Rahmatan Lil ‘Alamin

1837

Oleh: Ustadz Buchory Muslim (Ketua LKPI PP Parmusi)

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tiadalah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam,” (QS. Al-Anbiya: 107).

Rahmatan lil ‘álamïn (rahmat bagi alam semesta) adalah frasa populer yang sering kita dengar, baik dari mimbar-mimbarnya para ulamá juga podiumnya para intelektual dan pejabat.

Dari narasumber talk-show ketika menggambarkan salah satu karakter atau prinsip utama Islam sebagai agama yang merangkul atau mengayomi semua pihak dan dalam semua hal, juga biasa disuarakan.

Frasa ini biasanya makin lantang dikumandangkan di berbagai mimbar dan forum tiap kali muncul aksi kekerasan yang bernuansa keagamaan.

Apa sesungguhnya makna Rahmatan lil ‘alamin?

Secara etimologis, kalimat itu terdiri dari tiga bagian: kata “Rahmat” رحمة (rahmat atau anugerah atau kasih), huruf “Li” – ل (untuk), dan kata “’alamin” العالمين (bentuk plural dari kata alam yang berarti seluruh alam).

Secara terminologi, dalam ilmu kalam (teologi Islam), kata alam (العالمين) didefinisikan “segala sesuatu selain Alláh”, yang mencakup seluruh makhluk hidup dan benda (padat dan cair) serta makhluk/ciptaan abstrak.

Karena itu, pengertian dasar frasa rahmatan lil ‘álamin adalah bahwa Islám merangkul atau mengayomi semesta dan segala isinya, tanpa kecuali. Ketika makna ini didefinisikan atau dijabarkan sampai di sini, tidak ada persoalan.

Tak ada yang mempermasalahkan dalam merealisasikan atau mengimplementasikan prinsip rahmatan lil ‘álamïn itu secara benar dan tepat.

Misalnya memahami sejelas-jelasnya makna kata rahmat. Dan ini adalah hal paling mendasar dalam proses pembelajaran. Bukan sekadar pemahaman etimologis (kajian kebahasaan), tapi juga pemahaman terminologis (defenitif), yang dikombinasikan dengan faktor historis.

Pemahaman bahasa terhadap suatu kata yang bersifat umum, juga tidak selalu mudah. Karena itu, ada beberapa metode, antara lain, memahami sebuah kata dengan cara menyandingkan sebuah kata yang ingin dipahami (dalam hal ini rahmat) dengan kata kontrasnya.

Artinya, tidak rahmat adalah semua tindakan yang bersifat kejam, keras, tidak manusiawi, intoleran, memecah belah.

Namun dalam proses pemahaman dan pemaknaan tentang kejam, keras, tidak manusiawi, intoleran dan pemecah balahan tersebut, harus mengacu pada aturan atau prinsip yang jelas.

Jika tidak, tiap orang akan cenderung memahaminya sesuai kehendak, pengalaman dan pengetahuannya. Kalau ini dibiarkan, akan memicu perdebatan yang tak ada awal – akhir atau ujung – pangkalnya.

Karenanya, di dalam Islám, untuk mecegah terjadinya pemahaman dan implementasi yang ngawur apalagi melenceng terhadap suatu prinsip yang bersifat umum dan fleksibel, umumnya dibingkai dalam acuan yang jelas, yaitu syariat.

Wallahu a’lam bish shawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here