Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-177)

IX. Nabi Muhammad.

359
Koin Raja Khosrou II, Raja Sasania Persia (590-628). Julukannya adalah Parvez yang mempunyai arti "Yang Selalu Berjaya". (Sumber: wiki)

Oleh: Agus Mualif Rohadi (Pemerhati Sejarah)

Pada tahun 589, Persia mempunyai kaisar yang masih muda yaitu Khosraw II, atau Kisra II, atau Chosores II menggantikan bapaknya yaitu Hurmuz yang dibunuh oleh para bangsawan dengan maksud menghentikan pemberontakan panglima perangnya yaitu Bahram.

Pemberontakan yang disulut oleh kebijakan Hurmuz menghentikan jabatan Bahram sebagai panglima perang Persia. Namun Bahram ternyata tidak dapat dilunakkan dan tentaranya menyerbu ibu kota Persia yaitu Ctesiphon.

Serbuan ini membuat Koshru II melarikan diri menuju wilayah Bizantium, meminta tolong Bizantium untuk mengatasi pemberontakan. Permintaan tolong tersebut di bayar dengan perdamaian dan pembebasan beberapa kota di wilayah Bizantium yang telah diambil Persia. Tentara Mauritius kemudian bergabung dengan tentara Khosru II dan berhasil mengalahkan dan membunuh Bahram.

Koshru II kembali menjadi raja Persia. Untuk memperkuat perdamaian, Mauritius mengirimkan salah satu putrinya untuk dinikahkan dengan Koshru II, meskipun Mauritius sudah mengetahui bahwa jumlah istri Kosru II sangat banyak, konon jumlahnya ratusan. Setelah itu, Mauritius mengalihkan perhatiannya ke Italia.

Dengan perdamaian antara Bizantium dan Persia tersebut, kondisi wilayah Syam hingga Mesir cukup aman, perdagangan berjalan lancar lagi. Saat itu Muhammad telah berumur sekitar 19 tahun dan telah ikut berdagang dalam kabilah dagang pamannya, yaitu Abu Thalib.

BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-176)

6. Tanda-tanda Kenabian

Tradisi orang arab saat itu, anak yang sudah berusia aqil baliq harus disunat dan setelah itu harus menjalani kehidupan yang terpisah dari para ibu dan bibi, tidak ada lagi ciuman kasih sayang dengan gemas serta semprotan wewangian.

Muhammad harus mulai belajar hidup komunal bersama para laki laki, belajar dari anak tangga kehidupan paling bawah, mulai dari belajar menggembala domba, memelihara dan merawat unta serta mencermati perilaku unta. Namun demikian, anak arabiya memulai fase kehidupan barunya dengan penuh gairah dan kegembiraan.

Jika malam hari sebelum tidur berkesempatan mendengarkan pembicaraan tentang berbagai hal baik tentang perdagangan maupun yang lainnya.

Pada kesempatan pertama ketika diajak berdagang akan disambut dengan penuh kegembiraan sekaligus mendebarkan, membayangkan apa yang akan dilihatnya sepanjang perjalanan kafilah dagang, melihat kota-kota lainnya serta melihat dan berkomunikasi dengan bangsa lain, belajar dan mengenali barang barang yang diperdagangkan. Suatu fase hidup orang arab yang sangat menggairahkan.

BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-175)

Ibnu Ishaq mengkisahkan, dalam beberapa tahun, Muhammad telah beberapa kali ikut kafilah dagang Abu Thalib dan mendapatkan penghasilan dari pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.

Suatu ketika dalam suatu perjalanan dagang ke wilayah Syam, seperti biasanya, Abu Thalib selalu mengajak Muhammad karena dirinya tidak mau Muhammad berpisah dari dirinya dalam waktu yang lama. Seperti biasanya rombongan kafilah melewati kota Busra, sebuah kota dagang yang ramai pula. Kota Busra adalah kota transit yang besar.

Di Busra, terdapat seorang pendeta Kristen Nestorian yang salih bernama Bahira atau Buhairah yang memimpin sebuah eklesia atau rumah peribadatan. Pendeta ini memiliki kitab yang diperolehnya secara turun temurun dari generasi generasi sebelumnya. Rombongan kafilah Abdul Muthalib sering melewati jalan yang melintas di dekat eklesia tersebut, namun sebelumnya tidak menarik perhatian Bahira.

Perjalanan kali ini menjadi berbeda, karena Bahira secara tidak sengaja dari kejauhan melihat dan memperhatikan awan yang bergerak mengikuti dan menaungi rombongan kafilah dagang. Setelah agak dekat dengannya, Bahira mengenalinya sebagai rombongan dagang dari Makkah.

BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-174)

Bahira menjadi sangat tertarik dan menjadi ingat pada kitab yang dipelajarinya. Bahira ingin mengundang dan menjamu rombongan kafilah Abu Thalib yang sedang berdagang di pasar. Kemudian disuruhnya orangnya untuk mengundang rombongan Abu Thalib agar mau singgah di ekelsianya dan ternyata Abu Thalib tidak menolak undangan tersebut.

Ketika urusan dagangnya sudah selesai, Abu Thalib mengajak kafilahnya singgah di eklesianya pendeta Bahira. Dari kejauhan Bahira telah memperhatikan ada rombongan kafilah menuju eklesianya dan dilihatnya ada awan yang ikut bergerak menaungi rombongan tersebut. Dengan segera disuruhnya pembantunya untuk memasak lumayan banyak.

Kafilah Abu Thalib kemudian berhenti di bawah pohon sahabi yang rindang dihalaman Eklesia yang cukup luas. Bahira melihat awan yang menaungi rombongan tersebut juga ikut berhenti. Bahira segera menghampiri rombongan tersebut dan mengundang semuanya masuk baik orang tua, anak maupun budak untuk makan di eklesianya.

BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-173)

Abu Thalib kemudian mengajak kafilahnya masuk ke eklesia dengan meninggalkan Muhammad untuk menunggui unta dan barang barang mereka dibawah pohon sahabi yang letaknya agak jauh dari eklesia.

Tempat dimana pohon Sahabi tersebut terdapat lapapangan yang luas sehingga bisa digunakan untuk pemberhentian unta dan keledai rombongan kafilah.

Di dalam eklesia, ketika semua rombongan sedang makan, Bahira memperhatikan satu persatu rombongan tersebut, namun tidak ada yang menarik perhatiannya. Oleh karena itu kemudian Bahira mengingatkan Abu Thalib agar jangan ada seorangpun yang ketinggalan untuk makan hidangan yang disuguhkannya.

Mereka menjadi kaget dan kemudian mengatakan masih ada satu anak baru menginjak dewasa yang menunggui barang barang mereka. Bahira kemudian meminta Abu Thalib agar memanggil anak tersebut.

BERSAMBUNG

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here