NU dan Masyumi Berpisah Tapi Tetap Kompak

1465

Wibisono, Ortodox, dan Kemarahan Kiai Wahab

KETIKA Kabinet Soekiman jatuh, Wibisono dipanggil Presiden Sukarno. Dia diminta menjadi Wakil Perdana Menteri pada kabinet berikutnya. Tawaran itu ditolak oleh Wibisono. Menurutnya, jabatan Wakil Perdana Menteri memang tinggi, tetapi tidak punya wewenang apa-apa.

Untuk menghormati Bung Karno, Wibisono menyatakan bersedia menjadi Wakil Perdana Menteri asal merangkap sebagai Menteri Keuangan. Permintaan Wibisono itu tentu saja ditolak, baik oleh Presiden maupun oleh formatur kabinet.

Ketika Kabinet Ali Sastroamudjojo I jatuh, Wakil Presiden Hatta –saat itu Presiden Sukarno sedang menunaikan ibadah haji– meminta Masyumi menjadi formatur kabinet. Masyumi mengajukan Jusuf Wibisono.

Ternyata Hatta menolak Wibisono. Masyumi kemudian mengajukan tokoh muda, Mr. Boerhanoeddin Harahap yang akhirnya berhasil membentuk kabinet. Kabinet ini pula yang berhasil menyelenggarakan pemilihan umum pertama sesudah 10 tahun Indonesia merdeka.

Sampai terbentuk Kabinet BH, Wibisono menyangka Bung Hatta yang menolaknya menjadi formatur kabinet. Wibisono pun bertanya-tanya, apa gerangan dosanya kepada Hatta?

Belakangan Wibisono mendapat keterangan dari Hatta bahwa yang keberatan Wibisono menjadi formatur kabinet ialah Rais ‘Aam NU, K.H.A. Wahab Hasbullah.

Kiai Wahab marah lantaran dalam suatu wawancara dengan Antara, Wibisono menyebut NU itu ortodox. Kiai Wahab menafsirkan ortodox itu kolot.

Wibisono menggunakan kata ortodox dengan rasa aman, karena kata itu biasa digunakan dalam berbagai buku baik dalam maupun luar negeri.

Wibisono kemudian menunjuk buku Abdul Karim Pringgodigdo (1949) yang menerangkan bahwa NU didirikan untuk mempropagandakan Islam berdasarkan paham ortodox. George McTurnan Kahin (1952) menyebut NU sebagai more conservative. Harri J. Benda menyatakan bahwa NU is an ortodox association.

Selanjutnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here