Pak Nas, ‘Imam’ Tentara Nasional Indonesia

1496
Pak Nas dalam sebuah kesempatan melaksanakan shalat Idul Fitri.

Muslim Obsession – Ketergantungan Pak Nas kepada Allah ‘Azza wa Jalla berlaku pada setiap aktivitas. Tak heran jika Pak Nas selalu shalat Istikharah sebelum mengambil suatu keputusan.

Dalam salah satu wawancara yang dimuat dalam buku Islam Di Mata Para Jenderal (Bandung: Mizan, 1997) beliau mengemukakan, “Sebagai seorang Muslim kita diperintahkan untuk melaksanakan ajaran Islam di mana pun kita berada. Kita harus merasa yakin seyakin-yakinnya bahwa Islam adalah jalan untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki dunia maupun akhirat. Dalam menghadapi masalah, misalnya, kalau agama kita kuat maka semuanya bisa dibereskan.”

Menariknya, sewaktu menjadi pimpinan tertinggi TNI Angkatan Darat beliau disebut sebagai jenderal “tukang sembahyang”. Sebutan ini muncul menguatkan pandangan umum ketika Pak Nas akhirnya menyusun buku “Pedoman Agama Islam Untuk TNI”. Dalam surat keputusan KSAD dinyatakan, “Mewajibkan kepada setiap anggota AD yang beragama Islam memahami isi buku tersebut di atas dan mengamalkannya.”

Jadi tak heran jika dalam setiap kesatuan TNI, Pak Nas diangkat menjadi “imam tentara”. Pak Nas pula yang membangun mushalla di MBAD (Markas Besar Angkatan Darat) di tahun 1950-an dan kemudian di Hankam pasca G-30-S/PKI. Sehingga muncul sebuah anekdot di kalangan TNI masa itu, “Kalau mau naik pangkat, rajinlah bersembahyang, dan diketahui oleh Jenderal Nasution”.

Sikap taat Pak Nas juga berlaku dalam kunjungan ke manapun, termasuk kunjungan ke luar negeri. “Standing order” terkait dengan jadwal shalat wajib diperhatikan oleh protokol. Sewaktu Pak Nas melakukan kunjungan ke Australia menjadi tamu Angkatan Perang, misalnya, kolonel yang diperbantukan mendampingi beliau selalu melapor bila waktu shalat tiba. Ketika berada di Camberra, saat Pak Nas sedang mengadakan pembicaraan dengan Perdana Menteri Australia, tiba-tiba seorang Kolonel Australia datang melapor dengan hormatnya, mempersilakan Pak Nas untuk menunaikan shalat, sebab waktunya telah tiba. Padahal ketika itu Pak Nas menjamak qashar shalat Zhuhur dengan Ashar dalam satu waktu karena sedang musafir (sebagai orang yang bepergian). Pak Nas paham bahwa jama’ qashar merupakan rukhshah (keringanan) yang boleh dilakukannya dalam kondisi tersebut.

Bahkan saat berkunjung ke negara Komunis sekalipun. Protokol militer negara setempat harus menyesuaikan jadwal shalat dalam seluruh agenda kegiatan kunjungan Jenderal A.H. Nasution. Pada ceramah Peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun 1965 di AAU sebagaimana dimuat di Majalah PEHAI (Perdjalanan Hadji Indonesia) No 1 Tahun 1965, Pak Nas menceritakan pengalaman menarik saat kunjungan ke Moskow untuk membeli senjata yang saat itu bertepatan dengan hari Jumat.

“Ketika perundingan dengan pihak Uni Soviet belum selesai, saya lihat arloji menunjukkan telah tiba saatnya untuk bersembahyang Jumat. Kepada sidang saya segera minta diri untuk bersembahyang. Seorang perwira Soviet mengantarkan saya pergi. Waktu dilihatnya saya membuka sepatu, ia pun membuka sepatunya. Ia terus mengikuti saya. Saya bersembahyang ia pun turut bersembahyang. Saya berdiri ia berdiri, saya rukuk ia rukuk. Saya sujud ia pun sujud demikian seterusnya. Sesudah salam saya tanya dia, apa yang dibacanya waktu mengikuti saya sembahyang?  Ia menggelengkan kepala, tak suatu pun yang dibacanya. Habis ia bukan seorang Muslim. Jadi kenyataan ini menunjukkan bahwa dengan shalat kita dihormati di mana-mana. Hendaklah saudara-saudara senantiasa taat menunaikan kewajiban lima waktu sehari semalam. Jangan sekali-kali saudara-saudara merasa malu karena menunaikan sembahyang. Apalagi karena sembahyang sama halnya dengan corp rapport yang biasa saudara-saudara lakukan terhadap komandan saudara. Bedanya shalat itu corp rapport kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,” pesan Pak Nas kepada hadirin.

