Natsir dan Lambang Negara Garuda Pancasila

1964

Oleh: Pepen Irpan (Anggota Dewan Tafkir PP PERSIS Merdeka)

Nama tokoh PERSIS Natsir, dalam belantara politik Indonesia, boleh dikata sangatlah populer. Ia adalah ikon pergerakan Islam Indonesia pada awal abad ke-20 hingga era Orde Baru 1990-an. Tidak hanya sebagai representasi kubu modernis PERSIS vis-à-vis tradisonalis, namun lebih dari itu Natsir adalah konseptor “politik Islam” yang paling artikulatif vis-à-vis kaum kebangsaan/nasionalis-sekuler.

Perdebatan politik Natsir versus Soekarno yang fenomenal pada dekade 1930-1940-an menunjukkan kapasitas Natsir sebagai seorang konseptor politik yang mumpuni. Bersama gurunya dari PERSIS, Tuan A. Hassan, Natsir mengarahkan pemikiran dan aktivitas politik organisasi puritan dari Bandung tersebut, sehingga “In time, their organization—Persatuan Islam (PERSIS) became an important part of the larger Islamist movement in post-colonial Indonesia, this despite its insignificant size compared to other groups. (Ali Muhannif, Different Routes To Islamism, 2010: 239).

Tak heran jika kemudian Natsir ditahbiskan sebagai pemimpin partai Islam terbesar di Indonesia waktu itu, Partai Masyumi. Kemampuan dan kapasitas politik Natsir semakin terasah saat menjabat Menteri Penerangan RI selama tiga periode, yakni Kabinet Syahrir II (Maret–Oktober 1946), Kabinet Syahrir III (Oktober 1946-Juni 1947) dan Kabinet Hatta 1948.

Salah satu peranan penting di era Perang Kemerdekaan ini, dicatat Mc Turnan Kahin (1995: 497), “Natsir memberi instruksi-instruksi kepada rakyat, menunjukkan jalan untuk diikuti dalam perjuangan itu oleh mereka yang tidak dapat menentukan atau bingung mengambil cara berjuang yang paling efektif.”

Dilanjutkan pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1950 dengan “Mosi Integral Natsir”, yang menjadikan Natsir sebagai ikon Negara Kesatuan RI, sekaligus mengantarkannya sebagai Perdana Menteri RI yang pertama.

Natsir sebagai “penyelamat NKRI” inilah yang menjadi alasan Presiden Sukarno. Pada saat Sukarno akan membentuk formatir kabinet, datang kepadanya wartawan harian “Merdeka”, Asa Bafagih, mencari berita. Asa Bafagih bertanya kepada Presiden Sukarno:“Bagaimana sekarang ini? Siapa yang ditunjuk untuk membuat kabinet? Menjawab Sukarno: “Siapa lagi kalau tidak dari Masyumi”. Bertanya lagi Asa Bafagih: “Natsir?”. Menjawab Presiden Sukarno: “Ya! Mereka mempunyai konsepsi untuk menyelamatkan Republik melalui konstitusi” (Puar, 1978:105).

Bagi Herbert Feith, dalam buku klasiknya, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, saat memimpin Kabinet inilah terlihat bahwa Natsir adalah seorang pemimpin administrator yang handal: “…they were all administrators. The list as a whole reflect the fact that Natsir was successfull in his effort to find men of ability, experience, and prestige, who would be in a position to stand up to many of pressures which parties, factions, and cliques would apply on them.” (Feith, 1968: 113).

Cirinya, dijelaskan Herbert Feith, adalah kebijakan yang berorientasi pada pemecahan masalah dan taat aturan main. Dalam kabinetnya, Natsir memberikan kedudukan penting pada politisi-politisi tekhnokrat. Kabinet Natsir juga menekankan proses reorganisasi dan rasionalisasi, baik pada kemampuan keuangan angkatan perang dan birokrasi, maupun pengembangan perekonomian.

