New Normal dalam Hukum Islam

1373

Jakarta, Muslim Obsession – Indonesia bersiap memasuki new normal dalam menghadapi wabah corona. New normal atau tatanan hidup baru akan diberlakukan dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan. Lalu bagaimana new normal dalam hukum Islam. Apakah Islam mengenal istilah new normal.

Ustadz Abdul Somad atau lebih akrab disapa UAS menjelaskan terkait hal itu. Dia mengatakan, secara terminologi, new normal berarti sebuah kenormalan yang baru, dimana kondisi yang terjadi seolah normal namun sebenarnya berisi sesuatu yang baru dari kenormalan itu sendiri.

“Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, kenormalan yang baru. Artinya, jika sebelumnya kita bersalaman, tatap muka, sekarang, normal nggak normal. karena kita tetap bisa bertatap muka tapi melalui layar. Jadi bisa dikatakan normal, tapi ada sesuatu yang baru,” jelas UAS dalam akun youtobenya.

Menurut dai yang baru saja meraih gelar PhD nya di Sudan ini, cara menyikapi era new normal adalah dengan berkaca pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat dalam menyikapi sesuatu yang baru.

Dalam uraiannya, UAS menceritakan proses berkembangnya tradisi muadzin dalam mengumandangkan adzan dari zaman ke zaman.

“Kita bisa berkaca pada zaman Rasulullah SAW, contohnya ketika masa Rasulullah SAW, Bilal Bin Rabbah selalu mengumandangkan adzan di atas atap rumah dan ini terus berlanjut sampai zaman Abu Bakar, muadzin selalu adzan dari atas atap,” terang UAS.

“Lalu pada zaman Umar Ibnu Khattab, kebiasaan itu diubah, dimana tempat muadzin mengumandangkan adzan tidak lagi di atas atab melainkan di atas menara atau mercusuar, dengan harapan suara yang muadzin dapat terdengar lebih luas,” sambungnya.

Dia juga menegaskan bahwa Islam tidak pernah melarang sesuatu yang baru, termasuk apa yang diaplikasikan dalam kepemimpinan Umar Ibnu Khattab. Sebaliknya, inovasi ini justru membuat panggilan shalat yang dikumandangkan para muadzin lebih jelas dan luas terdengar.

“Islam tidak melarang sesuatu yang baru, karena tidak ada ayat Alquran yang melarang untuk mengumandangkan adzan di tempat paling tinggi atau menara. justru ada poin positif di sana,” tambahnya.

Pembaruan budaya ini juga terus berlanjut hingga zaman modern, kata UAS. Dimana muadzin tidak perlu lagi mengumandangkan adzan di atas menara, karena telah ditemukannya alat pengeras suara yang semakin memudahkan manusia.

Dari ceritanya, UAS menyimpulkan bahwa umat Muslim telah mengalami dua kali pembaruan dalam budaya pengumandangkan adzan, dan Islam tidak mempermasalahkannya.

“Dalam hukum ushul fiqih, diterangkan bahwa segala sesuatu adalah boleh selama tidak ada dalil yang mengharamkan. Maka dari contoh itu, mengajarkan bahwa Islam tidak melarang adanya pembaharuan sistem, dan membolehkan kita mengaplikasikan sesuatu yang baru,” jelasnya. (Albar)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here