Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-175)

IX. Nabi Muhammad.

336
Abdul Muthalib mengumumkan kelahiran Muhammad di depan pintu Ka’bah. (Sumber: Ahlulbaitindonesia.or.id foto film)

Oleh: Agus Mualif Rohadi (Pemerhati Sejarah)

Ibnu Ishaq mengkisahkan, setelah kelahiran anaknya, Aminah kemudian meminta tolong untuk mengabarkan kelahiran tersebut pada Abdul Muthalib. Tidak lama kemudian mertuanya tersebut datang dengan suka cita melihat lahirnya cucu laki lakinya tersebut.

Oleh Aminah diceritakan kepada mertuanya ketika dirinya masih hamil, tentang mimpi dan yang dilihatnya serta pesan yang diterimanya bahwa anaknya harus diberikan satu nama yaitu Muhammad. Abdul Muthalib kemudian keluar rumah, mengatakan kepada penduduk bahwa cucunya telah lahir dan diberikan nama Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib.

Setelah itu, dibawanya cucunya tersebut ke Ka’bah. Abdul Muthalib bersujud dan bersyukur kepada Allah disana, dan kemudian melakukan thawaf sambil menggendongnya cucunya.

Ibnu Ishaq berkisah, Tsaur bin Yazid berkata kepadaku dari beberapa orang yang berilmu dan aku kira berasal dari Khalid bin Ma’dan Al-Kalaiyyu, bahwa beberapa sahabat berkata kepada Rasulullah ﷺ, “Kisahkanlah pada kami tentang dirimu, wahai Rasulullah”. Rasulullah ﷺ kemudian bersabda:

BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-174)

“Baiklah, Aku ada karena berkat doa ayahku Ibrahim dan berita gembira saudaraku ‘Iysaa bin Maryam. Ketika ibuku mengandungku, ia melihat cahaya keluar dari perutnya, yang dengannya dia melihat istana-istana di kawasan Syam. Aku disusui di Bani Sa’ad bin Bakr.

Ketika aku sedang bersama saudaraku di belakang rumah menggembalakan kambing, tiba tiba datang dua orang yang berpakaian serba putih menghampiriku sambil membawa cawan dari emas yang penuh berisi es.

Mereka mengambilku lalu membelah perutku lalu mengeluarkan hatiku, membelahnya, mengeluarkan gumpalan hitam dari hatiku lalu mereka melemparnya. Setelah itu mereka berdua mencuci hati dan perutku dengan es yang telah dibersihkan.

Salah seorang dari keduanya berkata kepada sahabatnya, “Timbanglah dia dengan sepuluh orang dari umatnya”. Dia menimbangku dengan sepuluh orang umatku namun ternyata aku lebih berat dari mereka. Orang pertama berkata lagi, “Timbanglah dengan seratus orang dari umatku, namun ternyata aku lebih berat dari mereka”.

Orang pertama berkata lagi, “Timbanglah dengan seribu orang dari umatnya”. Orang kedua menimbangku dengan seribu orang dari umatku namun ternyata aku lebih berat daripada mereka. Orang pertama berkata, “Biarkanlah dia. Demi Allah, seandainya engkau menimbangnya dengan seluruh umatnya, pastilah ia lebih berat dari pada timbangan mereka”.

(Kisah ini di kemudian hari diriwayatkan pada hadits Imam Hakim pada hadits nomer 4175. Hadits ini memiliki syawahid dari Abu Dzar).

BACA JUGA: Para Rasul dalam Peradaban (Seri ke-173)

Di luar kota Makkah hingga jarak agak jauh terdapat cukup banyak pemukiman kaum badui padang pasir. Ada hubungan yang erat antara cara hidup pada permukiman permukiman suku atau bani-bani dari suku-suku Bedouin atau badui padang pasir di pedesaan-pedesaan Arabiya dengan penduduk kota seperti Makkah yang sibuk.

Pemukiman pedesaan yang jauh dari perkotaan lebih banyak menyimpan tradisi pendidikan bagi anak-anak kota di jazeerah Arabiya. Pada malam-malam hari di pedesaan lebih banyak di gunakan untuk mengasah tradisi lisan dengan menghafal syair-syair arab dan membuat puisi. Ada waktu waktu tertentu terdapat semacam kompetisi membuat syair, sehingga tradisi sastra justru terpelihara di pedesaan suku-suku badui padang pasir.

Tradisi yang unik ini juga berfungsi mendekatkan hubungan antara penduduk kota dengan penduduk desa melalui tradisi penyusuan bayi sekaligus tempat pendidikan bagi bayi-bayi yang lahir di kota. Bagi penduduk kota yang kehidupannya sering berdagang ke tempat yang jauh dan membutuhkan waktu yang cukup lama, maka tradisi tersebut sangat berguna bagi pendidikan bagi anak-anak mereka.

Tradisi tersebut selain berfungsi membangun persaudaraan antara penduduk desa dengan penduduk kota juga mendekatkan hubungan pedesaan dengan perkotaan. Bagi penduduk pedesaan, tradisi tersebut juga menjadi salah satu sumber penghasilan keluarga.

