Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-178)

IX. Nabi Muhammad.

400
Pohon Sahabi tempat Nabi Muhammad SAW berteduh, telah berumur 1.400 tahun lebih. (Sumber: sindo)

Oleh: Agus Mualif Rohadi (Pemerhati Sejarah)

Mereka kemudian berkata: “Demi Al-Lata dan Al-Uzza, sungguh sebuah aib bagi kami jika ibnu Abdullah bin Abu Thalib tidak ikut serta makan bersama kami”. Namun Bahira sudah terlebih dahulu melangkah keluar.

Dari kejauhan dilihatnya, daun-daun pohon Sahabi tersebut merunduk mengarah pada anak muda tersebut. Suatu pemandangan yang menakjubkannya. Segera Bahira menghampiri Muhammad yang sedang duduk istirahat menunggui unta, keledai dan barang barang kafilah pamannya.

Perasaan Bahira dengan segera tersentuh, mata batinnya mulai melihat ada kemunkinan tanda-tanda yang dicarinya akan dijumpainya pada anak tersebut. Ketika bertemu langsung didekapnya Muhammad kemudian diajaknya masuk ke eklesia dan mendudukkannya bersama yang lain.

BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-177)

Setelah agak lama di perhatikannya, Bahira melihat sifat-sifat yang dicarinya ada pada anak tersebut. Kemudian digandengnya Muhammad agak menjauh dari rombongan, lalu berkata: “Wahai anak muda, dengan menyebut nama Al-Lata dan Al-Uzza aku akan bertanya kepadamu dan engkau hendaknya menjawab apa yang aku tanyakan”.

Muhammad menjawab, “Demi Allah, tidak ada yang sangat aku benci melebihi keduanya”. Bahira menjawab, “Baiklah aku bertanya padamu dengan menyebut nama Allah, dan hendaknya engkau menjawab”.

Muhammad kemudian menjawab, “Tanyakanlah kepadaku apa saja yang hendak engkau tanyakan”. Bahira menanyakan banyak hal kepada Muhammad, bahkan sampai tentang tidurnya, yang semuanya dijawab Muhammad. Bahira kemudian meminta Muhammad menanggalkan pakaiannya yang juga dituruti oleh Muhammad.

Bahira kemudian melihat punggungnya dan dilihatnya tanda seperti bekas bekam di antara kedua pundak persis ciri-ciri nabi yang diketahuinya dari kitabnya.

Dengan demikian Bahira, seorang pendeta Kristen Nestorian, yang telah mempelajari kitabnya yang memuat nubuwah tentang munculnya utusan terakhir, dan atas pemahamannya bahwa saat itu sudah waktunya muncul utusan terakhir, dengan yakin melihat tanda-tanda kenabian ada pada diri Muhammad.

BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-176)

Setelah puas mengamati Muhammad, Bahira kemudian menghampiri Abu Thalib yang dari kejauhan melihat dengan terhera heran memperhatikan tingkah Bahira yang berbica khusus dan serius dengan Muhammad dan mengamati tubuh keponakannya itu.

Bahira kemudian menghampiri dan bertanya kepada Abu Thalib: “Apakah anak muda ini anakmu?” Dijawab Abu Thalib, “Ya, anakku”. Namun langsung dibantah Bahira: “Tidak! Dia bukanlah anakmu. Anak muda ini tidak layak mempunya ayah yang masih hidup”.

Abu Thalib kemudian menjawab, “Ayahnya meninggal dunia saat dia ada di dalam kandungan ibunya”.

Bahira kemudian berkata, “Segera bawa pulang ponakanmu ini ke negeri asalmu sekarang juga! Jagalah dia dari kejahatan orang-orang Yahudi! Demi Allah, jika mereka melihatnya seperti yang aku saksikan, niscaya mereka membunuhnya. Sesungguhnya akan terjadi suatu perkara besar pada ponakanmu ini. Karena itulah, bawalah dia pulang segera ke negeri asalmu”.

Mendengar saran Bahira, Abu Thalib meskipun tidak mengerti apa urusan besar yang akan dihadapi keponakannya itu, kemudian bergegas pulang ke Makkah.

BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-175)

Bahira secara spesifik menyebut agar orang Yahudi jangan sampai mengetahui tanda-tanda yang dilihatnya pada diri Muhammad, karena mereka akan membunuhnya. Dengan demikian, kitab yang di baca oleh Bahira adalah kitab yang sama yang dibaca oleh kaum Yahudi.

Bahira adalah orang Nestorian, yang juga meyakini kebenaran tentang kitab kitab suci nabi nabi Yahudi, yang di dalamnya memuat nubuwah tentang nabi terakhir sekaligus perkiraan waktu turunnya dan ciri-ciri utusan terakhir.

