Prabowo Marah Meninju Meja, Para Ulama Terperangah (Bag-2)

30009
Usamah Hisyam
Mantan Anggota Dewan Penasihat PA 212, H. Usamah Hisyam. (Foto: Edwin B/Muslim Obsession)

Oleh: H. Usamah Hisyam (Mantan Anggota Dewan Penasihat PA 212)

 

Begitulah proses panjang dan berliku-liku upaya yang saya lakukan untuk mencari titik kompromi antara HRS dan Presiden RI. Tak ada yang meminta, atau membuat skenario. Semua atas inisiatif saya, tetapi kedua belah pihak tidak mempersoalkannya. Tak ada pihak ketiga, apalagi Surya Paloh, yang menurut tulisan Djadjang Nurdjaman, memberikan keuntungan finansial kepada saya.

Sejak saya terlibat Aksi 411 dan bahkan organisasi yang saya pimpin, Parmusi (Persaudaraan Muslimin Indonesia) terdepan dalam gerakan Aksi Bela Islam (ABI) di depan Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang digelar di Departemen Pertanian Jakarta Selatan, hubungan komunikasi dengan Surya Paloh merenggang. Bahkan sekitar sembilan bulan terputus, tak pernah berkomunikasi apalagi bertemu.

Sebagai pemimpin organisasi pergerakan Islam, Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) –yang kelahirannya merupakan reinkarnasi Partai Masyumi, dan sejak menjadi ormas pada 1973 hingga kini melalui deklarasi kembali pada 26 September 1999, Parmusi (Persaudaraan Muslimin Indonesia) mewarisi cita-cita perjuangan Masyumi.

Salah satu peninggalan terbesar tokoh Masyumi, Mohammad Natsir, adalah Mosi Integral Natsir awal tahun 1950 di parlemen, yang mempersatukan kembali RIS (Republik Indonesia Serikat) sehingga melahirkan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) hingga sekarang. Karena itu, sebagai Ketua Umum Parmusi adalah kewajiban sejarah dan juga kewajiban konstitusi bagi saya untuk tetap mempertahankan dan mempersatukan bangsa dan negara dalam naungan NKRI, terutama umat Islam. Adalah kewajiban juga bagi saya untuk mengupayakan terbangunnya komunikasi yang kondusif para elit negara, termasuk para tokoh Islam dan ulama dengan pemerintah, dalam hal ini Presiden RI.

Demikian pula dalam persoalan kepemimpinan negara ke depan, saya memiliki pandangan pribadi yang sangat prinsipil. Bila mana kita menempatkan suatu persoalan (kepemimpinan negara) dengan memprioritaskan paradigma keagamaan, hendaknya kita konsisten dan konsekuen dalam koridor nilai-nilai paradigma keagamaan tersebut. Sebaliknya, kalau kita menempatkan suatu persoalan (kepemimpinan negara) dengan memprioritaskan paradigma kebangsaan saja, ya kita pun harus bersikap konsekuen.

1 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here