Jakarta, Muslim Obsession – Dalam pengajian ekonomi yang diselenggarakan oleh Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) secara daring, kali ini mengambil tema tentang jual beli gharar dalam Islam yang disampaikan oleh ustadz Muhammad Uabidillah.
Ia menjelaskan bahwa yang dimaksud Gharar atau al-Gharar secara bahasa berarti al-Mukhatharah (pertaruhan ) dan al-Jahalah (ketidakjelasan). Atau juga berarti resiko, tipuan, dan menjatuhkan diri atau harta ke jurang kebinasaan.
“Secara istilah adalah jual beli gharar adalah jual beli atau akad yang mengandung unsur penipuan Karena tidak adanya kejelasan suatu barang baik dari sisi harga, kualitas, kuantitas, maupun keberadaannya,” ujarnya, Sabtu (19/3).
Jual beli gharar kata dia, juga berarti jual beli yang tidak jelas kesudahannya, atau jual beli yang konsekuensinya antara ada dan tidak. Misalnya ada orang menjual barang dalam kotak dengan harga tertentu tanpa ada kejelasan isi barang dalam kotak tersebut.
“Atau akad di atas mengandung unsur untung rugi (spekulasi ).Bila salah satu mendapat keuntunga, maka pihak lain mengalami kerugian, inilah hakekat dari jual beli dengan cara gharar,” jelasnya.
Jual beli dengan cara gharar dilarang dalam Islam berdasarkan Al-Qur’an dan hadits.
Dari Al-Quran 2: 188, 4;29 dan 5; 90-91
Dari hadits:
نهى رسول الله –صلى الله عليه و سلم – عن بيع الحصاة و عن بيع الغرر –رواه مسلم
Lalu apa hikmahnya menghindari jual beli gharar? Ustadz Uaibid menjelaskan di antara hikmahnya adalah bisa menjaga harta orang lain dan memakannya dengan cara yang bathil. Menghindari permusuhan dan perselisihan yang muncul akibat adanya pertaruhan dan penipuan
Kemudian ruang lingkup gharar dalam jual beli disebutkan ada 3, yaitu: 1. Gharar dalam akad, seperti dua akad jual beli dalam satu akad dan pembeli tidak menentukan pembeliannya. 2. Gharar dalam objek akad; baik pada barang dan harga. Bentuknya berbeda-beda, antara lain adalah:
– Fisik barang tidak jelas
– Sifat barang tidak jelas
– Ukuran barang tidak jelas
– Barang bukan milik penjual
– Barang yang telah dibeli penjual namun belum diterima dari penjual pertama
– Barang tidak dapat diserah terimakan
– Gharar pada harga disebabkan penjual tidak dapat menentukan harga.
3. Gharar pada jangka waktu pembayaran. Seperti penjual berkata ”saya jual motor ini dengan harga 5 juta dibayar kapan anda mampu. Jual beli ini tidak boleh dan dilarang oleh Nabi,” jelasnya.
Ustadz Uaibid kembali menjelaskan, setidaknya ada tiga bentuk, yaitu gharar yang dilarang, diperbolehkan dan diperselisihkan. Gharar yang dilarang, itu ada tiga bentuk, yaitu
1. Gharar karena barangnya belum ada
2. Gharar karena barangnya tidak bisa diserahterimakan, seperti menjual budak yang kabur, burung di udara, dll
3. Gharar karena ketidakjelasan pada barang, harga dan akad jual belinya.
Adapun gharar yang dibolehkan, yakni ada 4 macam.
1. Jika barang tersebut sebagai pelengkap
2. Jika ghararnya sedikit
3. Masyarakat memaklumi hal tersebut karena dianggap sesuatu yang remeh
4. Mereka memeng membutuhkan transaksi tersebut
“Contohnya menyewakan rumah selama sebulan satu bulan kadang 28-31 hari.
Masuk toilet bayar 2000, padahal jumlah air yang dipakai beda. Naik kereta api ke Jawa; jauh dekat sama bayarnya dll,”
Adapaun gharar yang dipersilihkan, oleh ulama adalah gharar yang berada di tengah-tengah antara yang diharamkan dan dibolehkan.
Mereka berbeda dalam menentukan apakah ghararnya sedikit atau banyak, apakah dibutuhkan masyarakat atau tidak, apakah sebagai pelengkap atau barang inti.
Seperti menjual wortel, kacang tanah, bawang, kentang, dan sejenisnya yang masih berada dalam tanah. Sebagain ulama tidak membolehkannya seperti Imam Syafi’i. Sebagian yang lainnya mbolehkannya seperti Imam Malik dan Ibnu Taimiyah. (Albar)