Saat itu, wilayah Syam adalah wilayah yang telah berkembang Nashara, Kristen Arian dan Nestorian. Bani Israel juga cukup banyak berada di wilayah Syam dan kota kota di jazeerah Arabiya.

Menurut Ibn Hisyam, ada beberapa ahli kitab yang memahami bahwa berdasarkan perhitungan waktu pada pada kitab mereka telah sampai pada waktunya kedatangan utusan terakhir.

Ada beberapa ahli kitab yang melihat tanda-tanda kenabian Muhammad, diantaranya Zurair, Tamam dan Daris. Di antara mereka juga mendapat kabar bahwa Bahira telah mengundang kabilah arab untuk makan di eklesianya karena melihat ada awan yang bergerak menaungi perjalanan kabilah tersebut.

BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-174)

Beberapa ahli kitab ada yang bertanya pada Bahira, namun Bahira melindungi arah perjalanan Abu Thalib dan mengingatkan agar mereka taat pada kitabnya dan taat kepada Allah bahwa mereka tidak akan mampu mendekati Muhammad karena dia akan selalu dalam pelindungan Allah. Atas nasihat Bahira beberapa ahli kitab menyadari kebenaran ucapannya dan menarik mundur dari niatnya membunuh.

Abu Thalib dan rombongan kafilahnya akhirnya sampai ke Makkah. Ada yang mengkisahkan kepulangan Abu Thalib dan rombongannya diikuti oleh bahaya yang muncul dari para ahli kitab yang mencoba membunuhnya.

Namun yang berusaha membunuh nabi Muhammad mengalami kegagalan bahkan ada yang terbunuh dalam peristiwa yang tidak mereka duga. Perjalanannya Abu Thalib akhirnya selamat kembali pulang ke Makkah.

Setelah peristiwa pertemuan dengan Bahira, dalam usianya yang semakin dewasa, Muhammad sering membawa dagangannya sendiri atau membawakan barang dagangan kaumnya yang dititipkan kepadanya. Tidak ada kisah yang menunjukkan adanya bahaya dalam perjalanan dagang Muhammad.

Bahkan pada akhirnya, Muhammad dikenal dengan julukan Al-Amin karena barang dagangan yang dibawanya selalu menghasilkan keuntungan lebih dari yang diperhitungkan oleh pemilik barang dagangannya.

BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-173)

Reputasi Muhammad sebagai orang yang jujur, Amanah, berakhlak mulia dan cakap dalam berdagang juga didengar oleh Khadijah binti Khuwailid Asad bin Abdul Uzza bin Qushay bin Khilab bin Murrah bin Luay bin Ghalib, yaitu wanita mulia, terpandang dan kaya raya yang mempunyai banyak karyawan.

Khadijah yang dikenal dengan nama At-Thahirah sebelumnya telah menikah dengan Nabbasy bin Zurarah bin Waqdan bin Habib bin Salamah bin Adi bin Jarwah bin Usai bin Amr bin Tamim dan diberi karunia dua anak laki-laki yaitu Halah dan Hind. Namun suaminya kemudian meninggal.

Kemudian menikah lagi dengan Atiq bin Abis bin Abdullah bin Umar al-Makhzumi dari bani Makhzum. Namun tidak lama kemudian suami keduanya meninggal dan tidak dikaruniai anak dari suami kedua.

Khadijah tertarik untuk bekerjasama dengan Muhammad, sehingga kemudian mengutus pembantu laki lakinya yaitu Maisarah bin Masruq untuk mengundang Muhammad. Pada akhirnya Muhammad bersepakat dengan Khadijah untuk memperdagangkan barang milik Khadijah dan membeli barang barang yang dibutuhkan Khadijah dengan ditemani Maisarah bin Masruq.

BACA JUGA: Para Rasul Dalam Peradaban (Seri ke-172)

Ibnu Ishaq mengkisahkan, Maisarah dipesan untuk mengamati perilaku, tutur sapa dan kebiasaan Muhammad.

Pengamatannya atas perilaku dan tutur sapa Muhammad digambarkannya dengan setiap orang selalu hormat bila berkomunikasi dengan Muhammad karena sopan santunnya, kejujurannya, dan penghormatan atas orang yang diajaknya bicara.

Jual beli yang dilakukan oleh Muhammad juga berjalan dengan lancar dan memuaskan antar pihak dan menghasilkan keuntungan yang lebih dari yang diperhitungkan.

Bahkan Maisarah ikut tidur dalam satu tenda dengan Muhammad. Maisarah mengamati pula bagaimana tidurnya Muhammad. Ketika di Syam Maisarah didatangi seorang pendeta yang menanyakan tentang Muhammad dan pendeta tersebut mengatakan pada Maisarah bahwa Muhammad pasti seorang nabi.

BERSAMBUNG

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here