Oleh: Sulaeman Jazuli (Dosen UIN Banten)
Bicara Ihwal qurban, tak ubahnya ibarat kidung lawas yang telah renta usianya di atas panggung peradaban manusia di tatar bumi ini. Sejarah resmi mencatat, bahwa ada dua model qurban yang diperankan oleh keluarga sekaligus. Pertama, kakak beradik antara Qabil dan Habil, kedua ayah-anak antara Ibrahim dan Ismail.
Dari dua model qurban di atas, ternyata yang lebih dipublish oleh Allah adalah kisah qurban Qabil dan Habil. Sebagai fakta yuridis, terbukti dengan intruksi-Nya kepada Nabi kita ﷺ bernomor 27/5/al-Maidah/Al-Quran yang berbunyi:
“Bacakan (paparkan) olehmu -wahai Muhammad- kepada mereka dengan benar (objektif) tentang kisah dua putera Adam ketika mereka berqurban. Salah satu qurban mereka diterima (Habil) sementara qurban yang lainnya (Qabil) tidak diterima (ditolak) . Dia (Qabil) berkata, “Serius engkau akan aku bunuh”. Dia (Habil) berkata, “Sungguh Allah hanya menerima qurban dari kelompok orang-orang yang bertakwa “.
Padahal, andai dipotret dari lensa rentang jarak di satu pihak dan dari kekentalan gaya tarik emosional keagamaan (milah ibrahimiyyah) di pihak lain, adalah lebih tepat beliau ﷺ memaparkan ke ruang publik (umat) tentang kisah Qurban Ibrahim dan Ismail. Namun apapun wujudnya, bahwa di balik intruksi tersebut pasti menyajikan tema pembelajaran (hikmatu al-tasyri’) yang sangat berharga .
Baik Qabil, maupun Habil secara riil keduanya telah menyerahkan kepemilikan harta mereka sebagai wujud persembahan kepada Dzat Yang Maha Kuasa, Allah SWT. Oleh karena itu, Allah secara tegas menyebutnya dengan terminologi “berqurban”, sebagaimana tercover dalam pernyataan-Nya “إذ قربا قربانا” (ketika mereka berdua-Qabil dan Habil-berqurban).
Kendati tentu dalam latar realitasnya yang berbeda. Habil representasi sosok individu shalih, ia berqurban dengan seekor domba besar, bagus, mulus dan sehat. Dan di atas segalanya juga dikonstruksi dengan semangat niat yang tulus dan ikhlas. Sementara Qabil representasi sebaliknya (orang jahat), ia berqurban dengan hasil pertanian yang berkualitas buruk, plus tidak disertai dengan niat yang tulus dan ikhlas (penuh keterpaksaan dan kepura-puraan).
Maka otomatis, Qurban Habil-lah yang diterima oleh Allah, sedang qurban Qabil ditolak oleh-Nya. Dengan demikian, Qurban mereka (Qabil dan Habil) benar-benar realitas: faktual dan empirik.
Akan halnya qurban Ibrahim dan Ismail, lebih tendensi ke area idealitas: teoritik dan filosofistik. Sebab secara faktual dan empirik sesungguhnya tidak pernah terjadi. Intruksi Allah kepada Ibrahim supaya ia berqurban dengan cara menyembelih anak semata wayangnya yang paling ia cintai-Ismail-, ditarik kembali oleh-Nya.
Andaipun kemudian diganti dengan seekor domba besar, itu hanya sebatas kebijakan susulan yang tidak subtantif (sebagai peran pengganti), di samping terbangun di luar inisiatif dan repleksi kesadaran mereka. Tegasnya, itu lebih terfokus dan terkonsentrasi pada “test case”dan eksperimen Allah semata untuk menguji sejauh mana mentalitas, sensitivitas, militansitas serta kualitas iman Ibrahim dan Ismail. Dan itu semua telah terjawab oleh mereka. Oleh karenanya, ini benar-benar sudah masuk kawasan maqam suprateologis yang luar biasa (highest class).
Karena idealitas, teoritik dan filosofistik dimensinya, maka qurban Ibrahim dan Ismail relatif jelimet. Berbeda dengan qurban Qabil dan Habil yang realitas, faktual dan empirik, tampak datar dan lugas. Sehingga menggiring pembelajarannya pun, tidak ribet-sangat kompromis. Sesuai dengan konsep شرع من قبلنا , juntrung pembelajaran yang bisa digiring darinya-antara lain-sebagai berikut :
Pertama, secara fisik. Qurban mesti diwujudkan dengan materi yang ideal. Seperti yang dilakukan oleh Habil. Ia berqurban dengan seekor domba besar yang bagus, mulus dan sehat. Jangan meniru seperti yang dilakukan Qabil.
Ia berqurban dengan hasil pertanian yang berkualitas buruk. Dan dikemudian hari dipraktikkan oleh Rasul ﷺ dimana setiap beliau berqurban selalu dengan hewan qurban yang ideal seperti berkriteria di atas. Beliau juga melarang berqurban dengan hewan qurban yang tidak ideal, seperti benar-benar kurus, buta, sakit dan pincang.
Kedua, secara mental. Di samping dengan materi qurban yang ideal dan berkualitas, di atas segalanya juga harus dilandasi dengan semangat niat yang tulus dan ikhlas, seperti yang dilakukan oleh Habil. Jangan seperti yang dilakukan Qabil. Di samping qurbannya dengan materi yang tidak ideal, juga tidak dilandasi dengan niat yang tulus dan ikhlas (penuh kepura-puraan dan keterpaksaan).
Ketiga, yang namanya berqurban, dipastikan tidak akan pernah sepi dari genderang tantangan dan rintangan. Dan tantangan serta rintangan tersebut, acap muncul dari lingkup intern, seperti yang dialami dan dirasakan Habil ketika mesti berhadapan dengan arogansi saudaranya sendiri-Qabil-. Untuk itu mesti tabah dan cerdas dalam menghadapinya.
Terakhir, pada momen Idul Adha 1444 H. yang penuh berkah ini, yang paling urgen dan mendesak untuk diwujudkan adalah “Qurban Realitas”, bukan “Qurban Idealitas”. Mengingat kafilah kaum dhuafa-khususnya-kini mereka tengah berjejer dalam antrian panjang untuk mendapatkan jatah daging qurban dari kita sebagai “protein hewani “untuk mereka santap demi perbaikan gizi.
“Sungguh Allah telah memberikan kamu Muhammad nikmat yang besar. Untuk itu, dirikan shalat dan “sembelilah hewan qurban”. Sungguh orang yang membenci kamu, pasti terputus-binasa-“, (QS. Al-Kautsar: 1-3).
Yuk, mari berqurban!!!
والله أعلم بالصواب