Tidak lama setelah kelahiran Nabi Muhammad, terdapat rombongan badui padang pasir Bani Sa’ad bin Bakr yang letak desanya sekitar 150 km dari Mekkah memasuki kota langsung menuju pasar.

BACA JUGA: Para Rasul Dalam Peradaban (Seri ke-172)

Ibnu Ishaq mengisahkan, Halimah bin Dzuaib As-Sa’diyah bersama suami yaitu Al-harits bin Hathib Al Jumahi dan anak-anaknya yaitu Asy Syaima binti Al Harits dan Abdullah bin Al Harits, berangkat dari desanya dengan mengendari keledainya yang berwarna putih dan membawa pula seekor unta tua yang tidak menghasilkan susu setetespun.

Mereka adalah keluarga yang ekonominya tidak begitu baik. Pada malam hari itu, mereka tidak bisa tidur karena tangisan anaknya yang kelaparan karen air susu Halimah tidak mengenyangkan anaknya. Halimah, meskipun dengan air susu dari dadanya hanya keluar sedikit namun ikut berangkat ke Makkah untuk mendapatkan bayi penduduk Makkah untuk disusuinya.

Namun keluarga Al-Harits sampai di Makkah paling belakang dibanding keluarga lainnya. Keterlambatannya tersebut karena binatang tungganggannya sudah tua dan jalannya perlahan. Seperti biasanya, kaum badui datang ke Mekkah untuk berdagang.

Keluarga Al-Harits juga berkemah tidak jauh dari pasar dan letaknya tidak sebagus lainnya yang datang terlebih dahulu. Ketika Al-Harits berdagang dipasar, Halimah masuk ke kampung kampung Makkah menawarkan jasa penyusuannya, tidak ada lagi bayi yang didapatkannya, kecuali bayi Muhammad.

Namun Halimah tidak berminat mengambilnya seperti wanita wanita lainnya yang tidak mau mengambil bayi Muhammad, karena Aminah adalah seorang janda yang menjadi tanggungan Abdul Muthalib. Dia merasa tidak akan mendapatkan imbalan jasa yang memadai, kemudian kembali ke tenda keluarganya di dekat pasar.

BACA JUGA: Para Rasul Dalam Peradaban (Seri ke-171)

Berkata dia kepada suaminya bahwa dirinya tidak kembali ke desa seperti keluarga lainnya jika tidak bisa membawa bayi yang disusuinya. Suaminya, Al-Harits menyarankan untuk mengambil bayi Muhammad dan berdoa agar Allah memberkahi keluarganya melalui anak yatim tersebut.

Halimah kemudian kembali kerumah Aminah, dan mengambil bayi Nabi Muhammad menjadi anak susuannya. Ketika sampai di kemahnya, kemudian langsung disusuinya. Dirasakan ada yang aneh pada payudaranya yang tiba tiba terasa penuh dan dapat menyusui bayi Nabi Muhammad sampai kenyang.

Bahkan setelah itu, anak-anaknya disusuinya pula sehingga kenyang semua. Selanjutnya bersama anak-anak dan Nabi Muhammad, dia dapat tidur dengan nyenyak dan nikmat. Dirasakannya suatu kenikmatan yang sebelumnya tidak pernah dirasakannya bersama anak-anaknya.

Ketika bangun, dirinya merasa segar dan bertenaga, kemudian keluar tenda memeriksa unta tua dan keledainya. Dilihatnya keajaiban dimana susu unta itu tiba tiba penuh pula. Kemudian diperasnya susu unta tuanya itu dan malam itu Al-Harits sekeluarga melewati malam tersebut dengan indah.

BACA JUGA: Para Rasul Dalam Peradaban (Seri ke-170)

Pagi harinya, semua temannya yang melihat keajaiban unta tua dan kesegaran Al-Harits sekeluarga, mereka mengucapkan “Demi Allah, ketahuilah wahai Halimah, engkau telah dikaruniai seorang anak yang penuh berkah”. Halimah kemudian menjawab, “Demi Allah, demikian pula harapanku”.

Ketika kaum Bani Sa’ad kembali pulang ke desanya, unta tua dan keledai keluarga Al-Harits membuat heran rombongan bani Sa’ad karena kecepatan jalannya dan tenaganya melebihi keledai dan unta lainnya yang lebih muda. Ketika di desanya, kambing kambing keluarga Al-Harits ternyata juga menjadi gemuk gemuk.

Para tetangganya bahkan membawa kambingnya mengikuti kambing kambing Al-Harits, namun tetap saja tidak bisa segemuk seperti kambing keluarga Al-Harits. Keluarga Al-Harits dan Halimah menjadi tercukupi hidup kesehariannya berkat menyusui Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib.

Keberadaan Muhammad di perkampungan badui padang pasir yang agak jauh dari Makkah membuat Muhammad semakin terlindung dari orang orang Israel yang waspada terhadap kelahirannya.

Ketika berumur sekitar empat tahun, Muhammad ketika kecil juga ikut menggembala kambing. Halimah pada suatu kesempatan membawa Muhammad kepada ibunya dan meminta agar Muhammad tetap diijinkan dalam pengasuhannya. Aminah menyetujui permintaannya.

BERSAMBUNG

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here