Nabi Adam Bertanya, Kenapa Allah Tak Membuat Sama Keturunannya?

1836
Manusia

Oleh: Muhammad Afiq Zahara (Alumnus PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen)

Dalam kitab al-Zuhd, Imam Ahmad bin Hanbal memasukkan sebuah riwayat tentang Nabi Adam yang bertanya kepada Allah tentang perbedaan kedudukan yang terjadi di antara anak-cucunya. Berikut riwayatnya:

حدثّنا عبد الله، جدّثنا أبي، حدّثنا عبد الصمد، حَدَّثَنَا أَبُوْ هِلَالٍ، حَدَّثَنَا بَكْرٌ قَالَ: لَمَّا عُرِضَ عَلَى آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ ذُرِّيَّتُهُ فَرَأَى فَضْلَ بَعْضِهِمْ عَلَى بَعْضٍ قَالَ: يَا رَبِّ، فَهَلَّا سَوَّيْتَ بَيْنَهُمْ؟ قَالَ: يَا آدَمُ، إِنِّيْ أَحْبَبْتُ أَنْ أُشْكَرَ

Abdullah bercerita, ayahku bercerita, Abdus Shamad bercerita, Abu Hilal bercerita, Bakr bercerita kepada kita, ia berkata:

Ketika diperlihatkan kepada Adam ‘alaihissalam (kehidupan) keturunannya (kelak), ia melihat keutamaan (yang dimiliki) sebagian mereka terhadap sebagian (lainnya).

Adam berkata: “Wahai Tuhan, kenapa Kau tidak menyamakan di antara mereka (saja)?”

Allah menjawab: “Wahai Adam, sesungguhnya Aku sangat senang jika Aku disyukuri.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 61)

Kelebihan atau keutamaan yang dimaksud bukan melulu soal kaya-miskin dan tampan-jelek, melainkan kelapangan hidup yang mengarah pada kebahagiaan abadi. Sebab, di posisi apa pun manusia berada, manusia memiliki masalahnya sendiri-sendiri; manusia memiliki kebahagiannya sendiri-sendiri.

Belum tentu orang miskin lebih banyak masalahnya dari orang kaya. Begitu pun sebaliknya, belum tentu orang kaya lebih sedikit masalahnya dari orang miskin. Karena itu, jika keutamaan (kelebihan) yang dimaksud hanya soal kaya-miskin dan tampan-jelek, orang-orang hanya akan bersyukur ketika mendapatkan dua hal itu. Padahal Allah berfirman (QS. Ibrahim: 7):

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”

Dalam tafsirnya, Imam Ibnu Katsir menerangkan kalimat, “lain syakartum” (jika kalian mensyukuri) dengan lanjutan “ni’matî ‘alaikum la’azîdannakum minhâ” (nikmat-Ku kepada kalian, maka akan Kutambahkan nikmat-Ku kepada kalian). (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Riyad: Dar Tayyibah, 2002, juz 4, h. 480).

Artinya, syukur dalam ayat di atas adalah mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang beragam bentuknya, tidak selalu soal harta benda. Hal ini diperkuat oleh penjelasan Tafsîr al-Thabarî:

لئن شكرتم ربَّكم، بطاعتكم إياه فيما أمركم ونهاكم، لأزيدنكم في أياديه عندكم ونعمهِ عليكم

“Jika kalian bersyukur pada Tuhan kalian dengan ketaatan kepada-Nya atas apa yang diperintahkan-Nya dan apa yang dilarang-Nya kepada kalian, maka Dia akan menambah anugerah-anugerah-Nya di sisi kalian dan (menambah) nikmat-nikmat-Nya kepada kalian.” (Imam Abu Ja’far bin Jarir al-Thabari, Tafsîr al-Thabari, Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1994, juz 4, h. 441)

Ini menunjukkan bahwa bersyukur kepada Allah harus ditampilkan dengan ketaatan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, maka Allah akan menambahkan anugerah dan nikmat-Nya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here