Pastor Alex Silaen, Belajar Islam di Kairo sebagai Bekal Membangun Dialog Agama

187

Muslim Obsession – Hidup saling bersinggungan dengan masyarakat di luar komunitas agama yang diyakini telah memberikan pelajaran tentang hidup di tengah keberagaman dan dialog iman yang sesungguhnya.

Pastor Alexander Silaen OFM Cap, misalnya. Pria yang akrab disapa Pastor Alex, ini pada 2012 silam menetap di lingkungan mayoritas Muslim, bahkan secara serius mempelajari Bahasa Arab, di Kairo, Mesir.

Di lingkungan Islam, meski tak banyak bergaul dengan warga sekitar karena keterbatasan bahasa dan kesibukan kegiatan di kampus. Namun, ia belajar banyak soal kehidupan penduduk setempat, watak dan kekuatan religiusnya.

“Kota itu sunyi bila tiba pada hari Jumat,” katanya.

Tinggal bersama penduduk yang mayoritas Muslim tak membuatnya takut. Mereka justru sangat menghormati pendatang. Pastor Alex bercerita pernah dirinya mengalami takut atau situasi terancam, namun itu hanya sekali, ketika hendak pergi ke sebuah paroki.

“Saya dengan polosnya berjalan ke paroki itu, sekitar 1.5 KM dari kediaman. Saya mengenakan jubah cokelat yang pertama kali baru saya pakai, setelah empat bulan di sana. Orang-orang melihat saya, dan sekelompok anak muda meneriaki. Jujur, saya sempat takut,” kata Pastor Alex.

Menurut Pastor Alex, hampir semua dosennya beragama Islam, namun mereka bersikap baik. Bahkan, ia sering mendengarkan sikap dan pendapat dosennya yang tidak setuju terhadap kelompok-kelompok Islam tertentu yang dianggap fundamentalis.

Kisah pastor Alex hidup di tengah komunitas penduduk Islam di Kairo itu menjadi contoh, bagaimana ia membangun hubungan baik dengan penduduk setempat, meskipun berbeda keyakinan. Ia belajar tentang dialog yang sesungguhnya.

Setelah studi di Roma selesai, pastor Alex berkarya di Komisi Kepemudaan Keuskupan Agung Medan. Saat ini berkarya di JPIC OFM Capusin Propinsi Medan.

Terus Membangun Dialog

Dialog yang terus menerus dengan komunitas agama yang berbeda diungkapkan Pastor Alex kepada Gereja Katolik, khususnya, kepada gereja-gereja di Keuskupan Agung Medan (KAM).

Dalam sebuah wawancara, ia mengungkapkan bahwa dialog menjadi dasar untuk membangun hubungan antar-agama. Ia mengungkapkan dialog antar agama, sesungguhnya dilakukan bersama dengan kesadaran. Dialog yang baik itu direncanakan dengan langkah-langkah konkrit.

Menurutnya, upaya dialog yang sudah dilakukan gereja-gereja di KAM selama ini lebih pada aksidental saja, misal kalau ada event-event tertentu. Seksi HAK sebagai corong KAM dalam hal ini, sejauh yang dia lihat program mereka tahun 2020, sudah semakin menyasar agama-agama lain, kendati sasaran utamanya masih lebih pada umat Katolik sendiri, lingkup internal.

“Ke depan KAM harus berani membuat program yang menyentuh langsung umat yang non-katolik,” kata pastor Alex.

“Harapan saya sih, kita Katolik harus pro-aktif untuk berbuat. Tidak ada alasan untuk tidak atau menunda karena Yesus datang membawa damai ke dunia ini dan Gereja kita semakin mendorong kita untuk menjalin toleransi ini,” katanya.

“Paus kita Fransiskus sangat concern dengan hal ini. Langkah awal yang bisa kita lakukan adalah mendekati untuk menjalin relasi dengan sebanyak mungkin mereka yang terbuka bekerja sama untuk mewujudkan toleransi ini. Orang-orang yang belum terbuka dengan hal itu jangan disasar dulu dan jangan diperhitungkan sebagai penghalang,” ujarnya.

Ia melanjutkan, dalam membangun toleransi, kita harus mengenal terlebih dahulu agama-agama lain, karena kalau keinginan untuk mengenal saja tidak ada, bagaimana mungkin ada keinginan untuk berdialog dan membina toleransi berdasarkan agama?

Menjadi Umat Terbuka

Pastor Alex, yang menaruh minat studi Islam itu, terus menekankan tentang keterbukaan untuk belajar tentang agama lain. Baginya, keterbukaan umat Katolik untuk mempelajari agama Islam menjadi permulaan atau awal untuk membangun toleransi.

“Misalnya, ada seorang Muslim yang tidak suka dengan kita, atau menganggap kita tidak suka dengan mereka atau agama mereka, mungkin ketidaksukaan itu adalah titipan dari dari orang lain. Lalu saat kita berjumpa dengan dia, kita ungkapkan pengenalan atau kekaguman kita pada satu poin kecil saja dari iman atau agama mereka, pastilah pada saat itu dia akan menganggap kita teman, dia tidak akan memusuhi kita lagi karena kita menunjukkan pengenalan dan kepedulian kita kepada mereka. Sesimpel itu sebenarnya menjalin relasi dan membangun dialog,” kata pastor Alex.

Pastor Alex mengakui, studi yang dipilihnya turut membangun dialog dan keterbukaan dengan agama Islam. Keterbukaan itu ia pelajar dan alami ketika belajar lebih mendalam pada The Pontifical Institute for Arabic and Islamic Studies, Roma, Italia.

“Belajar di PISAI memberikan kepada saya panorama umum dan lengkap tentang Islam. Tentu yang pertama Bahasa Arab. PISAI meletakkan dasar metode belajarnya kepada bahasa, berprinsip bahwa tidak mungkin mempelajari dan mengenal Islam dengan baik tanpa mengenal bahasa Arab. Maka memang sekolah kami sangat menekankan faham yang baik akan bahasa tersebut,” ujar dia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here