Jasa Natsir Terhadap Pancasila

Segudang prestasinya itu, sejarah menunjukkan, tidak dinyana “luluh” ketika Natsir dalam Sidang Konstituante dianggap anti-Pancasila. Ini jelas kesalahpahaman yang fatal. _Pertama_, Natsir mengkritisi Pancasila yang ditafsirkan secara “secular”—istilah Natsir, “ La Diniyah”. Jadi, yang dikritisi adalah tafsirnya, bukan Pancasilanya itu sendiri.

Ahmad Syafii Maarif (1997: 155) menjelaskan:“Natsir mengambil sikap keras dalam majlis disebabkan terutama karena interpretasi-interpretasi kabur dan dibuat-buat orang kepada Pancasila itu. Sebagai contoh, orang seenaknya saja menempatkan sila Ketuhanan dalam urutan yang lima itu, sementara wakil-wakil komunis ingin sekali mengubahnya menjadi sila kemerdekaan beragama dan berkepercayaan.”

Kedua, dalam konteks jiwa zaman waktu itu, adalah wajar menyodorkan berbagai alternatif yang terbaik bagi bangsa ini. Apalagi Majlis Konstituante memang dibentuk untuk mendiskusikan masalah kenegaraan yang “belum selesai” di BPUPKI dan PPKI—dianggap “darurat” karena masa Perang Kemerdekaan (Endang Saefudin Anshary, Piagam Jakarta; Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan).

Lebih dari itu, ada tiga peran penting Natsir terhadap eksistensi Pancasila bagi Negara Indonesia. Pertama, penegasan Natsir bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam.

Dalam tulisannya di Capita Selecta Jilid II, Natsir membela Pancasila: “Dalam pada itu dimasa achir ini, mulailah terdengar pendapat jang menempatkan Al-Quran di satu pihak dan Pantjasila di pihak jang lain dalam  suasana  antagonisme. Seolah antara tudjuan Islam dan Pantjasila  itu terdapat pertentangan dan pertikaian jang sudah njata tak “kenal damai”  dan tidak dapat disesuaikan.

Dengan sepenuh kejakinan sebagai  seorang Muslim jang  berdiri atas Kalimah Sjahadat, dan lantaran itu sebagai seorang patriot jang tjinta kepada Tanah Air dan bangsa, saya berseru supaja djangan terburu memberikan suatu kwalifikasi dan keputusan, apabila ponis dan keputusan itu semata didasarkan atas istilah jang oleh masing pemakainja  diberi tafsiran sendiri, sebab bukanlah dengan tjara demikian kita seharusnja memandang pokok persoalannja. Dalam pangkuan Qur’an, Pantjasila akan hidup subur. Satu dengan lain tidak a priori bertentangan tapi tidak pula identik.”

Kedua,  Natsir berkampanye Pancasila di luar negeri. Hal ini salah satunya terlihat ketika Natsir berkunjung ke Pakistan dan berpidato di depan The Pakistan Institute of World Affairs pada tahun 1952. Pidato Natsir inilah yang sering dijadikan rujukan bahwa ia menerima Pancasila sebagai dasar filosofis negara.

Dalam pidatonya, ia mengatakan: “Pakistan adalah Negara Islam. Hal itu pasti, baik oleh kenjataan penduduknja maupun oleh gerak-gerik haluan Negaranja. Dan saya njatakan Indonesia djuga adalah Negara Islam, oleh kenjataan bahwa Islam diakui sebagai Agama dan anutan djiwa bangsa Indonesia, meskipun tidak disebutkan dalam Konstitusi bahwa Islam itu adalah agama Negara.

Indonesia tidak memisahkan Agama dari Kenegaraan. Dengan tegas Indonesia menjatakan pertjaja kepada Tuhan Maha Esa djadi  tiang pertama dari Pantjasila,– kaedah jang lima –, jang dianut sebagai dasar ruhani, dasar achlak dan susila oleh negara dan bangsa Indonesia.” ( Capita Selecta II, hlm. 61).

