BAGIKAN

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here