Pak Nas mengingatkan dalam berbagai kesempatan ceramah dan khotbah bahwa seorang Muslim ketika berorganisasi dan bermasyarakat harus menunjukkan kepribadian sebagai seorang Muslim. Kepada seorang perwira tinggi TNI yang dia kenal baik dan baru naik pangkat menjadi bintang empat (jenderal penuh) Pak Nas selaku sesepuh TNI mengirim surat nasihat. (Baca juga: Sarung Kotak Sang Jenderal Besar)

“Semakin tinggi posisi, tiupan angin semakin kencang. Nasihat saya, ketika menghadapi persoalan yang sangat penting, diperlukan keputusan yang tepat. Untuk itu, agar tidak ragu-ragu dalam menetapkan keputusan, jangan lupa minta petunjuk Allah dengan shalat Istikharah lebih dahulu. Setelah itu, putuskan sesuatu sesuai dengan kata nurani. Dengan cara ini, kita tidak akan terombang-ambing mengikuti perkembangan situasi.”

Itulah Pak Nas. Sikapnya menjadi karakter yang tidak hanya shalih secara personal tapi juga sosial. Ia tak cuma menjadi sosok shalih yang ingin baik di hadapan Allah secara pribadi, tapi juga menjadi sosok mushlih dengan mengajak orang-orang di sekelilingnya agar sama-sama dipandang baik oleh Allah ‘Azza wa Jalla.

Keshalihan Pak Nas dalam beribadah berimbas pada akhlaknya. Meski menyandang pangkat Jenderal Besar, namun Pak Nas merupakan sosok yang sederhana. Dalam hal makanan pun Pak Nas tak suka makan yang mewah, termasuk menghindari daging rendang. Mungkin karena pilihan menu makannya yang sehat, seperti lalap dan ikan, Pak Nas termasuk yang jarang sakit. Satu hal yang unik, menurut Yanti, Pak Nas tak menyukai musik yang umumnya orang suka. Pak Nas hanya menyukai murattal (bacaan) Al-Quran dan musik marching band.

Kesederhanaan Pak Nas juga tampak ketika ia seringkali menjauhi hal-hal ‘njelimet’ dalam membuat keputusan. Ia sosok yang menjauhi konflik, sehingga Pak Nas tidak memiliki rasa dendam sedikit pun kepada individu dan institusi yang memperlakukannya secara tidak adil. Misalnya, meski pernah diasingkan oleh rezim Orde Baru selama bertahun-tahun, setiap Lebaran Idul Fitri Pak Nas selalu mengirim surat Selamat Hari Raya Idul Fitri dan permohonan maaf lahir batin kepada Presiden Soeharto dan keluarga. Meski kabarnya surat balasan yang dikirimkan tidak pernah ditandatangani oleh Pak Harto, kecuali satu kali di tahun 1996, surat balasan selamat lebaran dari Pak Nas ditandatangani oleh Pak Harto dan Ibu Tien Soeharto.

Sikap hidup Pak Nas yang konsisten dan lurus tulus, sesuai dengan pidato yang diucapkannya di halaman Mabes AD sewaktu melepas jenazah tujuh pahlawan revolusi yang gugur dalam tragedi G-30-S/PKI tahun 1965, “Kita semua difitnah, dan saudara-saudara telah dibunuh, kita diperlakukan demikian, tapi jangan kita dendam hati, iman kepada Allah subhanahu wa ta’ala, iman kepada-Nya meneguhkan kita. Dengan keimanan ini juga kami yakin bahwa yang benar akan tetap menang, dan yang tidak benar akan tetap hancur”.

Sebagai sesepuh TNI yang ditakdirkan berusia lanjut, Pak Nas mengingatkan kepada generasi penerus agar memegang teguh Saptamarga, di antaranya, “Bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, membela kebenaran, kejujuran dan keadilan”, sesuai dengan wasiat Panglima Besar Sudirman.

“Seorang kepala kantor kecil sampai kepada kepala negara, tak ada yang luput dari tuntutan Allah kelak, atas kepemimpinannya. Boleh saja seorang di dunia ini mengelakkan pertanggungjawabannya, dengan macam-macam muslihat. Tapi, di Hari Kemudian takkan terelakkannya di depan Allah,” kata Pak Nas dalam kumpulan tulisannya yang dibukukan dengan judul Pembangunan Moral Inti Pembangunan Nasional (1995).

Keyakinan Pak Nas akan kehadiran Allah dalam setiap embusan nafasnya, terbukti saat peristiwa kelam menghampirinya. Pak Nas yang merupakan target nomor wahid menjadi sasaran penculikan dan pembunuhan G-30-S/PKI, bisa lolos dari maut dengan pertolongan Allah ‘Azza wa Jalla. Bagi Pak Nas, percobaan pembunuhan yang ditujukan kepadanya merupakan ujian atas ketakwaannya kepada Allah. Ujian seberapa besar ia meyakini kekuasaan Allah dan kesungguhannya meminta pertolongan dari-Nya, seperti makna yang terkandung dalam QS. Al-Baqarah ayat 214.

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. (Ditulis oleh Imam Fathurrohman)


** Ditulis dalam rangka Mengenang 101 Tahun Jenderal Besar TNI (Purn) Dr. AH. Nasution. Acara peringatan digelar Obsession Media Group (OMG) di Museum Jenderal Besar Dr. AH. Nasution, Jumat 20 Desember 2019.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here