Ini menunjukkan pandangan positif Natsir tentang negara Pancasila. Pernyataan ini diberikan setahun setelah Natsir meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri RI, sehingga tak heran jika pernyataan tersebut bersifat positif. Sebab, logikanya, bagaimana mungkin seorang ideolog Islam mau menjabat kepala pemerintahan suatu negara yang dasarnya dianggap bertentangan dengan ideologi Islam. Jelas, itu tidak mungkin.

Ketiga, Natsir sebagai salah satu perumus lambang Negara “Garuda Pancasila”. Tidak banyak yang tahu, bahwa Lambang Negara Garuda Pancasila dirumuskan — salah satunya —oleh Natsir. Data ini dijelaskan  Turiman, Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia, Tesis Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum, UI, Jakarta, 1999.

Pada Sidang Kabinet RIS Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk panitia teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Sultan Hamid II. Bertindak sebagai ketua: Muhamad Yamin, dan yang tergabung ke dalam anggota antara lain: Ki Hajar Dewantoro , M.A Pellaupessy, Moh. Natsir, R.M Ng Purbatjaraka.

Panitia bertugas untuk menyeleksi semua usulan-usulan mengenai lambang negara, kemudian disulkan kepada Presiden Soekarno dan kemudian ditetapkan sebagai lambang Negara.

Pada tahap pertama rancangan lambang negara yang terbaik diusulkan oleh Sultan Hamid II dan Muhamad Yamin. Namun usulan Muhamad Yamin ditolak, karena ada sinar-sinar matahari dan menampakkan kuat pengaruh Jepang.

Pada tanggal 8 Februari 1950 rancangan final gambar garuda diserahkan ke Presiden Soekarno dan mendapatkan masukan dari Partai Islam (Masyumi) dari M. Natsir. Natsir keberatan terhadap burung Garuda dengan tangan dan bahu Manusia yang memegang perisai, karena dianggap bersifat mitologis khayalan dan terkesan mitologi feodal. Usul Natsir ini diterima, hingga lambang negara hanya berupa burung Garuda.

Natsir pun mempunyai jasa terhadap perumusan symbol “bintang” untuk Sila Pertama Pancasila. Sebagaimana dijelaskan Turiman dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan, Th. 44 No. 3, Juli-September 2014 (hlm. 366): “Simbol-simbol dalam Perisai Pancasila secara semiotika hukum merupakan perpaduan ide dari usulan anggota Panitia Lambang Negara.

Simbol Sila Kesatu sumbangan ide dari Moh Natsir, simbol Sila Kedua ide dari Sultan Hamid II dan sketsa gambar perisai dan garis khatulistiwa adalah usulan Sultan Hamid II, simbol Sila Ketiga sumbangan ide dari Purbatjaraka, simbol Sila Keempat sumbangan ide dari Mohammad Yamin, simbol Sila Kelima sumbangan ide dari Ki Hajar Dewantoro.”

Tanggal 11 Februari 1950 rancangan Garuda Pancasila Sultan Hamid II yang telah dimodifikasi dengan berbagai usulan—termasuk dari Natsir—ini ditetapkan oleh Pemerintah/Kabinet RIS dan diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet. Lebih jauh, lambang Negara ini diatur dalam PP No. 66 Tahun 1951 yang ditetapkan pada tanggal 17 Oktober 1951 termuat dalam lembaran negara 111 Tahun 1951, PP No. 43 Tahun 1958 tentang Penggunaan Lambang Negara dan pada masa reformasi diatur dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara serta lagu Kebangsaan.

Demikianlah, “jasa” Natsir yang dibesarkan Jamiyah PERSIS ini terhadap Pancasila dan lambang Negara kita yang tercinta.

Wallahu a’lam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here