Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-29)

IV. Nabi Syu’aib, Ayub, Zulkifli.

606

Suatu hari, datanglah malapetaka menimpa Nabi Ayub secara serentak. Tiba-tiba rumahnya disambar api dari langit, hewan-hewan ternaknya dirampas oleh gerombolan penjahat perantau dari suku Ur Kasdim, sedang anak-anaknya yang berpesta di rumah mengalami bencana. Tiba-tiba terjadi serangan angin topan yang datang dari gurun sehingga rumahnya roboh menimpa anak-anaknya dan meninggal semua.

Nabi Ayub tiba-tiba kehilangan semuanya kecuali istrinya yang selalu setia mendampingi dan melayaninya. Melihat kejadian itu, meskipun tentu dengan rasa sadih, Nabi Ayub kemudian bersujud kepada Allah, sembari berkata, “dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang pula aku akan kembali ke dalamnya. Allah yang memberi, Allah pula yang mengambil, terpujilah nama Allah”.

Setelah peristiwa itu, Nabi Ayub tetap tekun dengan kesalihannya. Namun penderitaan belum berlalu dari Nabi Ayub. Tiba-tiba Nabi Ayub ditimpa penyakit yang membuat kulit dan dagingnya melepuh dari ujung kaki hingga batok kepala, menimbulkan rasa sangat gatal sehingga sering digaruk dengan tangan atau dengan benda keras yang menimbulkan luka yang tidak sembuh-sembuh sehingga menyebarkan bau busuk.

Konon penyakit Nabi Ayub adalah penyakit menular sehingga Nabi Ayub harus mengasingkan dirinya agar tidak menular kepada orang lain. Semua saudara dan kaumnya menjauhinya. Tinggal istrinya sendirian yang melayaninya, menyuapinya makanan dan minuman dan memapahnya jika memerlukan ke belakang.

BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-25)

Anehnya, istri Nabi Ayub tidak tertular oleh penyakitnya. Harta benda Nabi Ayub sudah habis dan semua orang menjauhinya, tinggal istrinya yang kemudian harus bekerja untuk mencari nafkah dan melayani keperluannya, sedang penyakitnya yang tidak dapat sembuh.

Istrinya sempat kesal dan berkata, “Apakah engkau sekarang akan tetap bertekun dalam kesalihanmu dan tidak mengkutuk Allahmu serta meminta kematianmu?”. Namun dijawab oleh Nabi Ayub: “Engkau seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?”

Dengan cobaan yang berat menimpa diri dan istrinya itu, Nabi Ayub masih teguh dalam kesalihannya.

Dalam keadaan demikian, datanglah tiga orang sahabatnya dari tempat jauh. Tentu mereka terperanjat melihat keadaan Nabi Ayub. Menangis para sahabatnya tersebut melihatnya. Namun mereka mau tinggal bermaksud untuk menghibur. Mereka bahkan duduk bersama sama dengan Nabi Ayub selama tujuh hari tujuh malam berbincang hal yang sangat penting dan fundamental.

Pada awalnya sahabatnya tidak mampu mengucapkan sepatah katapun kepadanya, namun akhirnya terjadi suatu dialog yang panjang antara Nabi Ayub dengan sahabatnya. Pada intinya para sahabatnya dengan melihat penderitaan Nabi Ayub kemudian mempertanyakan perbuatan Allah di alam semesta dan bahkan perbuatan aniaya Allah terhadap Nabi Ayub. Namun semuanya dijawab oleh Nabi Ayub tanpa menyimpang dari ajaran tauhid dan sama sekali tidak ada perkataan yang menyalahkan Allah.

BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-24)

Para sahabatnya tersebut pada akhirnya bertobat karena telah berprasangka buruk terhadap Allah. Para sahabatnya kemudian menyembelih hewan kurban sebagai ungkapan rasa bersalah dan minta kepada Nabi Ayub untuk mendoakan mereka agar dosanya diampuni oleh Allah. Nabi Ayub kemudian memintakan ampunan kepada Allah atas perkataan parasahabatnya tersebut.

Dalam keadaan menderita penyakit seperti itu Nabi Ayub dengan keteguhan iman dan kesabaran yang luar biasa justru dapat menunjukkan keagungan Allah, yang membuat para sahabatnya semakin patuh kepadanya. Keteguhan dan kesabaran Nabi Ayub membuat para pengikutnya kembali kepadanya dan memohon pertolongan agar diampuni dosa mereka.

