Negara Nasional dan Cita-Cita Islam

2473

Dalam buku Demokrasi Pancasila (1990), Hazairin menjelaskan, negara berkewajiban membentuk hukum nasional Indonesia yang bahannya adalah hukum agama. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya dan karena itu dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu menjalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing.

Hartono Mardjono, S.H., dalam buku Menegakkan Syariat Islam Dalam Konteks Keindonesiaan (1997) memaknai prinsip “negara berdasar atas ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai kewajiban membuat peraturan perundang-undangan yang melarang siapa pun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama. Kalimat “negara menjamin” pada ayat (2) pasal 29 UUD 1945 harus diartikan bukan menjamin dalam arti pasif, tapi jelas bersifat aktif dan imperatif.

Keaktifan negara dalam menjamin kemerdekaan memeluk agama mempunyai dua aspek yaitu: Pertama, negara berkewajiban bertindak sebagai fasilitator bagi terselenggaranya peribadatan oleh kalangan pemeluk agama, sepanjang hal itu diperlukan oleh para pemeluknya, tanpa negara mencampuri otoritas dan otonomi ajaran agama. Kedua, negara berkewajiban untuk mencegah terjadinya gangguan yang datang dari luar lingkungan suatu agama, dari mana pun datangnya.

Pemimpin dan para pejuang terbaik bangsa di awal kemerdekaan tidak banyak menghiasi kata-katanya dengan Pancasila dan semboyan kebhinnekaan, tetapi jiwa antikolonialisme, jiwa cinta tanah air, jiwa nasionalisme dan patriotisme, jiwa ketuhanan/keagamaan, jiwa perikemanusiaan, jiwa kerakyatan, jiwa demokrasi, dan jiwa keadilan sosial menjadi spirit perjuangan mereka. Menurut Dr. H. Roeslan Abdulgani (1986), mengaktifkan dan mendinamiskan Pancasila bukan dengan kata-kata, tetapi dengan contoh dan perbuatan nyata.

Sikap toleran dan menghargai kebhinnekaan telah dipraktikkan oleh umat Islam sejak tahun-tahun pertama berdirinya negara Republik Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 tidak mungkin berdiri tanpa toleransi positif dan pengorbanan umat Islam. Umat Islam dan para pemimpin Muslim berdiri paling depan dalam membela NKRI bersama dengan unsur kekuatan bangsa yang lainnya. Oleh sebab itu, nilai-nilai keindonesiaan, terutama keberagaman dan persatuan, tidak relevan dikontraskan misalnya dengan kepemimpinan politik Muslim.

Sejalan dengan itu, menjadi warga negara yang “Pancasilais” tidak harus bersikap alergi terhadap syariat Islam, dan menjadi Muslim yang taat di Indonesia tidak perlu menolak ideologi Pancasila. Karena adanya paralelisme antara dasar negara Pancasila dengan ajaran Islam, seperti dikatakan oleh A. Dahlan Ranuwihardjo (1984), disitu pulalah terletak sumbangan Islam bagi implementasi dan pengamalan Pancasila sebagai ideologi terbuka.

Seiring dengan perubahan lingkungan nasional dan lingkungan global, nasionalisme Indonesia di abad 21 dihadapkan dengan tantangan yang ditengarai bersumber dari ideologi transnasional. Dalam era globalisasi dan era digital, sistem pertahanan negara secanggih apa pun sulit mencegah masuknya pengaruh ideologi transnasional yang bertentangan dengan dasar negara. Penetrasi ideologi transnasional di negara kita tidak hanya yang bermuatan politik keagamaan, tapi juga menyangkut bidang ekonomi dan sosial budaya, seperti kapitalisme, liberalisme, sekularisme, dan neo-komunis.

Membaca tulisan cendekiawan Jepang Kenichi Ohmae dalam kutipan Beggy Rizkiyansyah (2017) bahwa konsep negara-bangsa sejatinya telah dikangkangi oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Dalam konteks Indonesia, perusahaan multinasional di beberapa wilayah berdiri di atas kedaulatan Indonesia, menciptakan negara dalam negara, mengeksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia dengan imbalan yang jauh dari sepadan.

Sejak beberapa dekade terakhir pasca generasi pejuang ‘45 dan generasi sesudahnya yang secara alami digantikan oleh “generasi millennial”, negeri warisan para pejuang ini mengalami “defisit negarawan”. Indonesia belakangan mengalami erosi nilai-nilai dasar bernegara yang ditandai merosotnya etika bermasyarakat, bernegara dan berpemerintahan. Oleh karena itu gerakan cinta tanah air dan kepedulian terhadap masa depan Indonesia harus ditumbuhkan di kalangan generasi millennial agar NKRI sebagai kontrak sosial rakyat Indonesia tetap eksis di masa mendatang.

Mari “membuka ingatan” dengan mempelajari filosofi dan nilai-nilai dasar bernegara yang terdapat dalam narasi pemikiran kenegaraan Soekarno dan Mohammad Hatta. Generus penerus perlu mengambil mutiara pemikiran kenegaraan terbaik dari tokoh-tokoh perintis, pendiri dan penopang republik, seperti H.O.S. Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Hasyim Asy’ari, Haji Agus Salim, Muhammad Yamin, Mohammad Natsir, K.H. Mas Mansur, K.H.A.Wahid Hasjim, Soepomo, Sutan Sjahrir, Teuku Mohammad Hasan, Sjafruddin Prawiranegara, Mohamad Roem, Abdul Kahar Mudzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, A.A. Maramis, Achmad Subardjo, Kasman Singodimedjo, Soekiman Wirjosandjojo, A.R. Baswedan, Prawoto Mangkusasmito, K.H. Masjkur, Rasuna Said, S.K. Trimurti, Sultan Hamengkubuwono IX, Panglima Besar Jenderal Sudirman, Jenderal Besar Abdul Haris Nasution, Leimena, Adam Malik, Bung Tomo, dan lain-lain.

Indonesia di masa lalu juga memiliki pejuang revolusioner Tan Malaka yang berpendirian kemerdekaan Indonesia harus 100% dan namanya diabadikan oleh Prof. Mr. Muhammad Yamin dalam buku Tan Malaka Bapak Republik Indonesia (1946). Tulisan Tan Malaka “Menuju Republik Indonesia” (1925) konon salah satu yang mempengaruhi pikiran Soekarno.

Pemikiran dan kearifan para pendiri negara dan tokoh panutan bangsa sangat berguna sebagai inspirasi dalam membangun negeri untuk Indonesia yang lebih baik.

Wallahu a’lam bisshawab. 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here