Perdamaian yang Egoistik

439

Oleh: Imam Shamsi Ali (Presiden Nusantara Foundation)

Tanggal 21 September adalah hari pertama Sidang Majelis Umum PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) New York. Acara yang lebih dikenal dengan United Nations General Assembly (GA) ini menghadirkan kepala-kepala negara, Kepala pemerintahan atau yang mewakilinya termasuk Menlu dari negara-negara anggota PBB.

Pada hari yang sama juga diperingati apa yang disebut dengan Internationl Day of Peace at UN. Atau peringatan hari perdamaian PBB. Kegiatan ini tentu diinisiasi oleh berbagai organisasi non pemerintah atau NGO (Non Governmental Organizations) yang berafiliasi dengan PBB.

Kebetulan hari ini kegiatan itu dipusatkan di Interchurch Center at UN. Sebuah gereja mungil tapi mayshur (populer) yang terletak persis di seberang gedung pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa di kota New York. Kebetulan sejak awal ketibaan saya di kota New York saya telah beberapa kali diundang menjadi pembicara tamu di gerej ini.

Siang ini saya kembali akan hadir menjadi salah satu pembicara tamu pada acara tersebut di atas. Menghadirkan tokoh-tokoh agama senior di kota New York acara ini sekaligus menjadi pengganti acara “Breakfast Prayer” yang menjadi tradisi diplomatik sebelum pembukaan Sidang Majelis Umum PBB.

Dalam presentasi singkat saya, sebelum menyampaikan doa secara Islam, saya memulai dengan cerita kejadian ketika terjadi serangan 9/11 di kota New York 20 tahun silam. Bagaimana seorang sopir yang tidak mengenal saya memaki-maki Islam. Dan bagaimana pula seorang tetangga yang telah mengenal saya datang dan memeluk saya seraya berkata: “saya tidak percaya jika serangan ini dilakukan oleh orang-orang Islam seperti anda”.

Kisah ini menyampaikan pelajaran penting betapa “ignorance” (ketidak tahuan) menjadi dasar utama kebencian bahkan kekerasan yang terjadi dalam hidup manusia. Karenanya ketidak tahuan atau ignorance harusnya menjadi musuh bersama manusia. Apalagi dalam konteks media yang kerap tidak jujur dalam menyampaikan realita.

Salah satu wujud kebodohan manusia itu adalah ketidak tahuan tentang dirinya. Manusia pada umumnya salah defenisi atau mendefenisikan dirinya secara salah atau minimal secara parsial. Seolah manusia itu adalah wujud material atau fisikal (material atau physical being) semata. Dan karenanya manusia kemudian menjadikan materi dan jasad sebagai pusat kehidupannya.

Cara pandang manusia yang seperti itu yang melahirkan pandangan hidup yang materialisitk. Atau lebih dikenal dengan pandangan hidup “materialisme” yang bertumpu pada kekuatan kapital (kapitalisme).

Manusia sejatinya bukan (hanya) wujud material. Wujud manusia Sesungguhnya ada pada hatinya. Realita ini dalam Islam lebih dikenal dengan “fitrah” yang sekaligus menjadi Identitas dasarnya. Identitas yang bersifat abadi (laa tibdiila) walau sering tersembunyikan (covered) oleh ego manusia.

Kebodohan lain dari manusia adalah cara pandang terhadap keyakinan beragamanya yang kurang pas. Seringkali agama kita pandang sebagai “tumpukan ritual” yang bersifat seremonial.

Esensi agama itu ada pada upaya untuk menjaga fitrah manusia. Dan karenanya agama secara esensi sejalan dengan fitrah manusia. Ketika agama tidak sejalan dengan fitrah maka itu bukan agama. Bahkan agama itu identik dengan fitrah: “Fitrah Allah yang dengannya manusia diciptakan. Itulah yang agama yang lurus” (At-Rum).

Karena fitrah manusia itu relevansinya dengan spiritualitas, seperti yang disebutkan di atas, maka esensi agama itu ada pada aspek spiriatulias (ruh). Semua amalan agama yang ada, termasuk di dalamnya amalan-amalan ritual bahkan hukum-hukum yang terkait, bertujuan untuk menguatkan spiritualitas manusia.

Dangkalnya spiritualitas dalam beragama menjadikan agama seolah naif membangun karakter manusia yang berakhlakul karimah. Termasuk di dalamnya karakter damai. Manusia nampak taat beragama. Tapi justeru terhalang oleh simbol-simbol beragama. Esensinya (ruh) sangat dangkal.

Beragama seperti ini kerap melahirkan penampakan yang paradoks. Nampak beragama di satu sisi. Tapi juga nampak sangat anti agama dan ada sisi lain. Termasuk di dalamnya beragama tapi membenci dan melakukan kekerasan kepada sesama manusia.

Perdamaian yang egoistik

Hal lain yang saya tekankan dalam presentasi singkat saya adalah pentingnya “peace” (Perdamaian) dibangun secara sosial. Bahwa “peace must begin with me” (Perdamaian harus bermula dengan saya) penting. Tapi kedamaian pada diri sendiri jika tidak diterjemahkan ke dalam hidup sosial akan menjadi “Perdamaian yang egoistik”.

Saya Secara pribadi bisa merasakan damai dan Perdamaian. Saya bisa damai dengan Pencipta saya, dengan diri dan lingkungan saya. Tapi apakah lingkungan sosial saya merasakan hal yang sama?

Di dunia yang penuh dengan ketidak pastina saat ini, saya melihat pentingnya mewujudkan Perdamaian tidak lagi (atau tidak saja) pada tingkatan emosi (rasa). Tapi bagaimana rasa itu dapat diwujudkan minimal ke dalam tiga hal:

Satu, kebutuhan mendesak untuk mewujudkan kemakmuran bagi semua. Bahwa kedamaian yang dirasakan oleh mereka yang kelaparan boleh saja hanya bersifat sesaat dan eksidental. Ada masa-masa rasa damai itu berbalik menjadi prilaku buas.

Dua, bahwa Perdamaian sejati tidak akan terwujud ketika ketidak adilan masih mendominasi dunia kita. HAM, termasuk kebebasan dan kemerdekaan ditafsirkan berdasarkan kepada kepentingan orang-orang tertentu. Tegakkan keadilan sosial demi terwujudnya Perdamaian yang berkesinambungan (sustainable peace).

Tiga, salah satu bentuk ancaman kepada Perdamaian hidup manusia adalah ancaman kerusakan lingkungan atau lebih dikenal dengan “climate change”. Karenanya bahagian dari aktualisasi Perdamaian harusnya dengan Membangun komitmen bersama dalam menjaga lingkungan (environment).

Itulah beberapa poin pokok yang saya sampaikan dalam acara memperingati Hari Perdamaian Internasional (World Day of Peace) di kota New York. Semoga menyadarkan!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here