Kesadaran kaumnya itu membuat mereka tidak celaka seperti kaum Nabi Hud, Shalih, Luth dan Nabi Syu’aib. Dalam QS. Shad ayat 41, peristiwa penderitaan berat Nabi Ayub diwahyukan kepada Nabi Muhammad, yaitu: “Dan ingatlah akan hamba Kami Ayub ketika dia menyeru Tuhannya, sesungguhnya aku diganggu setan dengan penderitaan dan bencana”.

Kisah ayat tersebut secara terinci dapat dilihat pada kitab Ayub, yaitu mulai dari dari bencana yang berakibat kematian semua anaknya, semua hartanya yang banyak lenyap dalam sekejap, sakit di tubuhnya yang tidak dapat disembuhkan, serta para sahabatnya yang berprasangka buruk kepada Allah. Semuanya adalah akibat perbuatan setan dan Iblis yang dengan sengaja ingin menyesatkan keimanan Nabi Ayub.

BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-23)

Bahkan keinginan setan tersebut disampaikan terlebih dahulu kepada Allah dan mendapatkan izin dari Allah. Jika dilihat pada Kitab Ayub, penderitaan yang dialaminya ini berlangsung sekitar 18 tahun, sehingga suatu saat dalam puncak kesakitannya kemudian Nabi Ayub berseru kepada Allah. QS. Al-Anbiya ayat 83 menginformasikan seruan Nabi Ayub kepada Allah, yaitu: “ Ya Tuhanku, aku telah ditimpa penyakit yang terasa sangat berat, tetapi aku yakin bahwa Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang”.

Mendengar seruan Nabi Ayub tersebut, kemudian Allah berfirman yang dapat dibaca QS. Shad ayat 42 dan QS. Al-Anbiya ayat 84, yaitu: “Hentakkanlah kakimu, inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum”. Nabi Ayub kemudian menghentak tanah yang kemudian dari hentakannya itu memancar sumber air yang cukup deras. Nabi Ayub kemudian mandi dan minum air tersebut.

Maka penyakit Nabi Ayub tiba-tiba menjadi sembuh. Penyakitnya dilenyapkan oleh Allah dan kondisi fisik Nabi Ayub menjadi segar kembali seperti semula. Sebelum kesembuhannya Nabi Ayub sempat bersumpah akan memukul istrinya karena tidak senang dengan perbuatan istrinya.

Kitab Ayub menunjukkan bahwa istrinya memotong rambutnya untuk dijual yang uangnya untuk membeli makanan dan minuman. Nabi Ayub tidak senang dengan perbuatan istrinya itu dan bersumpah akan memukulnya. Ketika penyakitnya sudah sembuh namun saat mau melaksanakan nadzarnya, Nabi Ayub diserang rasa tidak tega memukul istri setia yang disayanginya itu.

Ada rasa kebingungan bagaimana melaksanakan sumpahnya. Kemudian Allah memberi petunjuk bagaimana melaksanakan sumpahnya itu sebagaimana yang tercantum pada QS. Sad ayat 44. Allah menyuruh Nabi Ayub mengambil seikat rumput untuk dipakai memukul istrinya. Sumpah Nabi Ayub tetap harus dilaksanakan tanpa harus menyikiti istrinya yang sudah setia melayaninya sedang semua orang telah menjauh dari dirinya.

Karena kesabarannya menghadapi bencana dan penderitaan yang berat dengan tetap tabah tanpa menyalahkan Allah sedikitpun maka Allah kemudian menganugerahi Nabi Ayub dengan memperoleh lagi anak-anak yang shalih dari istri yang disayanginya itu dengan jumlah anak yang sama dari sebelumnya, yaitu tujuh anak laki-laki dan tiga anak perempuan serta hartanya juga digandakan dari jumlah sebelumnya (QS. Shad: 43, QS. Al-Anbiya: 84).

Umur Nabi Ayub dan istrinya juga cukup panjang sehingga sempat melihat kehidupan cucu-cucunya. Bahkan salah satu anaknya pada akhirnya menjadi seorang nabi pula, yaitu Nabi Zulkifli.

BERSAMBUNG

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here