Nasution, Sosok Jenderal yang Anti Poligami

1990

Anti Istri Kedua

Sejak menjabat KSAD, Nasution telah menanamkan prinsip puritan dalam kehidupan rumah tangga tentara. Pada 1952, Nasution menerbitkan keputusan bahwa seorang pejabat militer tak diperkenakan mengambil istri kedua tanpa izin komandan atasan. Kepada perwira yang memiliki soal demikian maka pilihannya hanya dua: melepas istri kedua dan menerima kenaikan pangkat atau silakan minta berhenti.

Ketentuan beristri satu beririsan dengan aspirasi gerakan wanita saat itu. Nasution menyatakan istri tambahan bukan hak melainkan keperluan darurat dengan alasan tertentu. Itupun harus dengan permufakatan dari imam tentara. Kebijakan ini turut menjadi pedoman organisasi Persatuan Istri Tentara (Persit) yang secara resmi hanya mengenal istri pertama Presiden sebagai Ibu Negara.

Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik, 1961-1965 mencatat keluhan Sukarno terhadap Persit yang turut campur dalam biduk kehidupan rumah tangganya. Pernah Sukarno mendengar selintingan Persit yang akan berkongres telah meminta untuk sowan ke Istana Bogor.

“Akan tetapi di sana nanti para istri tentara itu akan lalu lewat saja seolah-olah Nyonya Hartini tidak ada,” kata Rosihan. Betapapun jengkelnya, Sukarno tak dapat berbuat apa-apa.

Solidaritas ibu-ibu Persit untuk mengasingkan Hartini diakui Karlina Umar Wirahadikusumah, istri Panglima Kodam Jaya, Umar Wirahadikumah. Mereka merasa kurang sreg dan tak cocok dengan Hartini. Kendati tak sampai memusuhi, para ibu Persit tadi selalu berusaha menjauh dari istri baru Bung Karno itu.

“Bahkan meski ada undangan khusus dari Bung Karno sekalipun, mereka tetap enggan hadir bila disitu ada kemungkinan bertemu Hartini,” tulis Harry Gendut Janarto dalam biografi Karlina Umar Wirahadikusumah: Bukan Sekedar Istri Prajurit. “Aksi boikot ini hanya dilakukan oleh para istri perwira tinggi TNI-AD yang tergabung dalam organisasi Persit.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here