Prabowo Marah Meninju Meja, Para Ulama Terperangah (Bag-2)

30011
Ketua Umum Parmusi H. Usamah Hisyam saat membangun komitmen dengan Habib Rizieq Shihab di Makkah akhir Desember 2017 untuk mewujudkan izzul Islam wal muslimin dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Menurut hemat saya, Prabowo Subianto adalah capres yang sangat tepat bila mana diusung oleh koalisi partainya dengan memprioritaskan paradigma kebangsaan. Karena karakter yang dimiliki Prabowo tak lagi diragukan. Nasionalisme Prabowo secara jujur harus diberi acungan jempol. Baik latar belakang keluarga, keagamaan, pemikiran, dan sikap perilaku kesehariannya. Apalagi sebagai prajurit TNI, Prabowo tidak akan mungkin memihak ke kanan, apalagi ke kiri. Sudah tertanam dalam jiwa korsa prajurit TNI untuk tetap berada di tengah-tengah. Ibarat jangkar kapal, ia tak akan goyah mengikuti arah ombak.

Masalahnya, dalam konteks capres yang direkomendasikan oleh PA 212, Prabowo ditempatkan dalam paradigma keagamaan yang harus diperjuangkan melalui forum ijtima’ ulama. Bila kita bicara soal figur calon Presiden yang harus direkomendasikan dalam sebuah ijtima’ ulama, maka kriteria figur yang akan direkomendasikan haruslah memprioritaskan figur yang mendekati nilai-nilai syar’i, sesuai syariat Islam, sesuai Al-Quran dan As-Sunnah. Kecuali kita tidak menggunakan forum ijtima’ ulama, maka tak ada masalah.

Oleh sebab itu, pertanyaan saya sederhana. Bukankah dalam tafsir QS. Al-Maidah 51 (Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai auliya), yang harus kita perjuangkan dalam memilih pemimpin (negara) adalah pemimpin muslim? Pertanyaan berikutnya, “pemimpin muslim” itu apakah “pemimpin muslim minimalis” ataukah “pemimpin muslim kaffah”? Sejumlah kawan, dai, ustadz, dan ulama menjawab: “pemimpin muslim kaffah”.

Bila memang “pemimpin muslim kaffah”, maka yang menjadi pertimbangan utama ijtima’ ulama adalah figur yang akan direkomendasikan haruslah mencerminkan seorang muslim kaffah.

Seorang muslim kaffah, begitu telah mengucapkan “laa ilaaha illallahu muhammaddurrasulullah” wajib untuk melaksanakan perintah Allah dan wajib melaksanakan larangan Allah. Perintah Allah dalam rukun Islam yang utama adalah taat melaksanakan shalat lima waktu, taat berpuasa, taat berzakat, (pernah) berhaji bagi yang mampu, dan teguh dalam meyakini rukun iman, yang bersumber dari kalimat tauhid.

Dengan demikian, kalau saja calon pemimpin shalatnya saja lemah, bagaimana mungkin dia akan mengajak warganya untuk menegakkan shalat? Kalau Shalat Subuh di masjid saja tak pernah, bagaimana mungkin mau bicara tentang kejayaan masa depan Islam? Karena menurut saya, ukuran keislaman seseorang dalam hal peribadatan nomor satu adalah Shalat Subuh di masjid.

Apalagi kalau berpuasa saja tidak pernah, bagaimana mungkin dapat diyakini dia akan berjihad fi sabilillah? Menyeru amar makruf dan nahi munkar? Demikian pula, kalau kita tak pernah tahu di mana dia melakukan Shalat Tarawih di bulan Ramadhan, bagaimana mungkin kita bisa meyakini bahwa dia akan taat terhdap firman-firman Allah?

Belum lagi bila kita bicara kemampuan membaca Al-Quran. Bagaimana mungkin seorang pemimpin dapat mengajak warganya untuk menaati kitabullah, bilamana dia tak bisa mengaji atau membaca Al-Quran? Bagaimana mungkin dia bisa membacakan ayat-ayat Allah, memberikan hikmah contoh keteladanan?

Bahkan bilamana kita harus menggunakan sifat-sifat Rasulullah sebagai acuan pemimpin muslim, yakni shidiq, amanah, fathonah, tabligh, maka suatu keputusan ijtima’ ulama harus dibahas secara sungguh-sungguh berdasarkan standar nilai-nilai Al-Quran dan As-Sunnah, tak boleh asal mengeluarkan rekomendasi sebagaimana ijtima’ politik. Kalau saja rekomendasi itu keliru, tidak tepat, maka kita yang turut memutuskan dan melakukan sosialisasi akan diminta pertanggung jawabannya oleh Allah subhanahu wa ta’ala di Yaumil Akhir.

1 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here